Imam Besar Masjid Al-Aqsha Syaikh Ikrimah Sabri menceritakan 48 tahun lalu sejarah dibakaranya Masjid Al-Aqsha oleh turis Australia yang ekstremis, Denis Michael Rohan pada 21 Agustus 1969.
Peristiwa tersebut, bukan satu-satunya serangan, namun yang pertama kali serangan pembakaran Masjid Al-Aqsha sejak tahun 1967 pendudukan Israel menduduki tanah Al-Quds (Yerusalem Timur), Palestina.
“Saya masih ingat api seolah-olah terjadi kemarin. Saat orang-orang Yerusalem mendengar teriakan tentang api, mereka langsung bergegas masuk dan membawa air ke dalam kaleng untuk memadamkan api,” kata Sheikh Ikrimah Sabri, demikian media Palestina Alray yang dikutip MINA, Selasa (22/8).
Api telah menghancurkan hampir sepertiga Masjid Al-Qiblah, termasuk mimbar kayu berusia 1.000 tahun yang tidak ternilai harganya, peninggalan dari masa pembebasan Palestina oleh panglima Muslim Shalahuddin Al-Ayyubi.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Menurutnya, dalam peristiwa tersebut, pemerintah Israel sengaja memotong air di daerah tersebut dan mencegah pemadam kebakaran datang ke lokasi tersebut untuk memadamkan api.
“Sekitar 1.550 meter persegi, dari 4.500 meter persegi luas kompleks Masjid Al-Aqsha benar-benar hancur oleh api,” katanya.
Saat itu api juga menghancurkan mihrab yang dibuat pada masa Khalifah Umar bin Khattab, serta kubah kayu yang dihiasi emas.
Seorang tersangka diidentifikasi sebagai Dennis Michael Rohan, seorang turis Kristen Australia, yang ditangkap pada 23 Agustus.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Rohan tidak takut mengungkapkan motifnya untuk melakukan kejahatan tersebut dengan dalih, sebagai “Utusan Tuhan” dan ingin mempercepat kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali.
Menurut pandangan Rohan, kedatangan Yesus hanya dapat dicapai dengan membiarkan orang Yahudi membangun sebuah kuil di Masjid Al-Aqsha, di mana dikatakan bahwa bukit Bait Suci Salomo (Yerusalem).
Tahun ini, dimana ulang tahun datang setelah beberapa pekan Al-Aqsha terancam lagi dan kesuciannya dilanggar.
Setelah serangan tembak mematikan pada 14 Juli, pasukan pendudukan Israel menutup Masjid Al-Aqsha dengan memasang detektor logam dan kamera CCTV di kompleks tersebut saat dibuka kembali, untuk pertama kalinya sejak serangan pembakaran 1969.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Setelah 11 hari penolakan dan aksi bela Al-Aqsha oleh warga Palestina dan masyarakat internasional, Israel mengalah dan menghapus semua tindakan ofensif yang mengganggu. Warga Palestina bersukacita saat bisa memasuki kembali Masjid, namun insiden semacam itu menjadi pengingat bagaimana agresi terhadap Al-Aqsha tidak pernah berakhir.
Sampai hari ini, Masjid tetap menjadi simbol pelanggaran hak asasi manusia Palestina yang terus berlanjut, termasuk kemampuan mereka untuk beribadah dengan bebas.
Demikian pula, kelambanan negara-negara Arab dalam menanggapi serangan semacam itu tetap konstan.
Mereka menulis surat kutukan tahun 1969, namun hampir 50 tahun kemudian Al-Aqsha secara teratur diserang oleh pemukim Yahudi dan pasukan keamanan bersenjata, para pemuja dipalingkan ke gerbang dan fondasi struktur dihancurkan oleh terowongan.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Yordania membayar untuk rekonstruksi Masjid yang rusak akibat kebakaran tersebut, namun sementara Al-Aqsha dikepung pada bulan Juli, pemerintah di Amman memprioritaskan kembalinya seorang pria Israel ke Tel Aviv atas permintaan AS.
Dalam mengingat serangan pembakaran di Masjid Al-Aqsa, jelas bahwa situs suci ini menghadapi ancaman yang sama seperti 48 tahun yang lalu, bahkan mungkin lebih dari itu. (A/R10/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh