UPAYA KEMBALI MEMIMPIN DUNIA DENGAN SYARIAT

yakhsyallah

yakhsyallah
K.H. Yakhsyallah Mansur,M.A.  (Imam/MINA)

Oleh: K.H. Yakhsyallah Mansur,MA., Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah)

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَأَنْ لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ. وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ. (النجم [٥٣]:٣٩-٤٠)

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).”(Q.S. An-Najm [53]:39-40)

Kata سَعَىٰ pada mulanya digunakan dalam arti berjalan dengan cepat walau belum sampai pada tingkat berlari. Arti ini berkembang sehingga dia diartikan juga dengan upaya sungguh-sungguh.

Melalui ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan bahwa sesuai dengan sifat keadilan-Nya, hasil pekerjaan manusia itu akan didapat sekedar usaha yang dilakukan. Apabila dia rajin dan sungguh-sungguh, akan mendapat banyak tetapi apabila malas, akan mendapat sedikit bahkan tidak mendapat sama sekali. Apabila hasilnya seperti ini maka dia tidak dapat menyalahkan orang lain.

Dalam perspektif dakwah Islam hal ini dapat kita lihat pada masa kemajuan umat Islam. Tidak kurang dari seribu tahun, umat Islam telah dapat mencapai puncak kemajuan yang sangat tinggi, terutama pada masa sahabat dan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Akan datang suatu masa kepada manusia yang ketika mereka berperang, mereka ditanya, “Adakah sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di antara kalian?” Mereka menjawab, “Ya.” Merekapun mendapat kemenangan. Mereka kemudian berperang dan ditanya, “Adakah di antara kalian sahabat dari sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam?” Mereka menjawab, “Ya.” Merekapun mendapat kemenangan.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Masa Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin hanya berlangsung 30 tahun, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

الخلافة بعدي ثلاثون سنة (الترمذي)

sesudahku berlangsung 30 tahun.” (H.R. At-Tirmidzi)

Meski demikian, kaum Muslimin pada masa Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu telah menyebar ke seluruh penjuru termasuk ke Cina.

Keberhasilan para Sahabat tersebut merupakan realisasi janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ. (النور [٢٤]: ٥٥)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”(Q.S. An-Nur [24]: 55)

Imam Syafi’i mengatakan, “Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa para Sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berangan-angan untuk menang menghadapi penduduk Makkah (yang saat itu masih kafir). Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan ayat ini yang merupakan sumpah Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menjadikan orang yang beriman dan beramal shalih sebagai khalifah di muka bumi yang akan mengatur dunia dengan -Nya. An-Nahhas menjelaskan bahwa sumpah tersebut telah direalisasikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan Fathu Makkah dan berbondong-bondongnya manusia memeluk Islam.”

Al-Imam As-Sa’di mengatakan, “Janji Allah dalam ayat ini akan senantiasa berlaku sampai hari Kiamat selama umat Islam menegakkan iman dan amal shalih. Diraihnya apa yang telah dijanjikan Allah adalah sebuah kepastian. Kemenangan orang kafir dan munafik oada sebagian masa dan berkuasanya mereka atas umat Islam tidak lain disebabkan oleh pelanggaran umat Islam dalam iman dan amal shalih.”

Oleh karena itu apabila umat Islam saat ini ingin kembali berjaya dengan syariat Islam maka syaratnya adalah memantapkan iman dan amal shalih sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para Sahabat serta generasi sesudahnya.

Iman dan Amal Shalih Para Shahabat dan Generasi Sesudahnya

Iman dan amal shalih para shahabat dan generasi sesudahnya sehingga mereka dapat meraih puncak kemajuan tercermin pada sikap mereka, antara lain:

  1. Keikhlasan dan Kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam

Sikap mereka mencintai dan mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sangat mengagumkan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika Urwah bin Mas’ud menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam perjanjian Hudaibiyah dan melihat perlakuan para Shahabat kepada beliau. Ketika beliau berwudlu, mereka memperebutkan air bekas wudlunya, ketika beliau membuang ludah, mereka memperebutkan ludahnya, dan ketika helai rambut beliau jatuh, mereka mengambilnya.

Ketika Urwah kembali ke Makkah, dia menceritakan hal itu kepada kaumnya dan berkata, “Kaum apa itu? Demi Tuhan, aku telah diutus ke sejumlah penguasa. Aku telah diutus kepada kaisar Kisra dan raja Najasyi. Demi Tuhan, Aku tidak pernah melihat seorang penguasa yang dihormati sedemikian rupa oleh pengikutnya seperti penghormatan yang diberikan para pengikut Muhammad kepada Muhammad. Demi Tuhan, jika beliau membuang dahak, pasti dahak itu jatuh ke telapak tangan salah seorang di antara mereka lalu dilumurkan dahak itu ke wajah dan kulitnya. Jika beliau berwudlu, mereka memperebutkan air bekas wudlunya. Jika beliau berbicara, mereka diam menyimaknya. Dan mereka tidak pernah menatap beliau dengan tajam karena hormat kepada beliau. Kecintaan ini pula yang tampak di perang Uhud.

