Yogyakarta, 8 Dzulhijjah 1437/10 September 2016 (MINA) – Ahli Sejarawan dan Budayawan Jawa, Muhammad Jazir ASP mengatakan Walisongo merupakan utusan dari Kekhilafahan Utsmani yang ditugaskan untuk menyebarkan Islam di Nusantara.
“Memang dakwah di Indonesia itu dilakukan secara terencana dan terstruktur oleh Sultan Muhammad I, yang dimulai dari 1404, dengan mengutus Walisongo” kata Jazir kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Dia mengatakan, Walisongo dipimpin oleh seorang ulama asal Turki yang bernama Maulana Malik Ibrahim, tokoh pendiri kesultanan yang ada di wilayah Indonesia, Kesultanan Demak.
Dewan Syuro Masjid Jogokariyan itu juga mengatakan bahwa utusan yang dikirim oleh Sultan Muhammad I tidak hanya cakap dalam ilmu agama.
Baca Juga: Menag Akan Buka Fakultas Kedokteran di Universitas PTIQ
“Mereka yang diutus oleh Khalifah memiliki keahlian dalam berbagai bidang untuk memperbaiki dan memajukan daerah di mana mereka ditugaskan,” terangnya.
Jazir menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, adalah salah satu contoh ulama yang juga ahli politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara.
Presiden Direktur Badan Koordinasi Pendidikan Al-Qur’an & Keluarga Sakinah Indonesia (BKPAKSI) itu juga menjelaskan bahwa ada tujuh angkatan Walisongo yang yang diberangkaatkan oleh Muhammad I ke tanah Jawa.
“Ada tujuh angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang. Mereka semua dari berbagai negara seperti Palestina, Myanmar, Filipina, Turki, China, dan Maroko” jelasnya.
Baca Juga: Presiden Prabowo Bertekad Perangi Kebocoran Anggaran
Islam masuk ke Indonesia jauh sebelum penjajah datang, dan kemudian terus berkembang hingga berdirilah kesultanan-kesultanan Islam seperti di Sumatera, Jawa, Sulawesi, sampai Kalimantan.
Degenerasi Makna Khilafah di Indonesia
Kekhilafahan Utsmani melalui sultan Muhammad I yang mengutus Walisongo sebagai juru dakwah menyebarkan Islam adalah awal tonggak pemahaman khilafah di Indonesia. Hal itu terbukti dengan pendirian Kesultanan Demak dengan sistim kepemimpinan khilafah yang kemudian diikuti oleh kesultanan di seluruh Indonesia.
Penasihat Sri Sultan Hamengku Buwono X itu mengomentari para netizen atau mereka yang mengatakan bahwa berbicara tentang khilafah kembali kepada zaman onta.
Baca Juga: Pemerintah Siapkan Langkah Antisipasi Ancaman Bencana Hidrometeorologi Basah
“Mereka yang anti terhadap khilafah, sejatinya belum mengetahui sejarah khilafah yang sebenarnya. Mereka harus belajar sejarah yang benar,” kata Jazir.
Ketua Dewan Syuro Masjid Jogokariyan itu juga menjelaskan, pemahaman makna khilafah dan khalifah yang yang diyakini oleh sebagian orang melenceng dari makna aslinya.
Senada dengan Jazir, Ketua Dewan Dakwah Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Wilayah Jabodetabek, M. Amin Nuroni mengatakan, terjadi degenerasi makna khilafah dewasa ini, yang sudah jauh menyimpang dari makna aslinya.
“Jika melihat dari sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam tentang makna khilafah, adalah kepemimpinan yang mengikuti jejak kenabian atau yang disebut dengan Khilafah ‘Alamin Hajjin Nubuwwah,” kata Amin.
Baca Juga: Prof Yon Mahmudi: Israel Dapat Keuntungan dari Krisis Suriah Saat Ini
Dia mengatakan, makna khilafah yang dipahami sebagian orang adalah makna khilafah mulkan (kerajaan), bukan khilafah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’ ‘Alaihi Wasallam.
“Pola kepemimpinan yang Rasul contohkan itu dengan mengangkat pemimpin yang kemudian dibaiat, kemudian ditaati, dan pertumbuhannya seperti pohon yang kokoh, sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat Al-Fath ayat 29,” katanya.
Mengenai penyimpangan dan degenerasi makna khilafah, tentang wajibnya mendirikan kekuasaan untuk berdirinya khilafah, Amin menjelaskan bahwa masyarakat belum memahami sistem khilafah yang sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunah.
“Kenapa Jamaah Muslimin mendahulukan mengangkat seorang pemimpin (khalifah) dibanding mendirikan kekuasaan? Karena ta’at pada khalifah kedudukannya sama dengan taat pada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam Surat An-Nisa ayat 59,” tegasnya.
Baca Juga: Muhammadiyah Bikin AC yang Bisa Ingatkan Waktu Shalat
Dia menambahkan, kekuasaan tidak lebih penting dibanding mengangkat seorang khalifah yang sudah menjadi syariat yang dicontohkan Rasulullah.
“Karena ukuran keberhasilan berjalannya syariat bukan dilihat dari besar kekuasaan dan banyaknya pengikut, tapi dari seberapa besar mereka melaksanakan apa yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam,” tutupnya. (L P004/R04/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Ukhuwah Al-Fatah Rescue Ikuti Latihan Gabungan Penanganan Banjir