Oleh: H.M. Natsir Zubaidi, Dewan Pembina Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
Pada 2014, waktu saya sabagai Wakil Sekretaris Jenderal MUI pernah dikontak penerbit Kompas untuk memberikan kata pengantar buku Prof. Hisanori Kato yang berjudul “Islam di Mata Orang Jepang,” Profesor yang sosiolog tersebut berusaha melakukan Depth interview dengan Gus Dur, Ulil Abshar, Ismail Yusanto, sampai Abu Bakar Baashir.
Saya juga agak heran, mengapa saya yang diminta? Padahal beberapa Profesor seperti Amin Abdullah, pak Syafii Maarif, Komarudin Hidayat sudah diminta “testimonynya” (yang akhirnya dimuat di kulit buku belakang). Keheranan kedua adalah mengapa tokoh seperti Amien Rais, tak diwawancarai?
Akhirnya, saya buatkan pengantar dangan gaya Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai kader umat dan bangsa. Saya sebutkan bahwa Ormas Islam itu usianya lebih tua dari Negara ini. Dan Umat Islam dilandasi oleh dua motivasi semangat, yakni Jihad dan Ijtihad. Secara adil pula saya tulis kalau NU ada Gus Dur, Hasyim Muzadi dan lain-lain, maka Muhammadiyah ada Amien Rais, Syafii Maarif dan lain-lain, maka PII punya Endang Saefuddin, AM. Saefuddin, Ryaas Rasyid, dan lain-lain dan HMI ada Noercholish Madjid, Dawam Rahardjo, dan lain-lain.
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama
Hari Bangkit (Harba) PII 4 Mei 1947 adalah kesadaran akan kebangkitan dari kaum terpelajar terhadap kondisi umat dan bangsa. Semangat kepeloporan itulah yang memberikan motivasi sebuah kebangkitan menorehkan cita-cita terwujudnya “kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat Manusia.”
Sungguh mulia tujuan Organisasi PII. Saya ingat betul waktu TC PB PII era Bung Yusuf Rahimi, kita undang Dr. Deliar Noer dan Mang Endang Saefuddin MA untuk diskusi di Wisma Depag RI di kawasan Tugu, Puncak, Bogor.
Ada hal yang menarik dari Mang Ndang Saefuddin (yang menulis tesis Piagam Jakarta di McGill University, Kanada) bahwa PII itu memiliki ciri utama yakni sebagai “pertama: Kaum terpelajar, intelektual (Pelajar), kedua: memiliki Akidah, Akhlaq dan Kepribadian yang Islami (Islam), Ketiga: memiliki wawasan Ke-Indonesian (Indonesia). Sudah tentu juga memiliki wawasan antara bangsa dan dunia Islam.
Secara historis PII dalam perjalanan masa baktinya, sejak kebangkitannya pada 1947 telah melahirkan tokoh-tokoh kepeloporan, tahun 1947, ada Anton Timur, Jusdi Ghozali, Ibrahim Zarkasyi, dan lain-lain.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
Tahun 1966 kebangkitan Angkatan 66 ada Husnie Thamrin, Siregar Pahu, Husien Umar, Abdul Kader Djaelani, munculnya para Pemikir PII Endang Saefuddin, EBA, Utomo Dananjaya dan lain-lain, pada saat reformasi munculnya Amien Rais, Gus Dur, Megawati.
Sebenarnya elit Umat sudah mencapai puncak. GUS DUR (NU) sebagai Presiden, Amien Rais (Muhammadiysh) sebagai Ketua MPR RI dan Akbar Tanjung (HMI) sebagai Ketua DPR RI. Namun harus diakui juga, peran PII dengan Husnie Thamrin (Wakil Ketua MPR RI/PPP) dan AM Fatwa (Wakil Ketua DPR RI/Fraksi PAN) ikut ambil peran besar dalam pengambilan keputusan dalam menentukan arah Kiblat bangsa saat yang kritis (saat itu Mas Husnie dan mas Fatwa berani pasang badan hadapi fraksi ABRI, yang agak terpengaruh lobi dari kelompok-kelompok tertentu, tetapi akhir bisa diyakinkan, Subhanallah.
Dalam situasi saat ini diperlukan kecerdasan dan kecerdasan dalam memahami “situasi dan konstruksi sospol”. Di lain pihak harus ada konsolidasi total, perangkat organisasi, personil, pemeliharaan kontinyunitas program, memperkuat kerja sama tim dan jaringan guna mempersiapkan masa depan.
Pelihara dan perkuat fungsi sebagai pelopor, jangan hanya jadi pengekor… Ikut-ikutan bukan karakter dan tradisi PII! Salam Harba! Semoga Allah SWT selalu melindungi dan membimbing kita. Amien ya Rabbal alamiin.(AK/R1/P1)
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
Mi’raj News Agency (MINA)