Said Aqil Husin Al-Munawar : Tafsir al-Maidah 51 Sudah Jelas

Jakarta, 20 Muharram 1438/21 Oktober 2016 (MINA) – Guru Besar Tafsir-Hadis Universitas  Islam Negeri (UIN) Jakarta yang juga mantan Menteri Agama RI, menegaskan, tidak ada lagi yang perlu ditafsirkan dari Al-Quran surah al-Maidah ayat 51, pasalnya, ayat itu sudah jelas menyatakan. untuk tidak menjadikan non muslim sebagai pemimpin.

Hal tersebut disampaikannya saat menjawab pertanyaan salah seorang peserta Seminar Nasional bertema “Al-Qur’an untuk Semua” yang diselenggarakan Himpunan Qari dan Qariah Mahasiswa (HIQMA) UIN Jakarta pada miladnya yang ke-28 di Auditorium Harun Nasution, Kamis (20/10). Demikian laman UIN Jakarta yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

Ali, Guru Besar Tafsir-Hadis Fakultas Ushuludin UIN Jakarta ini, mengatakan, “Apanya lagi yang mau ditafsirkan? Dua kali (dalam ayat tersebut) dikatakan dengan “laa”. Laa tidak ada ta’wil yang lain. Itu laa nahyi yufiidut tahrim, yang berarti tidak boleh atau jangan sekali-kali.”

Bukan hanya muwalah (urusan kepemimpinan) saja, lanjutnya, termasuk yanshuruunahum (mendukung), wa yastanshoruunahum (meminta dukungan), wa yushoppuuna bihim, wa mu’aasyarotuhum.

“Buka Kitab Bahrul Muhit karya Imam Zarkasyi Jilid 3 halaman 507 dan Kitab Shofwatut Tafasir Jilid 1 halaman 479,” imbuhnya memastikan.

Menurutnya, tidak perlu lagi memperdebatkan yang sudah pasti. Karena ini siyasah syar’iyyah, maka diangkatlah pendapat Imam Ibnu Taimiyah rohimahullah yang memperbolehkan.

“Beliau bilang boleh. Itu belum titik, jangan berhenti sampai di situ, itu ada yang disembunyikan (oleh orang yang mengutip pendapat Imam Ibnu Taimiyah). Lanjutannya indad dhoruroh, jangan hanya (dikutip) bolehnya saja,” terangnya.

Pendapat yang sudah dipolitisir inilah, kata ulama yang hafal al-Qur’an ini, yang dijual ke mana-mana dengan mengangkat isu pemimpin non muslim yang jujur lebih baik daripada muslim yang tidak jujur. Padahal Imam Ibnu Taimiyah memperbolehkan dengan syarat jika kondisinya sudah darurat.

“Pertanyaannya adalah apakah saat sekarang ini posisi kita sudah darurat atau belum? Darurat itu seperti kalau tidak makan atau tidak minum, maka akan mati atau nyaris mati,” tandasnya.

Ditegaskannya, untuk tafsir ayat tersebut sudah tidak ada lagi tawar menawar. Terkait menempatkan kondisi darurat, dia menyarankan untuk membaca Kitab Nazhoriyah Dhoruroh asy-Syar’iyyah (yang sudah diterjemahkannya dalam buku Konsep Darurat dalam Hukum Islam) karya Wahbah Zuhaili dan karya Abdul Wahab Ibrohim Abu Sulaiman.

“Untuk urusan tafsir al-Qur’an, fas aluu ahladzikri bukan ahlal jahli,” tutupnya. (T/P006/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: Fauziah Al Hakim

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.