Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency), Pembina Sekolah Tahfidz DTI (Daarut Tarbiyah Indonesia)
Peringatan Tahun Baru 1442 Hijriyah mengingatkan kita pada suatu kisah spektakuler dalam tarikh perjuangan Islam, yaitu peristiwa Hijrah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah) pada tahun 1 Hijriyah (bertepatan dengan tahun 622 Masehi).
Dari peristiwa bersejarah itu, paling tidak ada tiga makna besar dan berharga, yaitu:
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Pertama, Hijrah merupakan tonggak monumental perjuangan umat Islam
Fase hijrah merupakan kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana takut dan situasi tidak kondusif di Makkah menuju suasana aman dan prospektif di Madinah.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan hijrah Nabi sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah (hijrah sejati). Alasannya, hijrah fisik sekaligus refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya ke Madinah.
Secara fisik, kaum Muhajirin berjalan kaki dari Mekkah ke Madinah, menempuh padang pasir sejauh kurang lebih 450 km. Secara maknawi juga jelas, mereka berhijrah demi terjaganya misi dan eksistensi Islam.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Dalam mengembangkan dakwah menyeru ke jalan Allah, para Nabi utusan Allah sebelumnya juga melakukan hijrah perpindahan secara dinamis dari satu tempat ke tempat lain. Di antaranya adalah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam yang terkenal dalam sejarah karena perjalanan hidupnya yang penuh dengan ujian dan tantangan. (QS Al-Ankabut [29] : 26).
Selanjutnya, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam juga melakukan hijrah beberapa kali, dari Palestina ke Mesir, dari Mesir kembali Palestina lagi. Termasuk, hijrah beliau dari Palestina menuju Mekkah yang dalam perkembangannya menjadi syariat haji. Kembali lagi ke Palestina, dilanjutkan kembali ke Mekkah.
Nabi Musa ‘Alaihis Salam juga mendapatkan perintah dari Allah untuk berhijrah dari negeri Fir’aun di Mesir menuju Perbatasan Palestina, melalui Jordania. (QS Al-Qashash [28] : 20-21).
Hijrah adalah sebuah perjalanan membangun peradaban atas semangat loyalitas, kesetiaan, keimanan, dan ketaatan yang berujung pada sesuatu yang lebih baik atas ridha Allah.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Kitapun dituntut untuk berhijrah dari sistem jahiliyah menuju sistem Islam secara keseluruhan (kaffah). Mulai dari sistem pendidikan, ekonomi, budaya, kemasyarakatan, dan lain sebagainya ke dalam kesempurnaan Islam berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah.
Hijrah pula dari hal-hal yang dilarang Allah menuju hal-hal yang diperintahkan-Nya. Hijrah dari perbuatan yang mubadzir dan mafsadat (merusak), menuju amal sholih yang lebih bermanfaat.
Intinya hijrah meninggalkan segala yang dilarang Allah menuju yang Allah perintahkan.
Tumbuhnya komunitas masyarakat anti-riba, itu juga contoh lain hijrah dalam bidang ekonomi. Kesadaran artis-artis mengenakan hijab, itupun refleksi dari hijrah dalam berpakaian.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Kedua, hijrah mengandung semangat optimisme perjuangan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah. Meskipun mereka harus meninggalkan tanah kelahiran, kampung halaman tercinta, sanak saudara dan harta benda yang dicintainya. Namun, Allah, Rasul-Nya, dan jihad fi sabilillah lebih dicintai dari semua daya pikat dunia itu.
Mereka sangat menikmati bagaimana mengamalkan ayat :
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Artinya : ”Katakanlah : jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (Q.S. At-taubah [9] : 24 ).
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Ketiga, hijrah mengandung semangat persaudaraan
Ini seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar dalam ikatan satu kesatuan umat secara terpimpin (berjama’ah) berlandaskan takwa kepada Allah.
Karenanya, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berhijrah dari Mekkah ke Madinah, langkah awal yang dilakukan beliau adalah membangun masjid sebagai sentral perjuangan kaum muslimin. Kemudian Nabi mempersaudarakan kaum pendatang (Muhajirin) dengan kaum setempat (Anshar).
Adapun maksud beliau mengadakan persaudaraan itu adalah, untuk melenyapkan rasa asing pada diri sahabat muhajirin di daerah yang baru yaitu kota Madinah, dan membangun rasa persaudaraan antara satu sama lain di dalam agama Allah. Selain itu juga agar satu sama lain saling tolong-menolong, yang kuat menolong yang lemah, yang mampu menolong yang kekurangan, dan seterusnya.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Semangat persaudaraan sesama orang-orang beriman Allah tegaskan di dalam Al-Quran :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS Al-Hujurat [49] : 10).
Pada ayat lain ditegaskan lagi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali [agama] Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu [masa Jahiliyah] bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk”. (QS Ali Imran[3] : 102-103).
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Selamat Tahun Baru 1442 Hijriyah, semoga kehadiran Tahun Baru Islam ini mampu menumbuhkan optimisme perjuangan membangun peradaban dunia berlandaskan nilai-nilai ukhuwah Islamiyah yang rahmatan lil ‘alamin. Aamiin. (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah