Stop Maksiat

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Seringkali pundak kita merasa berat dan lelah. Seringkali kepala, mata, teling bahkan lisan kita merasa sakit. Lelah dan sakitnya anggota badan yang kita punya itu bisa jadi bukan karena sakit atau lelah akibat lamanya kita bekerja. Bisa jadi lelahnya kedua pundak, sakitnya sebagian panca indera kita itu, akibat banyaknya kemaksiatan yang sudah dilakukan.

Mengapa pelaku membuat tubuhnya lelah, dan sakit? Jawabnya, karena Allah tak ridho jika fasilitas berupa tubuh dan lengkap dengan panca indera itu digunakan hamba-Nya tidak sesuai dengan yang Allah mandatkan kepadanya. Analoginya, jika orang tua memberikan motor baru kepada anaknya, lalu motor itu digunakan untuk berbuat keburukan, maka orang tua mana yang tidak akan kecewa dengan perbuatan anak tersebut. Allah pun sama.

Allah tak ingin melihat jika hamba-Nya menggunakan tubuhnya yang indah digunakan untuk berpaling dari-Nya dengan cara meninggalkan ibadah dan menuruti hawa nafsu. Sakit-sakit yang dirasakan oleh hamba yang bermaksiat itu, bisa jadi adalah cara halus Allah menegur hamba-Nya. Itu artinya, Allah masih sayang pada kita. Dan, Allah ingin liat, apakah kita masih bisa menyadari kesalahan-kesalahan berupa maksiat yang dilakukan.

Jika dengan ‘teguran’ berupa sakitnya sebagian anggota badan itu kita langsung sadar dan mau kembali ke jalan yang lurus, insya Allah tubuh kita akan tetap sehat dan kuat. Sebagaimana akan dibahas berikut ini di antara sekian banyak dampak maksiat yang dilakukan seorang hamba.

Pengaruh maksiat

Pertama, terhalangi dari ilmu. Pengaruh maksiat yang sangat dirasakan oleh pelakunya adalah terhalangnya dia dari ilmu. Ilmu adalah cahaya. Sementara maksiat adalah kegelapan. Jika seseorang melakukan kemaksiatan, maka dia sebenarnya sudah menutup jalan cahaya (ilmu) yang akan diperolehnya.

Ketika imam asy-Syafi’i duduk belajar di hadapan imam Malik, imam asy-Syafi’i membacakan hadits di hadapan imam Malik. Maka imam Malik dibuat kagum dan terpana dengan tingginya kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya. Sampai-sampai beliau berkata,

إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُوْراً، فَلَا تُطْفِئُهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَّةِ

“Aku melihat bahwa Allah telah memberikan cahaya di dalam hatimu. Janganlah engkau memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”

Namun, sehebat apa pun kecerdasan imam asy-Syafi’i, jika sudah berhadapan dengan kemaksiatan, maka pengaruh maksiat itu akan menghalangi diri dari cahaya ilmu. Imam asy-Syafi’i pernah berujar,

شَكَوتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ

فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي

وَأَخبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُوْرٌ

وَنُوْرُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي

Aku pernah mengadu kepada Waki’,

Ia menasehatiku untuk meninggalkan maksiat,

Ia memberitahuku, ilmu itu adalah cahaya,

Dan cahaya Allah tak akan diberikan kepada pelaku maksiat.

Kedua, terhalangi dari rezeki. Pengaruh maksiat yang kedua adalah terhalangnya rezeki seseorang. Seperti yang difahami, bahwa ketakwaan akan mendatangkan rezeki, maka sebaliknya, meninggalkan ketakwaan berarti melahirkan kemiskinan dan kefakiran. Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ

“Sesungguhnya seseorang terhalangi rezeki dikarenakan dosa yang dilakukannya.” (HR. Ibnu Majah No. 4022. Hadits Hasan).

Inilah di antara pintu rezeki seorang hamba untuk mendapatkan rezeki, tinggalkan perbuatan maksiat.

Ketiga, hati menjadi hampa. Apa jadinya jika hati seorang hamba terasa hampa dan hambar. Jiwanya kosong. Tak ada kebaikan pada hati yang hampa kecuali syahwat dan nafsu yang akan selalu mengajaknya pada keburukan-keburukan lain.

Hatinya menjadi hampa karena dia semakin jauh dari Allah Ta’ala. Hati yang kosong dari hidayah Allah ini tidak dirasakan kecuali bagi orang yang di dalam hatinya masih ada kehidupan. Seperti halnya sakitnya luka hanya akan dirasakan oleh orang yang masih hidup dan tidak bisa dirasakan oleh orang yang sudah mati.

Dalam sebuah perkataan hikmah disebutkan,

فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوْبَ

فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنَسَ

Jika dosa-dosa telah membuatmu hampa hati,

Maka tinggalkan saja dosa-dosa itu, jika engkau mau, pasti engkau akan merasa bahagia.

Keempat, Terkucil dari manusia yang baik. Jika Anda mendapati seseorang yang terkucil dari manusia yang baik, sangat mungkin sekali itu adalah pengaruh maksiat yang ia perbuat. Seseorang yang terbiasa melakukan maksiat, secara tidak langsung ia sedang menjauh dari komunitas orang-orang yang gemar melakukan kebaikan.

Salah seorang salaf berkata,

إِنِّي لَأَعْصِيَ اللَّهَ، فَأَرَى ذَلِكَ فِيْ خَلْقِ دَابَّتِيْ وَامْرَأَتِيْ

“Sungguh, ketika aku berbuat maksiat kepada Allah, maka aku melihat pengaruhnya pada tingkah hewan tungganganku dan akhlak istriku.”

Kelima, urusan menjadi sulit. Pengaruh maksiat juga berdampak pada persoalan urusan yang dihadapi sehari-hari. Saat seseorang menghadapi sebuah masalah, tentu ia mengharapkan jalan keluar sesegera mungkin. Proses yang ia tempuh dalam mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi ini akan menjadi lebih sulit akibat dari kemaksiatan yang ia lakukan.

Persis seperti kebalikan dari takwa. Ketika seseorang menjaga dirinya untuk selalu bertakwa kepada Allah ‘azza wajalla, maka Allah ‘azza wajalla ganjar upaya ketakwaan itu dengan kemudahan dalam menghadapi setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Dan siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Qs. Ath-Thalāq: 4)

Keenam, hatinya menjadi gelap. Apa yang akan kita rasakan ketika kita berada di sebuah ruangan yang gelap gulita tanpa ada cahaya sedikit pun? Tentu yang kita lihat hanyalah kegelapan di sana-sini. Sesehat apa pun mata yang kita miliki, tak akan ada gunanya ketika berada di ruangan yang gelap dan pekat.

Kita akan kehilangan arah, tersesat dan terperosok sana sini jika jalan yang kita lalui itu gelap. Seperti itulah suasana hati ketika dipenuhi dengan kemaksiatan. Hati akan menjadi gelap gulita akibat pengaruh maksiat yang dilakukan oleh pemilik hati itu.

Bila hati telah gelap pekat, maka ia akan memberikan petunjuk yang tak berarah kepada seluruh anggota badan. Langkah kakinya akan tersesat. Gerakan tangannya tak akan terarah. Ia terlepas dari petunjuk Allah. Abdullah bin Abbas ra. berkata,

إِنَّ لِلْحَسَنَةِ نُوْرًا فِي الْقَلْبِ، وَزِيْنًا فِي الْوَجْهِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَسِعَّةً فِي الرِّزْقِ، وَمَحَبَّةً فِيْ قُلُوْبِ الْخَلْقِ. وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ ظُلْمَةٌ فِي الْقَلْبِ، وَشَيْنًا فِي الْوَجْهِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبَغْضَةً فِي قُلُوْبِ الْخَلْقِ

“Sesungguhnya kebaikan itu memiliki pancaran yang akan tampak di wajah, cahaya yang ada di dalam hati, keluasan di dalam rezeki, kekuatan di dalam badan, dan kecintaan di dalam hati-hati para makhluk. Sebaliknya, keburukan itu memiliki pancaran warna hitam yang tampak di wajah, kegelapan di dalam hati, kelemahan di dalam badan, kesempitan di dalam rezeki, serta kebencian di dalam hati-hati para makhluk.” (Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, 441)

Ketujuh, hati dan badan menjadi lemah. Pengaruh maksiat juga berdampak pada lemahnya hati dan badan. Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang dipenuhi oleh cahaya sebagai buah dari ketaatan. Semakin banyak amal ketaatan, semakin banyak pula cahaya yang masuk ke dalam hati, maka hati juga menjadi semakin kuat dan sehat.

Sedangkan hati yang sakit dan lemah adalah hati yang dipenuhi dengan kegelapan sebagai buah dari kemaksiatan. Semakin banyak melakukan dosa dan kemaksiatan, semakin banyak pula kegelapan yang meliputi hati, maka hati juga menjadi semakin lemah dan sakit.

Orang jahat dan banyak dosa meski memiliki tubuh yang kekar, ia tetap saja disebut sebagai orang yang lemah. Kekuatan fisiknya akan selalu mengkhianatinya ketika jiwanya sedang membutuhkan.

Kedelapan, berat untuk taat. Pengaruh maksiat yang tak kalah bahaya lainnya adalah menjadikan seseorang merasa berat untuk taat. Sebab, maksiat adalah kebalikan dari taat. Jika seseorang telah memutuskan untuk mendekat kepada maksiat, pada saat yang sama pula ia sedang berjalan menjauh dari taat. Orang yang terlanjur senang dengan maksiat, maka ia akan berat untuk taat.

Allah ‘azza wajalla berfirman,

وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.” (QS. An-Nisa’: 142)

Kesembilan, memendekkan dan menghilangkan berkah usia. Perbuatan maksiat dapat memendekkan usia seseorang. Jelasnya, perjalanan usia seseorang itu selalu diiringi dengan keberkahan. Keberkahan itu hanya dapat diraih jika ia gunakan usianya untuk melakukan kebaikan dan ketaatan.

Sebaliknya, jika perjalanan usia seseorang hanya digunakan untuk melakukan kemaksiatan, maka ia akan kehilangan keberkahan, sementara usianya tidak akan pernah berhenti melaju. Itulah yang dimaksud dengan memendekkan usia.

Pada prinsipnya, amal ketaatan itu akan menambah usia, sedangkan maksiat itu akan memendekkan usia. Usia kehidupan yang hakiki. Jika usia yang sangat pendek yang kita miliki ini habis digunakan untuk maksiat, lantas apalah artinya kita hidup di dunia ini.

Percuma saja memohon kepada Allah agar diberi panjang umur jika hanya akan menambah dosa dari kemaksiatan yang kita lakukan. Allah ‘azza wajalla berfirman,

يَوَدُّ اَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ اَلْفَ سَنَةٍۚ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهٖ مِنَ الْعَذَابِ اَنْ يُّعَمَّرَۗ

“Masing-masing dari mereka, ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan menjauhkan mereka dari azab.” (Qs. Al-Baqarah: 96).

Semoga sisa usia yang masih tersia ini bisa kita maksimalkan untuk membangun ketaatan kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan kemaksiatan karena takut kepada-Nya, wallahua’lam.(A/RS3/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

 

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.