Saat Nilai Ketaatan Itu Memudar

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

FAKTA yang seringkali terjadi di tengah hiruk pikuk kehidupan kita adalah saat melihat orang yang meningkat nilai ketaatannya dalam menjalankan perintah agama. Namun, setelah begitu lama ia tidak muncul dihadapan kita (menghilang) beberapa waktu saja, tiba-tiba kita dikejutkan dengan ketaatannya yang menurun drastis (futur).

Untuk contoh nyata, adalah kondisi kaum muslimin di awal bulan Ramadhan yang penuh dengan ibadah dan khusyuk membangun . Lalu, bandingkan dengan keadaan mereka beberapa hari atau beberapa bulan setelah Ramadhan berlalu, sungguh betapa amat mencolok perbedaan yang terlihat.

dan melemahnya nilai ketaatan adalah dengan meninggalkan ketaatan itu sendiri atau tidak mempertahankan keutuhan nilai-nilai syariat di dalam diri berupa amalan shalih, akhirnya jatuh kepada perkara haram. Ada beberapa faktor yang menyebabkan memudarnya nilai ketaatan di tengah-tengah kaum muslimin antara lain, sebagai berikut.

Pertama. Tidak Hati-hati dalam Berbicara dan Berjanji. Banyak sekali orang yang mengeluhkan masalah ini. Masih sering dijumpai seseorang yang membuat janji kepada saudaranya sesama muslim, tapi ia tidak menaruh perhatian terhadap janjinya itu, bahkan sering kali ia langgar atau terlambat menepatinya.

Lebih parah lagi kadang kala ia malah meniatkan melanggar perjanjian itu tanpa memedulikan akibatnya dan tanpa memerhitungkan pahala yang bakal diperoleh dari menepati janji. Lucunya terkadang ia malah menggerutu bila janji-janji itu ditepati sambil mengolok, “Apakah kita harus berlagak kebarat-baratan?” Apakah ia lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa menepati janji adalah salah satu keistimewaan kaum muslimin. Kalau tidak percaya, silakan buka lembaran-lembaran sejarah dan biografi tokoh-tokoh Islam dalam hal menepati janji. Perlu diketahui, ketika kaum muslimin meremehkan masalah ini, musuh-musuh Islam justru mencaploknya. Sehingga sangat disayangkan bila mereka mengambil intinya sementara kaum muslimin kebagian kulitnya saja.

Kedua. Terburu-buru dalam Memvonis Tanpa Cek dan Ricek (Tabayyun). Berapa banyak kita jumpai orang-orang yang menimbang dengan dua timbangan (tidak fair dalam memvonis orang). Mereka membuat-buat tuduhan lalu menjatuhkan vonis secara keji. Jika ditanya tentang alasannya, tanpa malu-malu mereka berkata, “Begitulah dugaan saya!”, “Kata orang demikian!”, “Aku dengar orang-orang berkata begitu!”

Bila ditanya tentang seseorang, ia langsung memvonis, “Ia seorang ahli bid’ah!” atau yang lebih parah dari itu. Tanpa ragu ia memvonis fasik atau memvonis kafir orang lain. Jika engkau tanya, “Siapakah orang yang memberi tahu kamu hal ini, apa bukti kamu?” Ia akan terdiam seribu bahasa. Apakah mereka lupa atau tidak tahu bahwa tabayyun termasuk manhaj (prinsip) Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Simaklah firman Allah Subhannahu wa Ta’ala berikut ini yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada-mu orang fasik membawa suatu berita, maka perik-salah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengeta-hui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujurat: 6)

Betapa sangat mengherankan bila musuh-musuh Islam dengan beragam tingkatannya dapat terhindar dari kebenciannya sementara saudara-saudaranya seiman tidak dapat terhindar dari itu?!

Sikap mereka itu mengingatkan kepada sindiran salah seorang tokoh salaf ketika mendapati seseorang mencela saudaranya seiman. Ia katakan kepada orang yang mencela itu, “Apakah engkau pernah memerangi pasukan Romawi?” “Belum!” jawabnya. “Apakah engkau pernah berperang melawan tentara Parsi?” tanya beliau lagi. “Belum!” jawabnya. Beliau lantas berkata, “Subhanallah, musuh-musuh Allah dapat terhindar dari gangguanmu sementara saudaramu seiman tidak!?” Lalu beliau membacakan ayat, “Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya.” (Al-Maidah: 74).

Tidakkah mereka mengetahui bahwa setiap muslim akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh ucapannya? Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18)

Ketiga. Berlaku Aniaya dalam Pertengkaran dan Tidak Memperhatikan Etika dalam Berbeda Pendapat

Sebagian orang ada yang begitu tertambat hatinya dengan sebuah pendapat. Kadangkala ia menetapkan wala’ dan bara’ atas dasar pendapat tersebut. Konsepnya mengatakan, “Jika kamu tidak bersamaku, maka engkau adalah musuhku!” Oleh sebab itu ia tidak mau bergeming dari pendapat itu meskipun sejengkal, atau paling tidak mengatakan bahwa pendapatnya itu mungkin salah! Kadangkala ia mencampuri masalah niat dan menebak-nebak isi hati orang lain. Terkadang ia juga mendikte dengan apa yang sebenarnya tidak diyakini oleh seterunya itu, atau dengan cara-cara keji lainnya.

