Saat Orang Gaza Ingin Pergi, Orang Mesir Mengungsi ke Gaza

Aisha Silmi berusia 50 tahun, mengungsi ke Gaza pada tahun 2016 setelah rumahnya dihancurkan di Sinai, oleh tentara Mesir. (Foto: Isra Namey/Al Jazeera)

Salman Shigan kini bertahan di sebuah tenda yang kotor di Gaza selatan. Pria berusia 71 tahun itu tidak dapat kembali lagi ke daerahnya di seberang perbatasan, yaitu di Mesir. Rumahnya di sana kini sudah tidak ada.

Salman dan keluarganya telah lolos dari penganiayaan yang tak tertahankan. Beberapa pembunuhan dilakukan oleh tentara Mesir, selama operasi yang mereka sebut kontraterorisme terhadap “kelompok jihad” di Semenanjung Sinai.

Rumah keluarga Salman di Sinai Utara dirobohkan oleh tentara Mesir pada tahun 2015, saat tentara melakukan operasi untuk membersihkan daerah itu, karena diduga ada militan bersenjata yang bersembunyi. Insiden tersebut membuat Salman menderita serangan jantung.

Setelah jantungnya sembuh sebagian, dia dan keluarganya – termasuk 24 anak dan cucu – melarikan diri ke Gaza melalui sebuah terowongan yang digunakan oleh para penyelundup.

Tentara Mesir tidak memberi kompensasi kepada keluarganya atas penghancuran rumah mereka.

Tentara Mesir itu meninggalkan Salman dan keluarganya untuk menghadapi takdir yang tidak diketahui. Sekarang, mereka hidup dalam kondisi yang sangat buruk dan sangat menderita. Air dan listrik pun mereka sangat kesulitan untuk mendapatkannya.

Provinsi Sinai, Mesir, telah diguncang oleh kekerasan dan ketidakstabilan sejak kelompok bersenjata meningkatkan serangan terhadap tentara setelah penggulingan Muhammad Mursi pada 2013, presiden pertama yang terpilih secara demokratis di negara tersebut.

Sebagai tanggapan, tentara Mesir melancarkan sebuah operasi militer besar-besaran yang melakukan pembongkaran ratusan rumah warga sipil. Karena terperangkap dalam baku tembak, ratusan orang suku Badui telah meninggalkan wilayahnya menyeberang ke Gaza.

Aliran pengungsi dari Sinai Mesir berlanjut sampai tahun ini, dengan membawa cerita bagaimana rumah mereka dihancurkan, orang-orang tercinta mereka dianiaya dan kehidupan mereka berantakan.

Namun, mengungsi ke Gaza bukanlah pilihan tepat, sebab mereka tidak menemukan banyak kenyamanan di daerah yang terkepung itu. Pengepungan Israel-Mesir yang melumpuhkan telah membuat hidup sebagian besar dari dua juta penduduk di wilayah tersebut menderita.

Menurut Adel Abdulrahman, yang bertindak sebagai juru bicara penduduk Mesir di Gaza, sampai saat ini ada sekitar 500 orang Sinai telah menetap di Gaza, kebanyakan di kota Rafah. Mereka menerima bantuan dari kerabat atau dari badan amal kemanusiaan. Sementara puluhan ribu lainnya masih tinggal di Sinai.

Komunitas Badui yang terpinggirkan di Sinai adalah orang-orang yang membayar mahal konflik yang sedang berlangsung. Operasi militer yang terus-menerus di Mesir untuk membersihkan para militan, tidak bisa membenarkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga negara.

Sejak 2013, tercatat 30 warga sipil Mesir telah terbunuh di Sinai oleh militer atau kelompok bersenjata, dan 150 lainnya telah terluka.

Ada sekitar 500 warga Mesir yang mengungsi ke melalui terowongan penyelundupan. (Foto: Isra Namey/Al Jazeera)

Sementara itu, Aisha Silmi (50) akhirnya berhasil sampai di Gaza pada tahun 2016 setelah banyak usahanya yang gagal untuk menyeberangi perbatasan. Setelah tinggal selama tiga dekade di Sinai, Aisha dan keluarganya diusir dari kotanya oleh tentara Mesir.

Dia ingat di hari ketika satu batalyon tentara Mesir menggerebek rumahnya, menakut-nakuti anak-anaknya dan menyuruh mereka pergi. Sudut rumahnya diledakkan oleh tentara Mesir. Tentara bahkan mengejar-ngejar dua anak laki-laki Aisha, menuduh mereka memiliki hubungan dengan para militan.

Tentara akhirnya menangkap dua anak Aisha. Dengan brutal tentara memukul mereka sebelum melepaskannya.

Tak lama kemudian, keluarga tersebut mulai bersiap untuk pindah ke Gaza. Mereka tidak diberi kompensasi atas rumah mereka yang telah dirubuhkan dan harus memulai dari nol di Gaza.

Aisha mengaku selalu merasa khawatir dengan nasib keluarganya yang lain di Sinai.

Tidak setiap orang dari Sinai berhasil melakukan perjalanan ke Gaza. Masih banyak para pengungsi Badui itu yang terdampar di padang pasir.

Kepala Urusan Pengungsi di Gaza, Ziad Sarafandi mengungkapkan bahwa orang-orang Mesir yang telah melarikan diri melintasi perbatasan, membutuhkan pertolongan. Kantornya mencoba membantu mereka dengan mendapatkan beasiswa untuk anak-anak pengungsi agar bisa belajar di universitas lokal. Ia bekerja sama dan berkoordinasi dengan PBB untuk membantu memberikan bantuan dasar.

Terlepas dari buruknya kondisi di Gaza, para pengungsi tersebut mencari perlindungan di daerah terblokade itu.

Ziad berkomitmen bahwa mereka tidak akan pernah bisa meninggalkan saudara dan saudari mereka menderita di Mesir.

Sementara itu, orang-orang Mesir yang telah melintasi perbatasan dan kini tinggal di Gaza, mengaku bahwa mereka terus-menerus dihantui oleh kerugian dalam berjuang untuk bertahan di wilayah yang diblokade tersebut.

Mohammed (bukan nama sebenarnya), takut mendapat balas dendam dari tentara Mesir. Ia terpaksa melarikan diri dari Sinai di tengah kekhawatiran akan terbunuh atau terluka dalam konflik yang sedang berlangsung.

Di Sinai, anak Mohammed ditangkap oleh tentara, disiksa sehingga kehilangan salah satu matanya. Mohammed lalu mengatakan kepada keluarganya bahwa mereka tidak dapat melanjutkan tinggal di Sinai untuk satu hari pun.

Mohammed bersama keluarganya lalu pindah ke Gaza melalui terowongan penyelundupan. Istri dan anak perempuannya harus menderita sakit karena sangat ketakutan saat melintasi terowongan.

Namun Mohammed bertekad untuk kembali ke Sinai setelah perang usai di suatu saat nanti. Ia ingin membangun kembali rumahnya bersama keluarganya. (RI-1/B05)

Sumber: tulisan Isra Namey di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.