Ketika para Shahabat melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam terluka, wajahnya penuh darah, para Shahabat segera merapat melindungi beliau. Ali bin Abi Thalib memegang tangan beliau, Thalhah mengangkat beliau hingga dapat berdiri. Malik bin Sinan menghisap darah yang ada di muka beliau. Abu Ubaidah bin Jarrah mencabut ujung besi yang menembus pipi beliau hingga gigi taringnya tanggal. Lalu mencabut ujung besi di pipi sebelahnya hingga gigi taring yang lainnya juga tanggal. Abu Dujanah menjadikan dirinya sebagai tameng bagi beliau sehingga punggungnya menjadi sasaran, penuh anak panah.”

Ketika pasukan musuh terus merangsek maju, sepuluh Shahabat segera melindungi beliau hingga semuanya terbunuh. Thalhah bin Ubaidillah kemudian datang untuk melindungi beliau hingga kedua tangannya terpenggal. Abu Bakar menggambarkan pengorbanan Thalhah sebagai berikut, “Aku adalah orang yang mula-mula mendapatkan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam di tengah kekacauan perang Uhud. Maka beliau berkata kepadaku dan Abu Ubaidah bin Jarrah, “Tolonglah saudaramu itu (Thalhah), lalu kami menengoknya dan ternyata sekujur tubuhnya terdapat lebih tujuh puluh luka berupa tancapan anak panah, tusukan tombak dan sobekan pedang dan ternyata anak jarinya terputus maka kami segera merawatnya dengan baik.”

  1. Rela Mengorbankan Segalanya Untuk Islam

Hal ini tampak dalam peristiwa hijrah ke Madinah. Ali bin Abi Thalib tidur di kasur Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pada malam beliau hijrah ke Madinah. Ini berarti sejak awal dia rela mengorbankan nyawanya demi beliau.

Suatu hari rombongan kafir Quraisy, di antaranya Utbah bin Rabiah melintasi rumah Jahsy yang akan hijrah ke Madinah. Utbah melihat rumah itu kosong tanpa penghuni berkata, “Rumah keluarga Jahsy kosong ditinggal penghuninya.” Mereka meninggalkan segalanya, rumah mereka, keluarga mereka dan ternak mereka.

Ketika Abu Bakar berhijrah ke Madinah, ia tidak membawa seorangpun keluarganya. Ia tidak membawa istri, ayah ataupun anaknya. Ia meninggalkan semuanya di Makkah dan berhijrah bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Sementara itu putrinya, Asma’ berhijrah dalam keadaan mengandung Abdullah bin Zubair. Dia memberanikan diri mengarungi padang pasir yang gersang meninggalkan kota Makkah yang sangat dicintainya. Ketika mendekati daerah Quba yang berada di sebelah Timur Madinah dia melahirkan anaknya.

Shuhaib bin Sinan ketika berhijrah telah meninggalkan segala kekayaan berupa emas, perak, dan sebagainya yang dikumpulkan dengan menghabiskan masa mudanya tanpa merasa rugi. Sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman mengenai dirinya:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ. (البقرة [٢]: ٢٠٧)

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 207)

Maka ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melihat dia sampai di Madinah beliau menyambutnya dengan bersabda:

ربح البيع ابا يحيى، ربح البيع ابا يحيى

“Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya, beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya.”

  1. Konsistensi Terhadap Al-Qur’an

Para Shahabat adalah orang-orang yang sangat senang dan konsisten membaca Al-Qur’an, setelah membacanya mereka berusaha mengamalkannya. Abdurrahman As-Sulami berkata, “Para Shahabat tidak menambahnya (belajar Al-Qur’an) sampai memahami dan mengamalkannya.”

Abu Thalhah orang yang sangat tua dan telah lemah. Suatu ketika saat membaca Al-Qur’an dan sampai pada:

انفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ. (التوبة [٩]: ٤١)

“Berangkatlah kalian baik dalam keadaan ringan maupun berat dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengerti.” (Q.S. At-Taubah [9]: 41)

Lalu dia memanggil anak-anak dan istrinya. Dia berkata kepada mereka, “Aku merasa Allah meminta berjuang baik dalam kondisi muda maupun tua. Siapkan bekalku.” Anak-anaknya berkata, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada ayah. Bukankah ayah telah berjuang bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam hingga beliau wafat. Juga dengan Abu Bakar dan Umar. Sekarang biarkanlah kami berperang menggantikanmu.” Dia menjawab, “Tidak, kalian mesti mempersiapkan untukku.” Anak-anaknya tidak dapat mencegahnya. Oleh karena itu mereka mampu siapkan bekalnya dan berperanglah dia mengikuti armada Islam di laut akhirnya meninggal dalam pertempuran itu.

