SERTIFIKASI PRODUK HALAL KAJIAN ILMIAH AKADEMIK

Jakarta, 13 Rajab 1435/13 Mei 2014 (MINA) – Ketua Lembaga Kajian Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta, H. Sopa mengatakan, masalah kehalalan produk konsumsi merupakan hal yang sangat sensitif bagi masyarakat, khususnya umat Muslim Indonesia.

Namun ironisnya, aspek sertifikasi halal yang dibutuhkan umat Islam itu malah belum mendapat kekuatan formal di dalam undang-undang.

Sementara di Malaysia, bahkan Singapura yang penduduk Muslimnya relatif minoritas, ketentuan halal telah tercantum secara eksplisit di dalam undang-udang mereka, sebagai aspek dalam perlindungan konsumen, disertai sanksi hukum yang tegas bagi pelanggarnya. Sehingga sertifikasi halal memiliki pengaruh dan wibawa yang kuat, katanya. di Jakarta, Senin (12/5)

“Sensitivitas masyarakat yang tinggi itu terbukti dalam beberapa kasus, banyak produk yang terbukti tidak halal, ditolak oleh masyarakat,” tuturnya dosen sekaligus Ketua Lembaga Kajian Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta tersebut, website MUI melaporkan yang dilansir Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Selasa.

Kemudian lulusan S3 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini memberikan contoh, seperti produk vetsin atau bumbu masak yang dihasilkan oleh satu perusahaan multi nasional pada 2000.

Juga vaksin meningitis untuk jamaah haji dan umroh, produk roti, restoran, Akibatnya, pangsa pasar perusahaan menurun, bahkan mengalami kerugian yang sangat besar.

Jauh sebelumnya, tambahnya pula, isu “lemak babi’ yang terjadi pada tahun 1988 membuat masyarakat resah dan menjadi panik.

Pihak produsen juga tidak kalah paniknya. Pada waktu itu isu tersebut berkembang semakin luas. Masyarakat merasa ketakutan membeli produk-produk yang dicurigai dengan isu lemak babi tersebut,

Sehingga banyak produk makanan tidak laku karenanya menyebabkan tingkat penjualan turun drastis hingga 80%.

Kondisi itu nyaris memicu kemarahan massa Islam, dan melumpuhkan roda perekonomian nasional dengan terancam bangkrutnya beberapa perusahaan makanan besar di Indonesia.

Selain itu, urgensi sertifikasi halal itu adalah karena umat Islam diperintahkan untuk mengkonsumsi produk yang halal, bukan yang sebaliknya.

Dia mengutip ayat yang artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 168-169).

Edukasi dan Advokasi sebagai “Win-win Solution”

Untuk meyakini produk yang akan dikonsumsi itu benar-benar halal bagi umat Islam, maka harus diteliti melalui proses sertifikasi halal oleh MUI.

Kalau dalam proses produksinya ada hal-hal yang tidak halal, atau diragukan kehalalannya, maka para ulama di MUI serta auditor halal di LPPOM MUI memberikan edukasi, advokasi dan saran agar bahan yang diragukan itu diganti, atau prosesnya diperbaiki, sehingga memenuhi kaidah syariah yang telah ditetapkan.

Hal ini tentu merupakan “win-win solution”. Pihak perusahaan tetap dapat membuat dan memasarkan produk yang dihasilkannya, tanpa mengalami hambatan yang berarti, dan umat Islam juga dapat memperoleh produk yang halal untuk kebutuhan konsumsinya.

Dengan langkah-langkah yang dilakukan ini, maka keresahan masyarakat karena produk yang tidak halal dapat diredam, kerugian perusahaan juga dapat ditangkal, dan perekonomian negara dapat terus bergerak secara dinamis.

Demikian hasil penelitian akademik yang dilakukan secara mendalam, dikemukakan anggota Komisi Fatwa MUI ini. (T/P012/R2)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0