Wawancara dengan Gus Solah: Pesantren Bisa Jadi Lembaga Pendidikan Terbaik

Dok foto: Rasil

Pengasuh Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Ir. H. Salahuddin Wahid () mengunjungi Sekolah Insan Mandiri Cibubur, Bekasi, pada Rabu (28/8). Gus Solah beserta rombongan mengunjungi Sekolah Islam Terpadu (Boarding School) Insan Mandiri dalam rangka studi banding model pembelajaran.

Dalam kunjungannya, ia menyampaikan,  pesantren bisa menjadi lembaga pendidikan terbaik asalkan manajemennya juga terbaik.

Insan Mandiri selama ini menerapkan system “Project Based on Quran” yang diprakarsai praktisi pendidikan Munif Chatib dan menjadi rujukan model pembelajaran di beberapa sekolah lain.

Setelah kunjungannya ke Sekolah IMC tersebut, dilanjutkan Bincang Pendidikan bersama Gus Solah dan Munif Chatib. Berikut wawancara Gus Solah dengan Radio Rasil dan Rasil TV di Cibubur, Bekasi.

Pewawancara: Alasan Gus Solah sering bersilaturahim ke sekolah atau pesantren?

Gus Solah: Ada dua manfaat yang pasti kita peroleh, pertama silaturahim. Kedua, kita belajar sesuatu yang baru yang bermanfaat, kemudian nantinya bisa diterapkan di Tebu Ireng. Dan kami tidak hanya kemari, tapi banyak sekali sekolah pesantren yang kami kunjungi. Kami juga punya  kegiatan pendidikan dan latihan untuk ustaz yang mengurusi santri di Pondok. Dan itu kami bikin pendidikan bagi mereka selama 1 bulan.

Terdapat 28 pesantren yang kami tempatkan untuk mereka magang selama satu bulan. Pertama, kami ingin tahu apa perbedaannya, terus hal-hal positif apa yang dapat kami coba terapkan di Tebu Ireng. Selain itu hal ini juga dapat melatih para ustaz ini mempunyai perbandingan pengalaman berbeda dari berbagai tempat.

Pewawancara: Dalam pengalaman Gus Solah sendiri di dunia pendidikan saat ini perkembangannya bagaimana?

Gus Solah: Pesantren ini panjang sejarahnya. Pesantren tertua yang masih ada yaitu Pesantren Al-Kahfi di Kebumen, awalnya saya pikir Pesantren Sidogiri yang paling tua. Pesantren juga mengalami pasang surut ya, dulu baik kemudian tiba-tiba menurun sampai tahun titik nadir itu sekitar tahun 70-an dan 80-an. Jumlah pesantren saat itu hanya 5.000, padahal tahun 1999 jumlah pesantren itu mencapai sepuluh ribu, dan sekarang bahkan jumlahnya 28.000 sekian.

Itu sebuah perkembangan yang menarik. Dan kalau kita berbicara pendidikan di Indonesia yang jadi contoh itu adalah Taman Siswa Ki Hajar Dewantoro dan INS Kayu Tanam Sumatera Barat Pak Mohammad Syafei, kedua sekolah itu sekarang masih ada, tapi tidak begitu banyak didengar. Sekarang justru yang menjadi pembeda itu pesantren, seperti Gontor, Tebu Ireng, Sidogiri, dan masih banyak lagi.

Pewawancara: Pembeda ini apakah sudah  mewarnai atau bahkan mereformasi pendidikan Indonesia?

Gus Solah: Belum ya, masih perlu waktu panjang. Kalau dalam sejarah 10 tahun itu waktu yang pendek, perlu waktu yang panjang. Tapi saya optimis pendidikan akan membaik kalau kita memang serius. Saya teringat kata  pak Soedjatmoko, yang dulu menjadi Penasihat Kepala Bappenas dan juga pernah menjadi rektor Universitas PBB di Tokyo. Ia menyatakan, pesantren itu bisa menjadi lembaga pendidikan yang baik kalau dikelola dengan manjemen yang baik.

 

Pewawancara: Peran untuk merubah masyarakat dalam hal akhlak itu sudah sebesar apa dan sudah menunjukkan apa dari pendidikan pesantren?

Gus Solah: Kalau di Tebu Ireng, pengabdian kepada masyarakat dilakukan dalam banyak hal. Jadi kami, misalkan ustaz-ustaznya itu diberi tugas atau diminta masyarakat untuk mengajar ngaji, atau khotib pada sholat Jumat dan berbagai kegiatan lain. Misalkan di daerah yang belum banyak madrasah atau sekolah itu mereka tinggal di sana dan mengajarkan Al-Qur’an kepada masyarakat. Kami juga membuat klinik gratis, dan ini membantu masyarakat. Sekarang klinik itu malah ingin ditingkatkan menjadi rumah sakit, sedang dibangun insyaAllah tahun depan selesai.

Kemudian kami juga mendirikan lembaga sosial Pesantren Tebu Ireng, yang Alhamdulillah dalam setahun mungkin kami dapat menghimpun dana Rp. 3,5 miliar dan ini kami berikan ke masyarakat sekitar, termasuk anak yatim, beasiswa, marbot di masjid-masjid, itu kami lakukan. Kemudian kami juga membantu warga yang mengalami gizi buruk. Selain itu kami juga membuat nasi bungkus yang misal biasa beli seharga Rp. 7.000 kami jual Rp. 2.000, ya dengan harga murah.

Pewawancara: Ada  yang mengatakan, Pendidkan di Indonesia ini, baik yang Pesantren atau umum itu sangat dipengaruhi oleh situasi politik. Apalagi jika kita melihat pesantren kadang dikaitkan dengan isu-isu politik. Anda melihatnya bagaimana?

Gus Solah: Pesantren sebaiknya tidak berpolitik ya, tapi tidak boleh buta politik juga. Saya ambil contoh misalnya kemarin, pemilihan presiden. Tebu Ireng netral, sebagian saudara saya mendukung 01, sebagian dukung 02, itu silahkan saja. Yang penting Tebu Irengnya netral. Kalau soal paham keagamaan itu dari zaman dulu, dari zaman Rasulullah wafat sudah ada. Ketika Rasulullah masih ada, semua hal bisa ditanya ke beliau dan dijawab yang kemudian jawaban beliau itu merupakan suatu pedoman yang harus diikuti.

Imam yang empat itukan saling menghormati, walaupun masa hidupnya berbeda beda. Tapi murid-muridnya juga saling menghormati, nah itu yang seharusnya dapat kita lakukan. Jadi bagaimana kita bisa berbeda pendapat, tetapi tidak bermusuhan. Baik dengan sesama Islam atau pun agama lain, dalam Al-Qur’an disebutkan lakum diinukum waliyaidin. Pedomannya jelas sekali ya, cuma kadang-kadang ntuk menjalankannya ini tidak mudah, diperlukan ke lapangan dada, jadi toleransi itu harus kita ke depankan.

Saya ingin menyampaikan juga, toleransi itu menurutu saya hanya sampai batas sosial. Tidak menyinggung masalah ajaran, menurut saya agama Islam yang paling benar dan agama lain tidak. Cuma, saya tidak boleh menyerang agama lain, biarkan itu keyakinan mereka.

Pewawancara: Nilai-nilai dasar apa yang perlu ditanamkan di pesantren kepada santri-santrinya?

Gus Solah: Ya tentunya nilai-nilai keislaman, Islam itu kan akhlak ya, dan ini tanda tanya ini. Orang bilang akhlak pesantren itu mengajarkan dan menanamkan akhlak, dan itu telah dibuktikan. Saya tidak tau apakah ini klaim atau fakta. Saya pikir perlu diteliti, kan belum ada penelitiannya. Umat Islam yang dari pesantren ini jujur, kan belum ada penelitiannya.

Menurut survei koran Kompas, dua tahun yang lalu. Ada kelompok yang disebut orang yang sering jujur dan selalu jujur, juga ada orang yang sering bohong dan selalu bohong, ada yang di tengah-tengah ini, suka jujur, suka bohong. Ini 50 persen. Nah yang sering bohong dan suka bohong itu 40 persen, yang selalu jujur dan suka jujur itu hanya 10 persen, itu secara umum, apakah di pesantren itu seperti itu juga apa ngga? Saya Tidak tahu gitu. Tapi kita perlu mawas diri, jangan taken for granted. Kita yakin orang pesantren jujur jujur, tapi ngga juga kan? Karena di tingkat agama juga banyak yang korupsi.

Pewawancara: Bagaimana sebenarnya mencetak generasi emas dari pendidikan pesantren atau pun pendidkan umum, apakah bisa menjadi penunjang utama?

Gus Solah: Jadi aset sebenarnya dari sebuah bangsa adalah manusianya, dan itu bisa kita siapkan kalau pendidikannya baik. Jadi istilah generasi emas, istilah itu bagus, cuma menurut saya, ya kita jangan terus beranggapan itu pasti tercapai. Hal itu tergantung dari pendidikan dan kesehatan. Kalau dua ini tidak tercapai, satu lagi sebetulnya, gizi. Kalau gizinya tidak baik, dia tidak jadi apa-apa, jadi kalau sampai seribu hari pertama kehidupan si anak ini tidak mendapat gizi yang baik, maka itu akan berpengaruh ke badan dan otaknya, dan itu menjadikannya manusia yang tidak berguna, dan ini akan jadi beban masyarakat dan beban negara. Jadi sebaiknya, pemerintah betul-betul memperhatikan hal itu.

Rasa optimisme kita selalu ada, tapi juga kita harus realistis. Jangan terlalu optimis, karena jangka waktu 26 tahun lagi itu ngga panjang. Kita kan 21 tahun ini setelah reformasi, ya ada kemajuan tapi harusnya kita bisa lebih maju dari sekarang. (W/Ais/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.