Abu Ayyub Al-Anshary shahabat yang rumahnya pertama kali ditempati Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam setelah beliau di Madinah adalah salah seorang yang mendengar sabda beliau:

لتفتحن القنسطنطنية فخير الأمير أميرها وخير الجيوس جيوسها. (رواه احمد)

“Kalian akan membebaskan Konstantinopel, maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (H.R. Ahmad).

Oleh karena itu dia selalu mengikuti setiap peperangan agar dapat masuk dalam hadis yang dinubuwahkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Maka ketika Yazid bin Mu’awiyah mengumumkan untuk membebaskan kota Konstantinopel, walaupun umurnya telah mencapai sekitar 80 tahun, dia bertolak dari Madinah menempuh perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. Bulan demi bulan pembebasan itu belum terwujud.

Akhirnya kepenatan menimpa shahabat yang sudah renta itu. Ketika menjelang wafat, Yazid menanyakan permintaan terakhirnya, ia berkata, “Jika aku meninggal bawalah jasadku ke tempat negeri musuh yang paling jauh kemudian kuburkanlah aku dan kembalilah.” Yazid melaksanakan permintaannya tersebut.

Kira-kira enam abad kemudian, di bawah komandan Muhammad Al-Fatih umat Islam berhasil membebaskan Konstantinopel yang kemudian diubah menjadi Istambul (Islambul). Muhammad Al-Fatih memerintahkan mencari kuburan Abu Ayyub Al-Anshari kemudian didirikan masjid di dekat kuburan tersebut.

Konsistensi para Shahabat dapat juga kita lihat bagaimana reaksi mereka terhadap firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيْمٌ. (ال عمران [٣]: ٩٢)

“Sekali-kali kalian tidak akan mencapai kebaikan, sebelum kamu mendermakan sebagian dari hasil yang kamu sayangi. Dan apa juapun yang kamu dermakan itu sesungguhnya Allah mengetahui.” (Q.S. Ali Imran [3]: 92)

Setelah ayat ini turun, bukan main besar pengaruhnya kepada para Shahabat. Seorang Shahabat yang juga bernama Abu Thalhah mempunyai kekayaan satu-satunya yang amat dibanggakan, yaitu kebun bernama Bairuhaa’, tidak berapa jauh dari Masjid Madinah. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sering singgah ke kebun itu meminum airnya yang sejuk. Nama Abu Thalhah amat terkenal karena kebunnya yang subur itu. Tetapi setelah ayat itu turun, masuklah pengaruhnya ke dalam hati Abu Thalhah. Dia terus menemui Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan berkata, “Aku akan mengaamalkan wahyu Allah itu, ya Rasulullah. Kekayaan yang paling aku cintai, sehingga tidak ada yang lain lagi adalah Bairuhaa’. Terimalah dia sebagai sedekahku, ya Rasulullah dan aku kuasakan kepada anda untuk menyerahkannya kepada siapa yang patut menerimanya. Lalu beliau menguasakan kepada Abu Thalhah sendiri untuk membagikannya kepada keluarga dekatnya. Menurut riwayat Muslim, harta itu diberikannya kepada Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab.

Dalam rangka mengamalkan ayat ini pula Zaid bin Haritsah, bekas anak angkat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam membawa kudanya yang sangat dicintai yang bernama Subul kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan berkata, “Aku ingin mengamalkan ayat itu, ya Rasulullah. Inilah kudaku, sebagaimana yang engkau tahu, adalah yang paling aku cintai. Terimalah dia sebagai sedekahku dan berikanlah kepada yang patut menerimanya.” Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menerimanya dan menyerahkannya kepada Usamah bin Zaid, putra Zaid sendiri.

Abu Hasan Al-Anthaki bercerita, pada suatu hari berkumpul lebih 30 orang ulama di suatu desa dekat negeri Raiy (Teheran sekarang). Hari telah malam, semuanya lapar, sedang roti hanya beberapa potong saja, tidak cukup untuk makan orang lebih dari 30 orang. Maka ada di antara mereka mengambil roti yang sedikit itu dan memecahnya lalu meletakkan di tengah-tengah, sedang lampu mereka padamkan. Setelah lampu padam kedengaran ada yang pergi mengambil roti itu berganti-ganti, mengecap-ngecap mulut seperti orang makan lalu terus pergi tidur dan mengatakan kepada yang belum makan, bahwa makanan masih banyak. Setelah siang kelihatanlah bahwa roti masih utuh. Tidak seorangpun yang makan, hanya pura-pura makan karena semua memikirkan temannya, agar temannya makan walau dia sendiri …….. . Inilah realisasi dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. (الحشر [٥٩]: ٩)

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”(Q.S. Al-Hasyr [59]: 9)

Wallahu A’lam bis Shawwab. (why/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Comments: 0