Ribuan Tanaman Herbal di Indonesia Belum Dimanfaatkan Secara Optimal

Yogyakarta, 18 Rabi’ul Akhir 1438/17 Januari 2017 (MINA) – Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Tidak kurang dari 30.000 spesies tumbuhan ada di hutan tropis Indonesia. Namun belum dimanfaatkan secara optimal.

Hal ini disampaikan Dosen Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (), Ratna Asmah Susidarti saat menyampaikan pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Farmasi UGM, Selasa (17/1) di Balai Senat UGM, Yogyakarta.

“Dari jumlah 30.000, sekitar 9.600 spesies yang diketahui memiliki khasiat obat,” ujar Ratna dalam keterangan pers UGM yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

“Sayangnya belum semuanya dimanfaatkan untuk pengobatan. Baru 200 spesies saja yang telah digunakan sebagai bahan baku industri obat tradisional,” tuturnya.

Memaparkan pidato pengukuhan berjudul “Tanaman Sebagai Sumber Senyawa Bioaktif: Peranannya Dalam Terapi dan Pengembangan Obat Baru”, Ratna menyebutkan, pemanfaatan tanaman sebagai bahan baku obat juga belum dilakukan secara maksimal di level global.

“Dari sekitar 250.000-500.000 spesies tumbuhan yang ada di dunia, hanya sekitar 15 persen dilaporkan telah diteliti secara fitokimia. Sementara itu, untuk tanaman yang telah diuji aktivitas biologisnya baru sekitar 6 persen,” terangnya.

Data penelitian menunjukkan terdapat 122 senyawa yang digunakan sebagai obat. Seluruh senyawa tersebut didapat dari 94 spesies tanaman yang sebagian besar yaitu sekitar 80 persen diantaranya telah digunakan sebagai obat rakyat.

Melihat kondisi tersebut, Ratna melihat peluang untuk menemukan berbagai senyawa aktif baru dari tumbuhan untuk dimanfaatkan sebagai obat masih terbuka lebar. Menurutnya, penggunaan sumber botani tanaman sebagai titik awal dalam program pengembangan obat sangat bermanfaat.

Salah satunya karena sebagian besar pemilihan calon spesies tumbuhan untuk penelitian didasarkan pada penggunaan jangka panjang oleh manusia. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa senyawa aktif yang diisolasi dari tanaman tersebut cenderung lebih aman dibandingkan yang berasal dari tanaman yang tidak memiliki riwayat digunakan manusia.

Disamping itu, menurut Ratna, isolat asal yang diperoleh bisa langsung digunakan sebagai obat. Bahkan, dikembangkan menjadi molekul baru untuk mengatasi keterbatasan dari molekul asal.

“Misalnya, modifikasi senyawa anestesi lokal kokain yang bersifat kompleks menjadi senyawa sederhana, yaitu benzokain dan kuinin sebagai anti malaria menjadi kuinidin untuk obat jantung,” ujarnya.

Namun, di sisi lain pengembangan obat dari sumber daya alam memiliki sejumlah kelemahan. Salah satunya terjadi  eksploitasi terhadap sumber daya alam akibat komersialisasi produk. Kebutuhan akan bahan baku tanaman obat yang tinggi sementara ketersedian bahan baku semakin terbatas. Selain itu, pengembangan obat dari tanaman juga membutuhkan biaya tinggi dalam proses ekplorasinya.

Ratna menegaskan, upaya pemanfaatan tanaman obat di Indonesia perlu dilakukan. Dengan langkah tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat besar  bagi masyarakat.  Namun, dalam pemanfaatannya diharapkan tetap memperhatikan kelestarian untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan.

Menurutnya, riset terintegrasi, komperehensif, dan berkesinambungan untuk penemuan dan pengembangan obat baru juga harus terus digalakkan. Pemerintah juga diharapkan mampu menyediakan dana dan peralatan yang dapat menunjang pelaksanaan riset agar berhasil dan berdaya guna.

“Harapannya dengan pengembangan obat baru dalam negeri ini dapat mengurangi ketergantungan obat dari luar negeri,” terangnya. (T/R05/R01)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)