Keempat. Mendengarkan Isu dan Kabar Dusta. Sekarang ini banyak kita temui orang yang suka mendengar kiri kanan, suka mendengar isu-isu dari setiap orang. Kemudian ia menyebarkan seluruh yang didengarkannya tanpa rasa takut dan bersalah. Kadang-kala sebuah berita dusta yang bersifat adu domba disampaikan kepada seseorang, lalu ia sebarkan berita itu seolah-olah sebuah kebenaran yang nyata. Realita yang sering kita temui pada hari ini cukup sebagai buktinya.

Kelima. Pilah-pilih Amal Ketaatan. Yaitu memilih amalan-amalan ketaatan yang sesuai dengan dorongan hawa nafsunya saja. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Orang yang bijaksana adalah yang mengoreksi dirinya dan segera beramal sebagai bekal untuk hari Akhirat. Dan orang yang lemah adalah yang selalu memperturutkan hawa nafsu, di samping itu ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Oleh sebab itu pula, sebagian orang hanya mengikuti kebenaran yang sejalan dengan hawa nafsunya. Kalau tidak sejalan, maka ia akan menoleh ke kiri dan ke kanan mencari tempat bersandar. Sebagian ulama salaf ada yang berkata, “Hawa nafsu dapat menjadi ilah yang disembah-sembah. Kemudian ia membaca ayat,       “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menja-dikan hawa nafsunya sebagai ilahnya.” (Qs. Al-Jatsiyah: 23)

Keenam. Menelantarkan Urusan Keluarga. Tidak memperhatikan pertumbuhan keluarga dan anak-anak sampai kepada kondisi yang diharapkan. Seringkali kita temui orang-orang yang sibuk dengan karirnya, sementara keluarga dan anak-anaknya tenggelam dalam perbuatan dosa. Namun meskipun demikian, hatinya tidak tergerak untuk merubahnya.

Dengan dingin ia berkata, “Ah sudahlah! Yang penting tidak mengganggu karirku.” Kadangkala ia memergoki dengan mata kepalanya sendiri kemungkaran itu, tetapi ia diam seribu bahasa. Begitulah akibatnya jika sudah terlalu banyak berbuat dosa, kesadaran pun sulit tergugah.

Ketujuh. Tidak Teguh dalam Menghadapi Problematika Kehidupan, Cobaan dan Musibah. Gemerlap kehidupan dunia kerapkali menyesatkan banyak manusia. Sedikit demi sedikit ia terseret ke dalam perbuatan haram. Tidak syak lagi, gemerlap dunia itu sangat kuat pengaruhnya dalam menurunkan nilai ketaatan seseorang, atau bahkan dapat menghilangkan nilai ketaatan itu dalam dirinya.

Tidakkah engkau lihat, seseorang yang keluar dari rumahnya demi mencari sesuap nasi, berbagai usaha pun dicobanya. Namun akhirnya ia terjerumus dalam praktek riba, hingga jadilah ia orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya.

Contoh lainnya, seorang yang bergelimang berbagai kasus penipuan dalam usahanya. Dan masih banyak lagi perkara lain yang merupakan bentuk-bentuk melemahnya nilai ketaatan.

Kedelapan. Mengabaikan Hak-hak Persaudaraan. Sudah barang tentu, disana ada beberapa hak yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim kepada saudaranya seiman. Hal itu sudah disebutkan Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dalam hadits-hadits beliau. Terkadang seseorang mengabaikan hak-hak tersebut, seakan-akan hak-hak persaudaran itu semata-mata ada jika menguntungkannya saja.

Sering kita temui sebagian orang yang melihat saudaranya melakukan perbuatan maksiat dan dosa, namun ia bersikap acuh tak acuh saja. Atau ada seorang saudaranya seiman yang meminta nasihat dan pengarahan darinya, atau meminta bantuannya untuk menghilangkan kesulitan, atau kepentingan-kepentingan lainnya, namun ia tidak merespon hal itu sedikitpun, apalagi membantu melepaskan saudaranya itu dari kesulitan! Tentu saja sikap semacam ini dapat mencederai nilai ketaatan.

Realita di atas sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, hal itu dapat kita jadikan barometer dalam mengukur nilai ketaatan yang ada di dalam diri. Semakin banyak hak persaudaraan yang kita abaikan, semakin lemah pula nilai ketaatan kita, wallahua’lam. (A/RS3/RI-1)

 

Mi’iraj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.