Hubungan Kerajaan Aceh dengan Kesultanan Turki Utsmaniyah sudah dimulai sekitar tahun 1565. Saat itu Kesultanan Turki berusaha mendukung Kerajaan Aceh dalam pertempurannya melawan Portugis di Malaka.
Hubungan diawali dengan pengiriman ekspedisi Kerajaan Aceh pada masa Sultan Alauddin (1539-1571) bergelar Ala ad-Din Ri’ayat Syah Al-Qahhar menemui Sultan Turki Suleiman I pada tahun 1564, untuk meminta dukungan Kesultanan Turki Utsmaniyah dalam menghadapi Portugis.
Sultan Suleiman I merupakan Sultan Turki Utsmaniyah ke-10, yang berkuasa tahun 1520-1566. Sultan Suleiman I dikenal dengan Suleiman Sang Pemberi Hukum (Al‐Qanuni) karena pencapaiannya dalam menyusun kembali sistem undang-undang Utsmaniyah. Di bawah kekuasaannya, armada Utsmaniyah menguasai Laut Tengah, Laut Merah hingga Teluk Persia.
Dengan kendali yang kuat atas Laut Merah, Sultan Suleiman I berhasil mengamankan jalur perdagangan India yang sebelumnya dikuasai Portugis. Sehingga Kesultanan Turki dapat menjaga jalur perdagangan dengan India selama abad ke-16.
Baca Juga: Al-Aqsa dan Istiqlal: Dua Pilar Kesadaran dan Kemerdekaan Umat Islam
Sementara, Sultan Suleiman I melakukan kampanye di Samudera Hindia, dengan tujuan mengamankan jalur perdagangan laut, bersaing dengan ekspedisi Portugis yang juga sedang melakukan perluasan perdagangan jalur Samudera Hindia. Termasuk Nusantara, yang di dalamnya ada Kerajaan Aceh, sebagai jalur perdagangan yang diincar Portugis.
Sultan Suleiman I menerima utusan dari Kerajaan Aceh yang meminta bantuan melawan Portugis. Maka Kesultanan Utsmaniyah memberikan dukungan militer terhadap Aceh.
Menurut catatan yang ditulis oleh penjelajah Portugis, Fernão Mendes Pinto, armada Kesultanan Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh terdiri dari 300 orang.
Setelah Sultan Suleiman I wafat tahun 1566, penerusnya Sultan Selim II, yang membuat kebijakan lanjutan memerintahkan pengiriman armada ke Kerajaan Aceh. Termasuk di dalamnya sejumlah prajurit pembuat senjata dan insinyur, bersama dengan pasokan senjata dan amunisi yang melimpah.
Baca Juga: Catatan Rencana Pengobatan Warga Gaza di Pulau Galang
Ekspedisi itu dipimpin oleh Laksamana Kurdoglu Hizir Reis, Kepala Armada Angkatan Laut Utsmaniyah di Samudera Hindia yang bermarkas di Suez (Mesir), dengan pelabuhan lain yang ada di Aden (Yaman) dan Basra (Irak).
Pada tahun 1568, Laksamana Kurdoglu Hizir Reis berlayar memimpin armada yang terdiri atas 22 kapal laut dengan membawa prajurit, perlengkapan militer, dan pasokan lain. Lalu tiba di Aceh tahun 1569.
Turki Utsmani menyampaikan kepada Portugis bahwa Aceh adalah bagian dari wilayah Turki sejak saat itu. Serangan terhadap Aceh akan dipandang sebagai serangan terhadap Turki Utsmani. Kemudian armada Portugis menghentikan aktivitasnya di sekitar Aceh.
Delegasi Utsmaniyah pun mengajari prajurit Kerajaan Aceh bagaimana membuat meriam, yang pada akhirnya banyak diproduksi. Sejak awal abad ke-17, Kerajaan Aceh dapat membuat meriam dari perunggu ukuran sedang, dan sekitar 800 senjata lain.
Baca Juga: Kaitan Gunung Muria di Kudus dan Moriah di Palestina
Ekspedisi tersebut menyebabkan berkembangnya pertukaran antara Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani dalam bidang militer, perdagangan, budaya, dan keagamaan. Kapal-kapal Aceh pun diizinkan mengibarkan bendera Utsmaniyah.
Timbal baliknya, Kerajaan Aceh pun mengirimkan berbagai rempah-rempah, emas, permata, parfum dan sebagainya kepada Kesultanan Turki Utsmani
Di dalam Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 7 No 1 Mei 2021, Khairul Nizam bin Zainal Badri dari Madrasah Pra Tahfiz Al Mansoorah, Puchong, Selangor, Malaysia menulis, Penguasa Ottoman Turki, Sultan Sulaiman telah mengirimkan sekelompok ulama, pejabat dan militer untuk membantu Kerajaan Aceh untuk memperkuat stabilitas di Asia Tenggara, serta menjadi sekutu terkuat dari Kesultanan Utsmaniyah.
Di bawah pengaruh para ulama ini, intelektual dan pendidikan di Aceh mulai berkembang.
Baca Juga: Sunan Kudus Mendirikan Masjidil Aqsa Menara Kudus
Pada masa itu, ulama berperan sebagai diplomat untuk menjalin hubungan dan kerjasama antara Kesultanan Turki Utsmani dan Kerajaan Aceh. Di samping tentu untuk menyebarkan agama Islam di Aceh dan memperkuat pemahaman masyarakat tentang ajaran Islam.
Di antara pekerjaan pokok para ulama tersebut adalah mendirikan madrasah untuk mendidik masyarakat Aceh tentang ilmu agama dan pengetahuan umum, serta berperan sebagai penasihat spiritual bagi raja dan rakyat Aceh, serta membantu menyelesaikan perselisihan dan konflik.
Di antara ulama Aceh yang terkenal adalah Syaikh Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi atau dikenal dengan nama Teungku Chik Di Bitai atau Teungku Di Bitai.
Teungku Di Bitai, merupakan seorang ulama dan tokoh penting dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Beliau dihormati sebagai salah satu penyebar agama Islam di Aceh dan memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Turki Utsmani.
Baca Juga: Tantangan Parenting di Era Serba Digital
Teungku Di Bitai, menurut sebagian literatur merupakan ulama pada Kesultanan Turki Utsmani kelahiran Palestina. Beliau datang ke Kerajaan Aceh sekitar abad ke-16 bersama delegasi Turki Utsmani untuk membantu Kerajaan Aceh melawan Portugis.
Tengku Di Bitai berperan dalam menyebarkan agama Islam di Aceh, khususnya di Gampong Bitai, Banda Aceh, mendirikan masjid dan madrasah di Gampong Bitai, menjadi penasihat spiritual bagi Sultan Aceh, dan membantu memperkuat hubungan antara Kerajaan Aceh dan Kesultanan Turki Utsmani.
Pada masa itu, Gampong Bitai banyak dikunjungi pelajar dari berbagai daerah, bahkan dari tempat-tempat yang sangat jauh. Gampong Bitai pun menjadi pusat pengajaran bagi keluarga Sultan dan calon Sultan.
Di sini juga didirikan Akademi Militer yang dikenal dengan nama Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis, yang memberikan pengajaran dan pelatihan kemiliteran untuk menopang Kerajaan Aceh dari serangan Portugis dan bangsa asing lainnya yang hendak menyerang Aceh..
Baca Juga: Sunan Kudus Menantu Ulama Palestina
Teungku Di Bitai wafat di Gampong Bitai dan dimakamkan di sana.
Pemakaman Di Bitai terletak di Gampong Bitai yang ada di Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh. Posisinya berada sekitar 3,6 kilometer dari Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh, atau perjalanan kurang lebih sembilan menit dengan kendaraan roda empat.
Kini, Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh terus melakukan revitalisasi beberapa bagian dari Objek wisata ziarah Kompleks Makam Tengku Di Bitai yang terletak di Gampong Bitay, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh.
Menurut Kadis Pariwisata Banda Aceh, Iskandar, pada tanggal 27 Juli 2020, Kompleks makam tersebut merupakan bukti nyata bahwa Kerajaan Aceh Darussalam dahulunya mempunyai hubungan yang erat dengan Kerajaan Turki Utsmany. Hal ini sudah ada sejak abad ke-15 dan 16, sejak Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Al-Qahar.
Baca Juga: Mengapa Zionis Ingin Duduki Gaza Sepenuhnya?
Dalam penelitian Skripsi berjudul “Identifikasi Kuburan Turki Di Bitai, Studi Historis Arkelogis” yang disusun oleh: Zaliqa Maulidya, Mahasiswi Fakultas Adab dan Humaniora Prodi Sejarah dan kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, tahun 2018 M./ 1439 H., dituliskan, di kompleks seluas ± 500 m2 itu memiliki jumlah makam sebanyak ±300 makam.
Sebahagian dari makam-makam tersebut sudah di perbaiki dan masih ada juga makam dengan batu nisan khas Aceh, dengan kondisi masih ada yang utuh dan ada juga yang sudah rusak.
Penulis (Ali Farkhan Tsani) berkesempatan berziarah ke Makam Teungku Di Bitai pada hari Ahad, tanggal 8 Ramadhan 1445 H., bertepatan dengan tanggal 19 Maret 2024 M.
Pada kunjungan itu, Penulis bertemu dan menerima penjelasan dari juru kunci kompleks makam, seorang ibu kelahiran Aceh bernama Azimah Ghazi. Sebagai penjaga makam, Azimah Ghazi bersama suami bertugas membersihkan dan merawat makam, serta menerima dan memandu perihal seputar makam kepada pengunjung.
Baca Juga: Menjadi Orang Tua Cerdas di Tengah Arus Teknologi
Azimah Ghazi, perempuan berumur 47 tahun itu mengaku sebagai keturunan Turki, sudah menjadi penjaga makam sejak sebelum tsunami Aceh tahun 2004.
Dia menyampaikan, sebelumnya Kompleks makam sempat porak-poranda saat tsunami menerjang Aceh. Para korban tsunami juga banyak yang terdampar di kompleks tersebut.
Perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga itu, Azimah Ghazi mendapat wasiat dan amanah dari orangtuanya untuk meneruskan pengabdian menjadi penjaga makam Di Bitai.
Sejak saat itulah, dia bersama suaminya, merawat, membersihkan, menjaga sekaligus menjadi pemandu Kompleks Makam Di Bitai yang didalamnya di antaranya terdapat makam ulama, prajurit dan keluarga keturunan Turki.
Baca Juga: Ketika Setia Dianggap Kuno dan Selingkuh Dianggap Wajar
Saat Penulis (Ali Farkhan Tsani) berkunjung ke sana, Azimah Ghazi memperlihatkan silsilah keluarga yang ditempel di museum di kompleks tersebut.
“Ayah saya adalah keturunan ke-19 dan saya ke-20 dari Teungku Di Bitai,” ungkapnya.
Di dalam museum juga terdapat sebuah replika kapal yang dipakai oleh delegasi Turki Utsmani saat ke Aceh. Selain itu, ada beberapa foto dan keterangan sebagai panduan bagi pengunjung.
Gampong Bitai tempat di mana pemakaman Di Bitai berada, dikenal juga dengan sebutan “Kampung Turki.” Nama Gampông Bitai konon berasal dari kata Baital Maqdis di Palestina, yang disingkat Bitai.
Baca Juga: 80 Tahun Pengeboman Hiroshima, Jangan Terulang di Gaza
Memasuki kawasan “Kampung Turki” tersebut, kita akan melalui gapura bertuliskan “Selamat Datang di Pemukiman Bulan Sabit Merah, Bitai-Emperom.”
Di kanan dan kiri jalan terlihat beberapa rumah dengan lambang bulan sabit merah, yang melambangkan simbol Turki, di bubungan atap. Bentuk rumahnya nyaris seragam. Rumah-rumah tersebut merupakan bantuan dari pemerintah Turki yang diberikan kepada korban bencana tsunami Aceh 2004 lalu. Ada sekitar 238 rumah untuk korban tsunami., dengan sekitar 950 jiwa.
“Kampung Turki” memiliki banyak lorong kecil, salah satunya tertulis Jalan Tgk. Di Bitai, dengan panjang lorong sekitar 200 meter. Di ujungnya, ada kompleks pemakaman Di Bitai. Di gerbangnya terpampang tugu bertuliskan “Selahaddin Mezarligi, Makam Teungku Di Bitai”.
“Kampung Turki” Di Bitai banyak dikunjungi wisatawan dari berbagai Negara, seperti Malaysia, Jepang, Meksiko, negara-negara Afrika, dan lainnya.
Bahkan, Wakil Perdana Menteri Turki, Fikri Isik, secara khusus pernah mengunjungi “Kampung Turki” tersebut dalam kunjungan resminya , Jumat, 13 Oktober 2017 silam.
Dalam sambutannya usai shalat Jumat di Masjid Raya Baiturrahaman, Wakil PM Fikri Isik mengatakan bahwa Aceh dan Turki memiliki hubungan sejarah yang sangat panjang, selama berabad abad, yang telah terjalin sejak masa Kesultanan Turki Utsmani.
“Kesultanan Turki terdahulu telah mempersatukan ukhuwah kita. Kita orang Mukmin seperti susunan batu bata. Demi terciptanya kedamaian di dunia kita akan terus bekerja sama,” ujar Fikri Isik.
Di Gampong Bitai ini dipakai sebagai tempat Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis milik Kerajaan Aceh. []
Sumber : Buku Hubungan Indonesia & Palestina. Imaam Yakhsyallah Mansur dan Ali Farkhan Tsani. Penerbit MINA, Jakarta, Oktober 2024.
Mi’raj News Agency (MINA)