Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA
Orang Rohingya, kumpulan etnis Indo-Arya beragama Islam ini berada di utara Negeri Rakhine – dulunya dikenal sebagai Arakan – yang terletak di Barat Burma, tetapi mereka tidak diakui sebagai Warga Negara Myanmar, bahkan diburu, ditindas, diusir dan diperlakukan dengan sangat buruk.
Myanmar hingga kini menolak mengakui kewarganegaraan sekitar 1,3 juta anggota etnis Rohingya. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mencatat mereka sebagai kaum minoritas yang paling diburu. Pemerintah di Naypyidaw berulangkali menegaskan, etnis Rohingya tidak lain adalah pendatang ilegal asal Bangladesh.
Kebencian terhadap etnis Rohingya juga mengakar kuat di dalam kelompok ultra-nasionalis Buddha Myanmar. Pendapat umum yang beredar menyebutkan keberadaan kelompok minoritas itu mencoreng wajah Myanmar. Ratusan biksu turun ke jalan sembari meneriakkan yel-yel anti Rohingya. “Tolak pengungsi kapal di Myanmar!”
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Di saat yang bersamaan ribuan pengungsi masih terapung di Laut Andaman. Mereka berniat ke Thailand yang sedang menggelar konferensi pengungsi. Sementara di Myanmar simpatisan kelompok Buddha Nasionalis memprotes dunia internasional yang menyalahkan negaranya, terkait krisis manusia perahu itu.
Tapi tanggungjawab moral Myanmar sulit dibantah. “Sebagian besar pengungsi adalah etnis Rohingnya yang melarikan diri dari situasi represif di Myanmar,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Antony Biken.
Sejarah orang Rohingya konon berawal pada abad ke-7 di Negeri Arakan yang menjadi tempat pedagang-pedagang Arab yang beragama Islam. Mereka memiliki persamaan fisik, bahasa dan budaya dengan orang Asia Selatan, terutama orang Benggali. Setengah orang Rohingya yang menetap di Arakan adalah keturunan orang Arab, Parsi dan Pashtun yang berhijrah ke Arakan semasa era pemerintahan Empayar Mughal.
Orang Rohingya terus menerus menderita akibat pencabutan hak kemanusiaan oleh junta tentara Myanmar sejak tahun 1978, akibatnya banyak yang melarikan diri ke negara jiran seperti Bangladesh.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Gerakan pembebasan orang Rohingya dibatasi dengan ketat dan pada hakekatnya sebagian besar mereka telah dinafikkan kewarganegaraan Myanmar. Mereka juga mengalami pelbagai bentuk pemerasan dan pencukaian ilegal; penyitaan tanah; pengusiran paksa: pemusnahan rumah; dan batasan perkawinan.
Tak tahan terus menerus dipaksa menjadi buruh dalam pembuatan jalan raya dan kamp-kamp tentera, tahun 1978 sekira 250 ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Kejadian itu membuat tentara Myanmar terus menyasar mereka yang masih tinggal di negeri itu, membunuh, memusnahkan masjid dan menindas agama Islam secara besar-besaran.
Tahun 1991-92, satu gelombang besar orang Rohingya kembali melarikan diri ke Bangladesh. Mereka melaporkan tentang program buruh paksa di samping penyiksaan dan hukuman mati yang terus diberlakukan. Orang Rohingya dipaksa bekerja tanpa bayaran oleh tentara Myanmar di proyek-proyek infrastruktur dan ekonomi, lazimnya dalam keadaan yang buruk.
Pelanggaran HAM
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Setengah dari pelarian itu pada tahun 2005 dikembalikan oleh UNHCR ke negara tersebut, tetapi pelanggaran atas hak asasi manusia di kamp-kamp mengancam usaha badan pengungsi tersebut. Maka sebagian lagi masih berada di Bangladesh, Pakistan, Arab Saudi, UAE, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Banyak pelanggaran atas hak-hak kemanusiaan dalam kaitan buruh paksa orang Rohingya oleh pasukan Myanmar. Pada 6 Februari 2009, Menteri Liar Negeri Indonesia, Hassan Wirayuda mengecam Burma karena melakukan kekejaman terhadap pelarian Rohingya. Sekira hampir 400 orang Rohingya diselamatkan di pantai Sumatera, setelah terkatung-katung selama tiga pekan di lautan.
PBB memperkirakan masih ada sekitar 800.000 orang etnik Rohingya di Myanmar. Para anggota parlemen dari ASEAN (APHR) meminta Myanmar segera melakukan investigasi terhadap pelanggaran HAM di Rakhine. Para diplomat tersebut berencana mendatangi Rakhine.
APHR menurut Reuters, meminta militer Myanmar agar membiarkan pekerja kesehatan masuk ke Rakhine memberikan pengobatan kepada warga yang sakit. Selain itu juga mendesak agar militer Myanmar membiarkan jurnalis meliput di wilayah Rakhine untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan membuat dokumentasi.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Perkembangan terbaru, tentara Myanmar dikirim ke utara Rakhine karena militan Rohingya menyerang pos perbatasan pada 9 Oktober lalu dan membunuh sembilan polisi. Lima tentara dan 30 militan Rohingya tewas dalam operasi militer itu. Penyerangan oleh militan Rohingya hanyalah bentuk keputusasaan mereka karena penghapusan hak-haknya sebagai warga negara oleh Pemerintahan Myanmar yang kejam terhadap mereka.
Menurut aktivis HAM, kejahatan yang dilakukan oleh tentara Pemerintah Myanmar terhadap mereka antara lain eksekusi, pemerkosaan, dan pembakaran rumah-rumah suku muslim Rohingya. Ini merupakan pelanggaran HAM luar biasa dan tak bisa ditolerir. Suku Rohingya saat ini hidup seperti di era aparteid di Afrika Selatan, mereka diperlakukan layaknya budak.
Keprihatinan turut diungkapkan Departemen Luar Negeri AS, atas terjadinya pemerkosaan yang menimpa Muslim Rohingya. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Mark Toner, meminta Myanmar menyelidiki perkosaan yang dilaporkan dan melakukan pertanggungjawaban.
Daerah Rakhine sendiri telah berada di bawah kendali militer sejak serangan terhadap penjaga perbatasan tiga pekan lalu. Cerita pelecehan seksual dan pembakaran desa, sulit diverifikasi karena adanya pembatasan akses oleh tentara. Amnesty Internasional dan Human Right Watch merasa perlu adanya penyelidikan secara imparsial.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
“Jika tentara Myanmar tidak terlibat pelanggaran HAM, seharusnya mereka tidak kesulitan memberi akses kepada investigator independen,” kata Rafendi Djamin, Direktur Amnesty Asia Tenggara dan Pasifik, seperti dilansir Arab News.
Peran Suu Kyi
Penasihat Negara Myanmar dan Menteri Negeri Aung San Suu Kyi dalam pidatonya di depan Sidang Umum PBB di New York akhir September lalu menyampaikan bagaimana negaranya mencoba memecahkan masalah Rohingya. “Sudah ada tindakan dan upaya oleh Myanmar untuk menangani masalah yang jadi sorotan dunia itu, namun tidak mudah dan memakan waktu.”
“Kami tidak takut atas pengawasan internasional, tapi kami minta pengertiannya dan kontribusi konstruktif dari komunitas internasional,” ucap Suu Kyi. “Kami berkomitmen untuk mencari solusi permanen yang dapat membawa kami dalam perdamaian, stabilitas serta pembangunan untuk semua komunitas di Myanmar.”
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Menurut Suu Kyi, pendekatan yang dipakai pemerintah adalah penyelesaian masalah secara menyeluruh. Sehingga pembangunan di semua komunitas bisa dimengerti semua pihak. Di Rakhine sudah dibentuk Komisi Penasehat oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan guna membantu penanganan masalah keamanan dan hak dasar orang Rohingya.
Dia mengakui, pembentukan komisi itu mendapat tentangan dari pihak-pihak internal Myanmar, namun pemerintah terus mempertahankan keberadaannya demi membangun perdamaian di Rakhine. “Dengan sikap teguh kami melawan semua prasangka dan intoleransi, kami menegaskan kembali keyakinan kami untuk mempertahankan martabat dan nilai manusia.”
“Wilayah Rakhine serta warga Muslim di sana hidup kekurangan, dan kami ingin semua orang di kawasan itu dalam keadaan aman,” ujar Suu Kyi. “Apa yang telah kami coba lakukan ialah menemukan cara mengakhiri ketegangan komunal dan semua perselisihan yang ada.”
Sebelum menjadi State Counsellor, Suu Kyi dikecam dunia internasional, karena tak mau bicara banyak dan terkesan acuh atas masalah Rohingya, padahal persoalan ini sama sekali tak bisa diacuhkan, sebab korban jiwa terus berjatuhan, harta benda hancur lebur dan penghidupan etnis Rohingya kian memburuk.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Matthew Smith, pendiri kelompok kampanye Fortify Rights mengatakan pembatasan terhadap populasi Muslim sudah ada dan menjadikan Provinsi Rakhine utara seperti “provinsi polisi, provinsi apartheid”. “Pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks kontra-pemberontakan di utara provinsi Rakhine bukanlah hal baru.”
Pihak berwajib seringkali menuduh Rohingya terlibat dengan ekstremis bersenjata. Ahad lalu merupakan hari paling berdarah di provinsi itu sejak 2012, ketika lebih dari 100 orang tewas dalam bentrok antara Rohingya dan suku Rakhine penganut Buddha. Sekitar 125 ribu orang, mayoritas Rohingya, masih terusir dari rumahnya. Tragedi kemanusiaan atas etnis Rohingya tampaknya tidak berujung. (R01/R05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara