Oleh : Ali Fakhan Tsani, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Pengantar
Apa yang berbeda dari Syi’ah, sehingga kelompok ini di Indonesia pun dinilai menyimpang dari ajaran Islam ? Fakta-fakta dari Syi’ah menunjukkan terdapat banyak perbedaan mendasar di dalamnya, baik dalam aspek aqidah, ibadah maupun muamalah.
Tetapi banyak juga yang menganggap perbedaan tersebut sekadar masalah khilafiyah furu’iyyah (perbedaan cabang agama). Sehingga perbedaan tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Berikut, Penulis mencoba menyusun analisis ringkas tentang perbedaan yang mendasar antara Sunni dan Syi’ah.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Pengertian Sunni
Pengertian sunni atau ahlus sunnah secara umum adalah golongan yang berpegang pada sunnah atau apa-apa yang dikerjakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersama sahabat-sahabatnya. Ciri-ciri amaliahnya adalah bersandarkan pada Al-Quran dan As-Sunnah.
Landasannya antara lain, firman Allah,
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِى شَىۡءٍ۬ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِۚ ذَٲلِكَ خَيۡرٌ۬ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلاً
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul [Nya], dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah [Al Qur’an] dan Rasul [sunnahnya], jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama [bagimu] dan lebih baik akibatnya.“(Q.S. An-Nisa [4] : 59).
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Pada ayat lain juga disebutkan,
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ۬ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُ ۥۤ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلاً۬ مُّبِينً۬ا
Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak [pula] bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain] tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab [33] : 36).
Juga ayat lain,
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَىِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ۬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Hujurat [49] : 1).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Karena itu, kelompok Islam manapun yang pengamalannya berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, secara aqidah disebut dengan ahlus Sunnah atau Sunni.
Pengertian Syi’ah
Secara bahasa, syi’ah berasal dari bahasa Arab yang artinya : pengikut, pendukung, pecinta atau kelompok.
Asal-usul kata syi’ah disandarkan kepada kelompok-kelompok pada masa sahabat sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Misalnya, sebelum Abu Bakar Ash-Shiddiq dibaiat (diangkat) sebagai khalifah, pada waktu itu muncul satu kelompok orang-orang Anshar yang mengajukan Sa’ad bin Ubadah sebagai calon khalifah. Namun, setelah disepakati Abu Bakar sebagai khalifah, maka bubarlah kelompok itu.
Begitu pula saat ada kelompok lain yang berpendapat ‘Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi khalifah. Akan tetapi dengan baiatnya ‘Ali kepada Abu Bakar, maka selesai jugalah masalah tersebut.
Demikian pula ketika kemudian ‘Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah, muncul kelompok Mu’awiyyah yang menuntut hal sama. Maka muncullah pembela ‘Ali atau syi’ah ‘Ali dan pembela Mu’awiyyah atau syi’ah Mu’awiyyah.
Istilahnya pun baru sebatas pembela belum sampai pada pengikut.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Hal ini diperkuat dengan Kesepakatan Shahifah At-Tahkim antara pihak Ali dengan pihak Mu’awiyyah, dalam kalimat, “Ini adalah apa yang telah disepakati oleh ‘Ali bin Abi Tahlib dengan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan kedua syi’ah mereka”.
Dengan demikian, penyebutan kata syi’ah pada saat itu memang sudah ada. Tetapi hanya sebatas arti bahasa dan dasarnya hanya semacam dukungan politis, bukan tataran aqidah atau madzhab.
‘Ali bin Abi Thalib sendiri sebagai Khalifah atau Imaam, ketika mendengar ada pengikutnya yang mencaci-maki Mu’awiyyah, beliau marah dan melarangnya.
Nasihatnya, “Aku tidak suka kalian menjadi pengumpat dan pencaci-maki. Tapi andaikan kalian tunjukkan perbuatan mereka dan kalian sebutkan keadaan mereka, maka itu akan lebih baik diterima sebagai argumentasi. Selanjutnya, kalian gantilah cacian itu dengan doa ‘Ya Allah selamatkanlah darah kami dan darah mereka, serta damaikanlah kami dengan mereka”. (Ibnu Abi Hadid, Syarh Nahjul Balaghah).
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Jika mencaci maki Mu’awiyyah dan pengikutnya saja dilarang oleh Imaam ‘Ali, lalu bagaimana dengan orang-orang yang kemudian mencaci bahkan mengkafirkan Mu’awiyyah? Layakkah mereka disebut sebagai pengikut Imaam ‘Ali?
Perkembangan Istilah Syi’ah
Perkembangan selanjutnya, para ulama memberi nama kelompok syi’ah dengan sebutan rafidhah (kelompok penolak), karena mereka menolak pernyataan Zaid bin ‘Ali yang melarang mereka menjelek-jelekkan para sahabat nabi.
Waktu itu Zaid mengatakan,”Mereka berdua (Abu Bakar dan Umar) adalah sahabat kakek saya (Nabi Muhammad SAW), saya tidak bisa menolak mereka bahkan saya loyal kepda mereka”.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Sejak itulah kelompok penolak itu disebut dengan Pengikut Rafidhah (Syi’ah Rafidhah), dan pengikut setia Zaid bin ‘Ali disebut (Syi’ah Zaidiyah). Pecahan Syi’ah Rafidhah itu sendiri selanjutnya pecah sampai sekitar 100 lebih, dan yang terkenal adalah Syi’ah Itsna Asyriyah (Syi’ah Dua Belas).
Peneliti Syi’ah di Jawa Timur, Prof. Dr. Muhammad Baharun dalam risetnya menyebutkan, munculnya syi’ah-syi’ah di Indonesia tergantung seberapa banyak mereka menyerap ajaran yang diajarkan.
Ada tiga tipe menurutnya, pertama, Syi’ah Ideologis. Kelompok ini memang didoktrin secara sistematis, intensif dan serius melalui kaderisasi. Kader tipe ini dikuliahkan ke pusat Syi’ah di kota Qom, Iran.
Tipe kedua, Syi’ah yang Sunni. Kelompok ini masih mengaku Sunni, tetapi dalam beberapa pengamalannya melakukan ritual syi’ah, seperti penghormatan Karbala, pengkultusan Khomeini. Keilmuannya setengah-setengah saja.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Ketiga, tipe Syi’ah Simpatisan. Biasanya para pemuda yang gemar dengan pergulatan pemikiran melalui buku-buku, seminar kampus dan pendekatan individual. Kelompok ini sebatas memahami pemikiran saja. Mereka mengagumi revolusi dan perlawanan Iran.
Perpecahan Syi’ah
Di dalam Kitab Daairatul Maarif disebutkan, kelompok syi’ah bercabang-cabang menjadi lebih dari 73 sekte. Kesemuanya tidak merupakan satu kesatuan. Bahkan dari masa ke masa, semakin banyak pertentangan di dalamnya.
Adapun kelompok syi’ah terbesar dan terkenal ada dua, yaitu Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Disebut Syi’ah Imamiyah karena yang menjadi dasar akidah mereka adalah soal Imaam atau khalifah. Mereka mengatakan ‘Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi Imam atau Khalifah. Sehingga Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab dianggap orang yang merampas hak khalifah tersebut.
Kelompok Syi’ah Imamiyah yang terpenting adalah Syi’ah Itsna ‘Asyriyah (Syi’ah Imam Dua Belas).
Mereka menjadikan kedudukan Imaam atau Khalifah menjadi seperti kerajaan, turun-temurun, mulai dari ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, hingga Imam ke-12 Muhammad bin Al-Hasan bergelar Al-Mahdi. Adapun Syi’ah Zaidiyah dipandang lebih moderat atau fleksibel. Mereka tidak menyebut perampasan khalifah, hanya menyebut sifat-sifat ‘Ali saja.
Oleh karena itu, mereka juga tidak menghukumi Abu Bakar dan Umar, walaupun tetap mereka anggap’ Ali yang lebih utama.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Perbandingan Aspek Ajaran
Ada beberapa ciri umum seputar Syi’ah yang menjadi ajaran saat ini, di antaranya soal : Al-Quran, Al-Hadits, sikap terhadap ahlul bait, sikap terhadap sahabat nabi, rukun Islam dan rukun Iman, ajaran taqiyah, kemaksuman Imam dan raj’ah.
Pandangan terhadap Al-Quran.
Menurut kepercayaan penganut Syi’ah, Al-Quran yang ada sekarang sudah diubah, tidak asli lagi. Al-Quran yang asli ada di tangan Imam Mahdi al-Muntadzar, yang akan dibawa ketika turun ke bumi sebelum kiamat.
Tetapi dalam pandangan Ahlus Sunnah, justru sebaliknya, Allah telah menjamin keaslian Al-Quran. Seperti pada firman-Nya,
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُ ۥ لَحَـٰفِظُونَ
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr [15] : 9).
Demikian pula dalam masalah Al-Hadits, hadits harus melalui jalur imam-imam Syi’ah. Bahkan bagi Syi’ah Imamiyah, perkataan imam-imam Syi’ah berstatus seperti hadits.
Sikap terhadap ahlul bait, menurut orang Syi’ah hanyalah sahabat ‘Ali bin Abi Thalib, puteri Nabi Fathimah, dan Hasan bin ‘Ali.
Sedangkan menurut para ahli Tafsir dan ulama terkemuka, seperti : Ibnu Katsir, Al-Qurthuby, Ibnu Hajar, Ibnu Qayyim dan Ibnu Taimiyah, maksud ahlul bait (Q.S. Al-Ahzab [33] : 33), yang artinya, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.“ adalah termasuk isteri-isteri Nabi.
Maka prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah terhadap ahlul bait adalah mencintai mereka karena faktor penghormatan dan memang dicontohkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana dalam bacaan shalawat, “Allahumma shallii ‘alaa Muhammad, wa ‘alaa aali Muhammad”. (Semoga Allah memberikan kesejahteraan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad).
Sikap terhadap sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dalam buku-buku kaum Syi’ah dikatakan, cercaan mereka terhadap para sahabat, termasuk terhadap sahabat besar Abu Bakar dan Umar. Sehingga dalam periwayatan hadits pun, mereka hanya menerima dari sahabat-sahabat yang loyal kepada mereka.
Sedangkan di dalam Al-Quran Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar merupakan orang-orang yang Allah ridhai.
Seperti firman-Nya,
وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَـٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَـٰنٍ۬ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنۡہُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّـٰتٍ۬ تَجۡرِى تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيہَآ أَبَدً۬اۚ ذَٲلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ
Artinya : “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama [masuk Islam] di antara orang-orang muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.“ (Q.S. At-Taubah [9] : 100).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci-maki sahabat-sahabatku, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, kalau kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai derajat mereka satu mud (wadah kecil) pun, bahkan setengahnya pun tidak”.(H.R. Bukhari Muslim).
Demikian pula generasi terbaik “kuntum khaira ummah” adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan terbatas pada beberapa orang saja.
Firman Allah,
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنڪَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡڪِتَـٰبِ لَكَانَ خَيۡرً۬ا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَڪۡثَرُهُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ
Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran [3] : 110).
Rukun Islam, Taqiyah dan Mut’ah
Rukun Islam yang dikenal dalam Islam sebagaimana diajarkan Malaikat Jibril adalah : Syahadatain, Shalat, Shaum, Zakat dan Haji. Sedangkan dalam keyakinan Syi’ah Rukun Islam terdiri dari : shalat, shaum, zakat, haji dan Wilayah.
Dalam ajaran Syi’ah dikenal dengan istilah taqiyah, yaitu merahasiakan keyakinan dan menutupi diri dalam meyakininya, serta berkamuflase di hadapan para penentangnya.
Menurut ulama ahlus sunnah, sikap taqiyah merupakan karakter kaum munafiqin, “Mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya”.
Firman Allah mengingatkan,
وَلِيَعۡلَمَ ٱلَّذِينَ نَافَقُواْۚ وَقِيلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡاْ قَـٰتِلُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَوِ ٱدۡفَعُواْۖ قَالُواْ لَوۡ نَعۡلَمُ قِتَالاً۬ لَّٱتَّبَعۡنَـٰكُمۡۗ هُمۡ لِلۡڪُفۡرِ يَوۡمَٮِٕذٍ أَقۡرَبُ مِنۡہُمۡ لِلۡإِيمَـٰنِۚ يَقُولُونَ بِأَفۡوَٲهِهِم مَّا لَيۡسَ فِى قُلُوبِہِمۡۗ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يَكۡتُمُونَ
Artinya : “Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah [dirimu]”. Mereka berkata: “Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu”. Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan”. (Q.S. Ali Imran [3] : 167).
Tentang kawin mut’ah, dalam pandangan ahlus sunnah hukumnya haram, seperti zina. Lain dengan Syi’ah yang menganjurkan kawin mut’ah yang dihukumi halal. Kehalalan ini dipakai Syi’ah untuk mempengaruhi para pemuda agar masuk Syi’ah. Padahal haramnya kawin mut’ah juga berlaku pada jaman Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Prof. Maman Abdurrahman mengatakan, inilah bahaya kawin mut’ah terhadap tatanan sosial masyarakat Islam, karena adanya kawin kontrak, kesepakatan rahasia untuk melakukan hubungan suami isteri lelaki terhadap wanita yang telah sepakat dengannya.
Bai’at Imaamah
Kalangan Syi’ah berbaiat hanya kepada Imaam yang bermadzhab Itsna Asy’ariyah. Sedangkan kalangan ahlus sunnah, sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka umat Islam wajib berbai’at kepada Imaam atau Khalifah yang awal dibai’at di kalangan umat Islam dalam satu masa.
Sebagaimana hadits, ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berikan pada mereka haknya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Penutup
Mengenal dan meneliti bagaimana aqidah, ibadah dan muamalah Syi’ah sebenarnya merupakan pembahasan yang luas dan panjang, serta penting agar setiap Muslim dapat mengambil pelajaran darinya, dan tidak terperosok ke dalam ajarannya, yang menyimpang dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sehingga kita dapat mengajak, menyeru dan mendakwahkan kembali ke jalan Islam, yang bersumberkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Kembali kepada persatuan dan kesatuan umat Islam dalam satu kepemimpinan (jama’atul muslimiina wa imaamahum), merupakan kewajiban seluruh umat Islam yang wajib diamalkan. Sehingga umat Islam tidak mudah tercera-berai dan diadu-domba oleh musuh-musuhnya, yang terus-menerus berupaya melemahkan Islam dan muslimin.
Ketua Lembaga Bimbingan Ibadah dan Penyuluhan Ibadah (LBIPI) KH Abul Hidayat Saerodji mengatakan, bahwa Syi’ah bukan Islam dan bukan bagian dari umat Islam, dan umat Islam jangan mau dipecah belah karena isu Syi’ah.
Semoga kita semua mendapatkan hidayah, ridha dan ampunan-Nya, seraya bertaubat kepada-Nya atas segala khilaf, salah dan dosa. Serta tetap terjaga ukhuwah Islamiyyah di antara kaum Muslimin di tengah berbagai isu global akhir jaman ini. Amin. (L/R1/IR).
Sumber Utama : Antara Sunni dan Syiah. Prof. Maman Abdurrahman. Bandung: Pustaka Nadwah, 2013.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)