UNHCR: 2020 Tahun Paling Mematikan Pengungsi Rohingya

Seorang pengungsi Rohingya yang turun di Aceh, Indonesia setelah berbulan-bulan perjalanan di laut pada tahun 2020. Foto: UNHCR/Jiro Ose

Teluk Benggala, MINA – Badan Pengungsi PBB () mengungkapkan, tahun 2020 adalah tahun paling mematikan dalam catatan perjalanan di Teluk Benggala dan Laut Andaman.

Dikutip dari laman resmi UNHCR, Sabtu (21/8), selama setahun terakhir, pandemi COVID-19 mendorong banyak negara di Asia Tenggara memperketat perbatasan mereka, yang menyebabkan jumlah pengungsi tertinggi terdampar di laut sejak “krisis perahu” di kawasan itu pada 2015.

Laporan baru UNHCR yang berjudul “Left Adrift at Sea: Dangerous Journeys of Refugees Across the Bay of Bengal and Andaman Sea”, menyoroti sekitar dua pertiga dari mereka yang mencoba perjalanan berbahaya ini adalah wanita dan anak-anak.

“Selama negara-negara yang berbatasan dengan Laut Andaman dan Teluk Benggala enggan untuk menyelamatkan dan mendaratkan mereka yang berada dalam kesulitan di laut, kegagalan kolektif untuk bertindak akan memiliki konsekuensi yang tragis dan fatal. Kami bisa dan harus melakukan yang lebih baik,” kata Indrika Ratwatte, Direktur Regional UNHCR untuk Asia dan Pasifik dalam laporannya.

UNHCR mencatat, risiko meningkat tajam bagi mereka yang mencoba perjalanan. Dari 2.413 yang diketahui melakukan perjalanan pada tahun 2020, 218 meninggal atau hilang di laut. Ini berarti perjalanan 8 kali lebih mematikan pada tahun 2020 dibandingkan pada tahun 2019.

Berbeda dengan periode sebelumnya yang sebagian besar penumpangnya adalah laki-laki, kini mayoritas penumpangnya adalah perempuan dan anak-anak.

“Mereka bahkan lebih berisiko disalahgunakan oleh penyelundup saat melakukan perjalanan semacam itu. Cobaan berat mereka diperparah karena pelabuhan yang aman untuk mengakhiri perjalanan berbahaya mereka tidak ditemukan di mana pun,” jelas UNHCR.

Sejak tahun 2020, banyak pengungsi terdampar selama berbulan-bulan di kapal yang tidak layak melaut, menjadi korban pelanggaran oleh penyelundup, menjadi sakit parah karena kekurangan makanan dan air, dan bertahan dalam kondisi yang keras di laut, termasuk panas yang membakar serta gelombang dan badai yang berbahaya.

Risiko-risiko ini diperpanjang pada saat-saat di mana negara-negara ‘mendorong kembali’ kapal-kapal agar mencegah pendaratan (negara di lockdown).

UNHCR menyerukan kepada semua Negara di kawasan Asia Pasifik untuk mencari dan menyelamatkan pengungsi yang mengalami kesulitan di laut, dan menurunkan mereka ke tempat yang aman; bekerja menuju mekanisme regional pendaratan yang dapat diprediksi dan adil; serta menyediakan akses ke prosedur suaka bagi mereka.

Bagi Rohingya yang mencari perlindungan di negara-negara tetangga, pembatasan pergerakan, mata pencaharian, dan pendidikan merupakan faktor pendorong untuk mencari masa depan di tempat lain di wilayah tersebut. (T/R6/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)