Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

TIDAK IKUT BERJIHAD, ABDULLAH PUN MENANGIS

Admin - Ahad, 21 Juli 2013 - 12:51 WIB

Ahad, 21 Juli 2013 - 12:51 WIB

1010 Views ㅤ

Oleh: Rudi Hendrik

Abdullah bin Mughaffal termasuk sahabat yang melakukan Bai’atur Ridhwan atau Bai’atusy Syajarah, yaitu sumpah setia yang dilakukan di bawah sebatang pohon pada suatu tempat yang bernama Hudaibiah pada tahun ke-7 H. Hal ini diungkapkan sendiri oleh Abdullah.

“Aku termasuk di antara orang-orang yang yang menyatakan sumpah atau bai’at dengan Rasulullah.”

Sejak itu, beliau tidak pernah absen dalam setiap perjuangan menegakkan dan menyebarkan ajaran agama Islam bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hingga wafatnya, kecuali Perang Tabuk.

Baca Juga: Nelson Mandela, Pejuang Kemanusiaan dan Pembela Palestina

Peristiwa ketidakikutan Abdullah bin Mughaffal dalam Perang Tabuk memiliki kenangan tersendiri baginya.

Ketika melakukan persiapan untuk perang ini, kaum Muslimin tengah dilanda musim paceklik yang sangat mencekik, yang membuat mereka bingung antara ikut perang atau tidak. Sebab, setelah musim paceklik itu, musim panen yang menggairahkan akan menjelang.

Semakin hari, Abdullah kian bingung dan bimbang. Terlebih ketika hampir tibanya hari pemberangkatan. Dia bukan takut karena akan meninggalkan tanamannya yang tidak lama lagi akan panen, tapi karena dia memang tidak memiliki apa-apa untuk bekal perang.

Karena dorongan imannya yang sempurna dan keyakinan yang benar, dia berusaha terus dan tidak putus asa. Dalam hati kecilnya hanya terguris harapan agar dapat mati syahid atau tersebarnya agama Islam bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Baca Juga: Kisah Muchdir, Rela tak Kuliah Demi Merintis Kampung Muhajirun

Namun setiap usaha yang dicobanya tetap buntu. Akhirnya dia berusaha memohon bantuan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri untuk mengusahakan kendaraan. Namun, alangkah kecewanya Abdullah ketika mendapat jawaban dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

“Aku juga tidak bisa mengusahakan kendaraan-kendaraan untuk mengangkut kalian.”

Akhirnya Abdullah hanya bisa melampiaskan kekesalan hatinya dengan mengadu kepada Allah dengan cara menangis. Abdullah pun menangis dan menangis.

Betapa sedihnya Abdullah ketika menyaksikan kaum Muslimin dan para sahabat yang lain berbaris bershaf-shaf meninggalkan Madinah menuju Tabuk. Mereka berbaris dengan langkah berderap teratur mengikuti satu komando Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, menuju medan jihad fii sabilillah. Sementara dia sendiri tidak bisa ikut karena tidak memiliki kendaraan.

Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad

Abdullah bersedih karena harus tinggal di kota bersama-sama dengan orang-orang yang lemah, para perempuan, anak-anak kecil, tuna netra, orang sakit dan orang lemah lainnya. Tatkala lamunannya sampai ke situ, mengucurlah air matanya untuk kesekian kalinya.

Namun kesedihannya cukup terhibur ketika Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya sehubungan dengan kondisinya.

وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ

“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”. lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS. At-Taubah [9] 92).

Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina

Untuk sementara Abdullah senang karena termasuk di antara orang-orang yang dimaksud oleh ayat tersebut. Namun, ia tetap bersedih hati karena tidak mampu ikut berperang dan tidak bisa mengikuti jejak Nabi yang sangat dicintainya itu.

Karenanya, pada masa kekhalifahan, Abdullah tidak mau ketinggalan. Dia tidak pernah lagi melewatkan satu pun peperangan jihad yang dilakukan oleh setiap khalifah pada masanya.

Ketika daerah Irak berhasil dibebaskan, Khalifah Umar bin Khaththab secara beruntun mengirimkan beberapa orang ahli fiqih untuk mengajarkan Islam di Bashrah. Abdullah termasuk di antara mereka yang diutus.

Ketika pasukan Muslimin berjuang gigih untuk masuk ke daerah Tustar, Abdullah termasuk di antara mereka yang pertama memasuki pintu gerbang kota itu.

Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham

Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, Abdullah memilih tempat tinggal dan berhijrah ke Bashrah. Dia membangun sebuah rumah dekat masjid. Di sanalah dia menghabiskan sisa-sisa hidupnya dengan giat mengajar dan beribadah hingga wafat pada tahun 60H, pada masa Khalifah Muawiyyah bin Abi Sufyan. Abdullah termasuk sahabat yang menjadi sumber banyak hadits. (P09/R2).

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis

 

Rekomendasi untuk Anda