Stop Aneksasi Israel ke Tepi Barat (Oleh Ali Farkhan Tsani)

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

Benjamin Netanyahu dalam kampanye pemilu tahun lalu, Selasa (11 September 2019) mengumumkan bahwa dia akan menganeksasi sejumlah besar wilayah Palestina di Tepi Barat, jika dia terpilih kembali menjadi Perdana Menteri.

Ia hendak meluluskan sebuah skema selama beberapa dekade yang dianggap sebagai skenario akhir untuk aspirasi kenegaraan Palestina.

Pemimpin Partai Likud itu berencana mengambil tindakan, yang akan secara permanen menguasai sepertiga Tepi Barat, termasuk Lembah Yordan dan Laut Mati utara. Ia mengisyaratkan bahwa hal itu akan disetujui oleh Washington.

“Saya menunggu untuk melakukan ini dalam koordinasi maksimal dengan Trump,” katanya dalam pidato ambisius yang disiarkan langsung oleh televisi Israel saat itu.

“Peta ini mendefinisikan perbatasan timur kita. Kami belum memiliki kesempatan semacam ini sejak perang enam hari tahun 1967, dan mungkin tidak memilikinya lagi selama 50 tahun,” ujar Netanyahu

Netanyahu tidak memenangkan pemilu degan meraih 60 kursi tambah satu untuk membentuk pemerintah sendiri. Terpaksalah ia membentuk pemerintah koalisi dengan saingan beratnya, Benjamin Benny Gantz, seorang pensiunan jendral, pemimpin Partai Kachol Laval (Biru Putih). Warna yang mengacu pada bendera nasional Israel. Mereka akan berbagi masa menjadi Perdana Menteri dimulai dengan Netanyahu.

Empat bulan setelah kampanye itu, lalu muncullah Deal of The Century (Kesepakatan Abad Ini), berisi usulan Trump, dalam tema Peace to Prosperity: A Vision to Improve the Lives of the Palestinian and Israeli People (Damai Menuju Kemakmuran: Visi untuk Meningkatkan Kehidupan Rakyat Palestina dan Israel).

Presiden AS Donald Trump secara resmi mengeluarkan rencana sepihak itu dalam sebuah konferensi pers di Gedung Putih bersama dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada 28 Januari 2020. Sementara perwakilan Palestina tidak diundang.

Rencana Trump itu semakin memperkuat rezim Israel untuk lebih banyak lagi merambah tanah-tanah di wilayah Palestina. Terlebih ada kalimat yang menyebutkan, “Yerusalem akan tetap menjadi ibukota berdaulat Negara Israel, dan kota itu harus tetap menjadi kota yang tidak terbagi.”

Trump semakin memberi kesempatan Israel untuk melakukan aneksasi dan membangun permukiman yang dilegalkan.

Sebuah konsprirasi jahat mendorong penjajahan Israel atas Palestina agar terus berlangsung.

https://minanews.net/konspirasi-trump-terhadap-palestina/

Pembicaraan Aneksasi

Kunjungan singkat Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ke Israel pada Rabu, 13 Mei 2020 cukup mengejutkan. Selain kehormatan Pompeo mengunjungi Netanyahu pada malam berdirinya pemerintah baru, dilaporkan bahwa ia bermaksud untuk membahas masa depan kampanye melawan Iran, kerja sama dalam melawan virus corona dan mengantisipasi aneksasi di Tepi Barat.

Dua subjek pertama sebenarnya tidak memerlukan kunjungan khusus. Koordinasi dengan Amerika Serikat tentang Iran  sepanjang ini sedang berlangsung dan teratur. Juga kerja sama dalam memerangi virus corona.

Namun, rencana aneksasi ke bagian-bagian Tepi Barat membutuhkan klarifikasi yang tepat, sehingga tidak ada ruang untuk penafsiran.

Duta Besar AS untuk Israel, David Friedman, mengatakan perlunya mengkondisikan langkah melalui negosiasi dengan Palestina sesuai rencana perdamaian Trump.

Sementara menantu Trump, Jared Kushner, yang juga penasihat Presiden, menjelaskan bahwa apa yang telah disepakati antara AS dan Israel adalah pembentukan komite bersama untuk membahas peta jalan yang terorganisir. Pernyataannya belum mencerminkan klarifikasi apakah AS mendorong atau menolak aneksasi sepihak.

Asumsi umumnya, seperti disebutkan Editorial Haaretz, edisi 13 Mei 2020, memang bahwa pemerintah AS akan mendukung keputusan apa pun yang dibuat oleh Netanyahu. Apakah itu dalam kerangka rencana perdamaian atau tidak. Ini bukan hanya karena komitmen Trump terhadap Netanyahu, tetapi karena ia menginginkan dukungan hak Amerika, khususnya kaum evangelikal, menjelang pemilihan presiden AS November mendatang.

Namun, pembicaraan aneksasi seiring kecaman dan tekanan internasional, tampaknya Israel dalam keraguan atau mencoba berpikir ulang.

Ini pula yang disampaikan perwira senior militer Israel, bahwa implementasi keputusan untuk aneksasi Lembah Jordan dan permukiman Tepi Barat bisa memakan waktu beberapa bulan karena banyak masalah rumit yang harus dihadapi.

Perwira senior itu membicarakan, implementasi keputusan aneksasi perlu waktu lama untuk dilaksanakan oleh tentara, mulai saat tingkat politik mengeluarkan keputusan aneksasi, hingga implementasi di tingkat sipil.

Keputusan aneksasi juga akan disertai dengan banyak masalah rumit, termasuk tanah Palestina yang disita oleh keputusan komandan tentara Israel di Tepi Barat dan status hukum mereka setelah aneksasi.

Sekutu koalisi Netanyahu, Gantz, seorang jendral berpengalaman luas, yang jadi Menteri Pertahanan, juga memberi pandangan-pandangan terutama dari segi keamanan dan militer yang mengatakan pelaksanaan dan akibat aneksasi bukan soal mudah.

Tekanan Internasional

Masalah lainnya adalah penentangan dari warga Palestina yang memiliki tanah di Nablus, Ramallah, dan Lembah Jordan. Belum lagi konsekwensi eskalasi dengan tetangga Yordania dan negara-negara Liga Arab yang diharapkan adanya normalisasi diplomatik.

Raja Yordania Abdulllah sudah memperingatkan Israel atas rencananya menganeksasi bagian-bagian Tepi Barat akan mengancam stabilitas di Timur Tengah.

Raja Abdullah memperingatkan bahwa tindakan Israel sepihak untuk mencaplok tanah di Tepi Barat tidak dapat diterima dan merusak prospek perdamaian dan stabilitas di kawasan itu.

Negara-negara Liga Arab pu telah membuat statemen bahwa rencana Israel untuk menganeksasi Tepi Barat dan bagian manapun dari wilayah Palestina dianggap sebagai kejahatan perang baru.

Lebih luas lagi, peringatan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang meminta negara-negara anggotanya untuk mengambil langkah-langkah politik, hukum dan ekonomi, jika Israel menerpkan rencana aneksasi Israel terhadap sebagan besar wilayah Tepi Barat, Palestina.

Dalam resolusi yang diputuskan pada akhir pertemuan luar biasa virtual Komite Eksekutif OKI Tingkat Menteri Luar Negeri pada Rabu (10/6/2020), sidang yang dipimpin Arab Saudi meminta langkah-langkah pencegahan terhadap negara, pejabat, anggota parlemen dan individu yang terkait dengan dukungan rezim kolonial Israel, karena telah melanggar hukum internasional dan resolusi PBB terkait dengan masalah Palestina.

Penentangan besar dunia internasional pun terlihat, dengan pernyataan negara-negara Uni Eropa tentang niat mereka untuk membahas sanksi terhadap Israel.

Inggris salah satunya, negara yang memberikan mandat Palestina kepada Yahudi, hingga menjadi negara Israel. Ini ditujukkan oleh sedikitnya 127 politisi Inggris dari berbagai pihak, yang telah menulis surat kepada Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Inggris. Isinya mendesak pemerintah menjelaskan kepada publik di Israel bahwa setiap aneksasi wilayah Palestina yang diduduki akan memiliki konsekuensi berat termasuk sanksi.

Para politisi itu termasuk mantan anggota kabinet, menteri, dan diplomat senior, menuntut tindakan bukan kata-kata dalam menentang aneksasi Israel.

Bahkan, di parlemen Amerika Serikat pun penentangan itu cukup kuat. Paling tidak ini disuarakan oleh para senator senior Partai Demokrat yang menentang keras rencana Israel untuk aneksasi Tepi Barat. Padahal, para senator itu selama ini dikenal sebagai pendukung kuat Israel.

Para senator senior seperti Pemimpin Minoritas Senat Chuck Schumer, Senator Bob Menendez dan Ben Cardin perwakilan utama partai di Komite Hubungan Luar Negeri. Ketiganya merilis pernyataan bersama menentang aneksasi Israel secara unilateral atas wilayah Tepi Barat.

Pernyataan itu, yang pertama kali diterbitkan dalam Jewish  Insider, adalah indikasi terbaru bahwa aneksasi bisa menyebabkan semakin merenggangnya hubungan antara Partai Demokrat AS dan Israel.

Schumer, Menendez dan Cardin dianggap sering memantau kebijakan terkait Israel, dan ketiganya juga memberikan suara menentang pada perjanjian nuklir Iran 2015 dan mengecam kebijakan mantan Presiden AS Barack Obama tentang konflik Israel-Palestina.

Lembaga dunia PBB pun sudah mengeluarkan bahwa akan terjadi konflik baru antara Israel dan Palestina, jika Israel melanjutkan rencananya untuk menganeksasi bagian-bagian Tepi Barat yang diduduki.

PBB menekankan, jika Israel melanjutkan rencana aneksasinya dan Otoritas Palestina menarik diri dari perjanjian Oslo, pekerjaan yang telah dicapai selama 25 tahun terakhir akan rusak, keamanan akan runtuh dan kedua belah pihak akan menyaksikan politik ekstremis lebih lanjut. (Middle East Monitor, edisi 1 Juni 2020).

Hentikan Aneksasi

Konsekwensi aneksasi pada puncaknya adalah revolusi bersenjata perang terbuka yang akan terjadi dengan dukungan penuh kelompok bersenjata kuat dari Jalur Gaza.

Ini sudah dicanangkan oleh Khalil al-Hayya, anggota Biro Politik Gerakan Perlawanan Islam Hamas yang mengatakan, “Sudah saatnya bagi Hamas di Gaza memindahkan senjatanya untuk  perjuangan Palestina, kehilangan wilayah  tidak dapat dicatat dalam hidup kita.”

Dalam pidatonya pada konferensi populer menghadapi aneksasi dan Kesepakatan Abad Ini yang dilakukan secara virtual. Quds Press melaporkan, Rabu (17/6/2020), ia menyatakan “Senjata kami sah dan jari-jari kami adalah pemicunya, dan keputusan ada di tangan kami.”

Dampak khirnya adalah peluang negosiasi diplomatik pada masa depan dengan Palestina berdasarkan pada solusi dua negara (two states solution), menjadi hambatan utama pemerintah Israel masa depan.

Di sini ternyata aneksasi adalah bahaya eksistensial bagi Israel itu sendiri. Jadi, jika demikian, Israel atas wilayah-wilayah di Tepi Barat. Sekarang juga ! (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)