Tokyo, 16 Jumadil Awwal 1438/14 Februari 2017 (MINA) – Rebiya Kadeer yang mengepalai Kongres Uighur Dunia (WUC) mengatakan bahwa di antara ribuan orang Uighur yang melarikan diri ke Asia Tenggara, Turki dan di tempat lain dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kecil telah berakhir di negara Timur Tengah setelah bergabung kelompok militan.
“Sebagian orang Uighur meninggal setelah pesawat Rusia mengebom mereka, mereka dibunuh di Suriah,” kata Rebiya pada konferensi pers hari Senin (13/2) saat berkunjung ke Jepang, demikian Nahar Net memberitakan yang dikutip MINA.
Etnis Uighur sebagian besar adalah Muslim yang berbicara bahasa Turki dan jumlahnya sekitar 10 juta, tinggal di Xinjiang, wilayah Cina barat laut, yang berbatasan dengan Asia Tengah dan telah lama mengeluhkan diskriminasi agama dan budaya dari pemerintah Cina.
Baca Juga: Hongaria Cemooh Putusan ICC, Undang Netanyahu Berkunjung
Pemerintah Cina sering memperingatkan bahwa pasukan militan dari luar telah mengilhami serangan teror di Xinjiang maupun di daerah lain sehingga negara melakukan tindakan keras.
Rebiya mengatakan, di antara orang Uighur yang melarikan diri sebagian berusaha untuk berlatih dengan kelompok militan di Suriah yang bertujuan bisa kembali dan berjuang untuk kemerdekaan di Xinjiang.
Rebiya Kadeer adalah seorang pengusaha kaya dan terkemuka yang sekarang berusia 70 tahun. Ia dipenjara oleh pemerintah Cina dan dibebaskan pada 2005 lalu mengasingan diri ke Amerika Serikat. Di sana ia ditunjuk sebagai presiden WUC.
WUC menggambarkan dirinya sebagai gerakan oposisi damai melawan pendudukan Cina terhadap Turkestan Timur, nama lain dari Xinjiang.
Baca Juga: Pusat Budaya dan Komunitas Indonesia Diresmikan di Turki
Namun, Pemerintah Cina telah menyalahkan WUC dan Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM) bayangan, yang dianggap meradikalisasi Uighur dan mengobarkan kekerasan dan semangat kemerdekaan.
Pengamat di luar negeri menyatakan sikap skeptis terhadap cara Cina yang berlebihan dan memandang Uighur menjadi ancaman dan membenarkan aturan keamanan yang ketat di Xinjiang yang kaya sumber daya.
Kelompok Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa taktik polisi yang keras dan pembatasan pemerintah terhadap praktik-praktik agama Islam telah memicu kekerasan oleh Uighur.
Sementara pemerintah Cina mengatakan telah mendorong pembangunan ekonomi di Xinjiang dan menjunjung tinggi hak beragama bagi minoritas dan semua dari 56 kelompok etnis di negara itu. (T/RI-1/P1)
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)