Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

WASPADAI PENGGUNAAN ANGCIU PADA MAKANAN SEAFOOD

Rana Setiawan - Ahad, 21 Juni 2015 - 04:37 WIB

Ahad, 21 Juni 2015 - 04:37 WIB

738 Views

Lady Yulia. (Foto: Kemenag)
Lady Yulia. (Foto: Kemenag)

Lady Yulia. (Foto: Kemenag)

Oleh: Lady Yulia, Pemerhati Makanan Halal dan Pelaksana pada Subdit Produk Halal, Kementerian Agama RI

Sajian Seafood yang menggugah selera tentu sangat diminati banyak kalangan. Apalagi disuguhkan bersama nasi goreng membuat jenis  masakan tersebut menjadi menu favorit restoran hampir di seluruh wilayah nusantara.

Cita rasa yang  berbeda membuat konsumen selalu kembali untuk menikmati jamuannya. Namun tidak banyak konsumen yang mengetahui  bahwa diperlukan keahlian dan resep andalan  yang mampu membuat masakan itu selalu dinanti dan dicari penggemarnya.

Produsen akan meramu masakan  dengan bahan terbaik bahkan kalau perlu menambahkan zat lain yang dapat meningkatkan cita rasa Seafood. Ada yang menambahkan rempah-rempah,  sayuran, buah atau zat tambahan lainya.

Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen

Tetapi apabila ditambahkan dengan jenis zat tertentu, tentunya juga diperuntukkan bagi konsumen tertentu pula Seperti penggunaan angciu yang digunakan sebagai zat aditif oleh pedagang seafood.

Angciu biasa digunakan pada masakan Cina, Korea, Jepang atau masakan ala luar negeri lainnya.  Di Jepang dikenal dengan istilah kirin atau sake.

Angciu dianggap mampu membuat daging seafood lebih lembut dan menciptakan rasa sangat lezat dan gurih. Sedangkan jika digunakan untuk daging bakar atau steak dapat membuat daging lebih empuk dan harum.

Namun ketika masakan berangciu ini dinikmati oleh konsumen muslim maka hukumnya menjadi tidak halal untuk dikonsumsi.

Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku

Angciu atau Huangjiu dalam bahasa Mandarin diartikan menjadi arak kuning atau ada juga yang menyebut dengan red wine (arak merah). Angciu biasanya dikemas dalam botol kaca seperti kecap manis/asin sehingga sekilas seperti sama dengan kemasan kecap.

Angciu dihasikan dari fermentasi beras ketan atau tape dengan produk akhir alkohol yang bersifat memabukkan.

Ini artinya angciu merupakan bahan yang mengandung zat yang bersifat khamr (memabukkan). Mengonsumsi sesuatu yang mengandung bahan yang memabukkan bagi umat muslim adalah haram, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah/5:90.

Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.

Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?

Meski penggunaaan angciu pada masakan dalam jumlah yang sedikit, hukumnya tetap saja menjadikan masakan tidak halal. Karena sedikit atau banyak zat yang memabukkan ada dalam makanan maka hukumnya akan tetap sama.

Hal yang menjadi perhatian saat ini, banyak pedagang seafood dan nasi goreng kaki lima/dipinggir jalan di wilayah Jabodetabek justru menggunakan angciu.

Ada dua hal yang melatarbelakangi mereka dalam penggunaan angciu. Pertama; anggapan bahwa angciu akan menguap dalam proses pemasakan, sehingga zat dimaksud tidak akan terdapat dalam hasil masakan sehingga hukum makanan yang dimasak tetap menjadi halal.

Kedua; para pedagang tidak memahami bahwa angciu merupakan bahan yang bersifat khamr sehingga menganggap angciu merupakan bahan masakan yang hampir sama dengan kecap.

Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal

Mereka hanya memahami bahwa angciu merupakan bahan yang dapat menambah cita rasa pada masakan.   Apapun yang menjadi alasan pedagang dalam menggunakan angciu tetap saja masakannya menjadi tidak halal bagi konsumen muslim.

Ironinya, para konsumen muslim pun banyak tidak memahami hal ini. Dalam hal ini seharusnya produsen menciptakan perilaku yang bertanggung jawab terhadap hasil produksinya. Sosialisasi informasi dan edukasi produk halal sangat perlu di sini.

Para pedagang dimaksud harus memahami proses produksi masakan yang halal sehingga tidak lagi menyajikan masakan yang mengandung unsur haram bagi konsumen muslim.

Hal lain yang sangat signifikan adalah diperlukan konsumen yang cerdas dalam meneliti produk makanan yang akan dibeli.

Baca Juga: BPJPH, MUI Tuntaskan Nama Produk Bersertifikat Halal

Perilaku konsumen seperti ini dengan sendirinya akan mempengaruhi perilaku produsen. Produksi masakan produk halal dapat terus terjaga.

Telitilah dalam memilih produk yang akan dikonsumsi. Pastikan halal menjadi pilihanmu!.(R05/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: LPPOM Tegaskan Sertifikasi Halal Bagi Retailer

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Kolom
Indonesia
MINA Preneur
Indonesia