ABDUL AZIZ AR-RANTISI, MENDAMBA SYAHID DENGAN APACHE

AR RANTISIOleh: Bahron Ansori, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Namanya Abdul Aziz Ar-Rantisi. Ia adalah seorang mujahid di abad modern ini. Selama hidupnya ia senantiasa berjuang membela kebenaran atas penindasan dan kesewenang-wenangan penjajah Israel. Bersimbahnya darah Abdul Aziz Ar-Rantisi seolah menjadi pupuk keimanan bagi seluruh kaum muslimin di dunia yang mendambakan jihad sebagai jalan hidupnya.

Darahnya yang mengalir di bumi Syam () penuh berkah, harum mewangi semerbak meneber keseluruh penjuru dunia, serta menggelorakan semangat jihad kepada jiwa-jiwa yang mendamba syahid di jalan Allah.

Janji Allah pasti terjadi, doa seorang hamba beriman yang tawadhu dan sangat mendambakan kemuliaan kehidupan akhirat yang kekal lagi abadi telah Allah kabulkan. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya lagi Maha Agung.

Ar-Rantisi, lahir dari keluarga yang sangat dekat dengan Islam, Abdul Aziz “Si Singa” Ar-Rantisi ini adalah seorang hafidz Qur’an. Ia berhasil menghafalkan Al-Qur’an 30 Juz ketika berada di dalam penjara Zionis Israel dalam usia 40 tahun.

Salah satu pernyataan Ar Rantisi yang sangat terkenal adalah, Mati karena dibunuh atau dengan kanker, kita semua sedang menungu hari terakhir dari kehidupan ini, tidak akan ada yang berubah, apakah itu mati oleh Apatche atau oleh serangan jantung. Dan saya lebih suka (kematian) dengan ”.

Itulah doa dari seorang mujahid yang lebih mendamba gugur sebagai syuhada di jalan Allah Ta’ala. Tidak akan berkurang umur seseorang ketika dia berangkat ke medan jihad dan berperang di jalan Allah, juga tidak akan bertambah usia seseorang ketika dia enggan berperang di jalan-Nya. Inilah yang dimaksudkan oleh Abdul Aziz Ar-Rantisi, kerinduannya untuk syahid, keyakinannya akan janji Allah, membuatnya tidak ragu sedikitpun untuk meminta syahid dan gugur di jalan Allah. Sebuah keyakinan yang sangat luar biasa dan patut diikuti oleh kaum muslimin.

Siapa Abdul Aziz Ar-Rantisi

Ia lahir pada tanggal 23 Oktober 1947, dengan nama lengkap Abdul Aziz Ali Abdul Hafidz Ar-Rantisi, di sebuah kota Yibna sebelah barat Al-Quds dari keluarga yang sangat dekat dengan nilai-nilai keislaman. Saat baru  berusia enam bulan, Abdul Aziz kecil sudah harus mengungsi, karena diusir oleh penjajah Israel pada tahun 1948. Ia dan keluarganya mengungsi ke Khan Younis, sebelah selatan Jalur .

Abdul Aziz menjalani masa kecilnya di Kamp pengungsian Khan Younis, hingga kemudian dia menempuh pendidikan dasar dan menengah pada sebuah sekolah khusus untuk pengungsi Palestina. Saat sekolah ia juga harus bekerja untuk ikut memberikan dukungan materi kepada keluarganya.

Setelah menamatkan pendidikan menengah atas pada tahun 1965, Abdul Aziz mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Alexandria, Mesir, dan berhasil lulus pada tahun 1972, kemudian melanjutkan pendidikan Spesialis Kedokteran Anak.

Tahun 1976, ia kembali ke Jalur Gaza dan bekerja di Rumah Sakit Naseer Khan Younis, dan pada tahun 1978  ia juga menjadi pengajar Ilmu penegetahuan Alam, Genetika dan Parasit di Universitas Islam Gaza yang saat itu baru saja didirikan. Abdul Aziz juga tercatat sebagai anggota Asosiasi Kedokteran Islam Arab di Jalur Gaza, dan Bulan Sabit Merah Palestina.

Saat menempuh pendidikan di Mesir, pada 1976 Rantisi bergabung dan berbaiat dengan kelompok Ikhwanul Muslimin bersama dengan Dr. Ibrahim Maqadma, seorang pemikir dan tokoh gerakan Hamas. Setelah kembali ke Jalur Gaza, ia kemudian bergabung dengan Ikhwanul Muslimin di Khan Younis dan bersama dengan Shaikh Ahmad Yasin mendirikan Gerakan Perlawanan Islam Hamas pada bulan Desember 1987.

Sejak mendirikan Hamas bersama Shaikh Yasin, Rantisi senantiasa mengedepankan perlawanan bersenjata terhadap penjajah Israel, hingga meletuslah Intifadhah pertama tahun 1987 yang menyebabkan Rantisi mendekam di penjara Israel. Sebelumnya Rantisi untuk pertama kalinya ditangkap oleh penjajah Israel pada tahun 1983 karena menolak membayar pajak terhadap penjajah Israel. Kemudian ia ditangkap dan dipenjara selama 21 hari pada 15 Januari 1988 saat terjadinya Intifadhah pertama.

Untuk ketiga kalinya pada tanggal 4 Februari 1988 Rantisi kembali ditangkap dan dipenjara oleh Zionist Israel selama 2,5 tahun dengan tuduhan berpartisipasi dalam kegiatan pemberontakan terhadap penjajah Israel. Ia dibebaskan pada 4 September 1990. Namun pada 14 Desember 1990 Rantisi kembali ditangkap dan ditahan selama satu tahun.

Kesulitan tak membendung semangat Rantisi dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Penjajah Israel kemudian mendeportasinya bersama dengan 400 aktivis Hamas dan Jihad Islami ke Libanon Selatan. Kemudian Rantisi diangkat sebagai Juru Bicara para deportan yang memprotes pendeportasian tersebut sehingga memaksa Zionis mengembalikan mereka ke Jalur Gaza.

Setalah kembali ke Jalur Gaza, Zionis Israel kembali menangkap Rantisi dan mengadilinya pada pengadilan militer Israel. Vonis pengadilan ilegal Zionis Israel tersebut membuat Abdul Aziz Ar-Rantisi kembali mendekam dalam penjara dan baru dibebaskan pada pertengahan tahun 1997. Setidaknya Abdul Aziz Ar-Rantisi menghabiskan usianya selama 7 tahun di penjara Zionis.

Keluar dari penjara Israel bukan berarti harus menjalani kehidupan yang bebas. Kurang dari satu tahun setelah kebebasannya dari penjara Israel, Otoritas Palestina kembali menangkap dan memenjarakan Rantisi. Setelah 15 bulan dalam penjara, Rantisi untuk pertama kalinya diizinkan keluar penjara karena ibunda tercintanya meninggal dunia. Namun sesudah itu kembali ditangkap Otoritas Palestina dan dijebloskan ke dalam penjara sebanyak tiga kali. Terakhir sesudah ditahan selama 27 bulan, Otoritas Palestina melepaskannya akibat aksi mogok makan dan pemboman tahanan tersebut oleh Zionis Israel.

Setelah syahidnya Shaikh Ahmad Yasin, para pengikut Hamas kemudian mengangkat Rantisi sebagai pimpinannya pada tanggal 23 Maret 2004. Di masa awal menjadi pemimpin Hamas, dia melakukan sebuah operasi penyusupan ke Pelabuhan Ashdood yang dijajah oleh Israel, sebagai balasan terhadap serangan Israel pada Shaikh Ahmad Yasin. Akibat operasi itu, penjajah Israel melaksanakan berbagai operasi untuk membunuh Rantisi.

Detik-detik Gugurnya Abdul Aziz Rantisi sebagai Syhuhadadr-abd-aziz-rantisi-syeikh-ahmad-yassin

Ahmad Abdul Aziz Ar-Rantisi anak Abdul Azis Rantisi menceritakan detik-detik sebelum ayahnya Berikut kisah lengkapnya, “Ayah saya punya teman seorang dokter yang saat itu sedang sakit parah. Sekalipun saat itu kondisi keamanan sangat membahayakan, namun ayah saya tetap berniat menjenguk sahabatnya itu.

(Hari itu, 10 juni 2003) kemudian kami pun  keluar dari rumah dengan mengendarai sebuah mobil sedan yang kami naiki dari dalam rumah. Tentu mobil yang kami kendarai saat itu di-setting untuk mengelabui musuh.  Kemudian keluarlah saya, ayah saya dan dua orang murafiq (pengawal) tanpa seorang pun yang tahu bahwa ayah saya berada di dalam mobil tersebut. Dan sayalah yang saat itu mengemudi sedan tersebut, tapi di tengah perjalanan menuju rumah sakit itulah terjadi serangan bom dari pesawat Apache.

Dalam keadaan ini ketika sampai di salah satu perempatan jalan, saya tidak menghentikan mobil dan terus memacu kendaraan dengan sangat cepat, sampai tepat ketika saya melewati perempatan datanglah rudal pertama mengenai bagian depan mobil kami. Tingginya kecepatan mobil yang saya kendarai tidak terhenti meski sudah terkena rudal.

Akan tetapi gerakan mobil jadi terombang-ambing ke kanan dan kekiri. Kemudan kembali datang rudal kedua, namun kali ini tidak mengenai mobil hanya jatuh dekat dengan mobil. Saat itu, ayah saya serta murofiqnya segera turun dari mobil disusul oleh murofiq lainnya yang duduk di sebelah saya. Tinggallah saya sendiri dalam mobil yang saat itu sudah berhenti di sisi sebuah gedung tinggi sehingga menghalangi pengelihatan pilot Apache saat itu”.

Mulailah terdengar jeritan masyarakat di sekitar kami karena mendengar dua dentuman rudal dari Apache penjajah Zionis. Kemudian, seketika setelah saya membuka pintu depan mobil sedan dan keluar dari mobil, ketika itulah roket ketiga meluncur ke tengahtengah badan mobil sedan yang langsung meluluh lantahkan mobil tersebut.

Ayah saya saat itu berlindung di samping bangunan sekolah sambil berlari pincang akibat kakinya yang luka oleh serangan Apache itu. Para guru di sekolah yang melihatnya, segera membawanya menuju rumah sakit. Saya pun segera dilarikan ke rumah sakit dan mengalami koma selama lima hari.

Sementara itu, murofiq yang saat itu duduk disamping saya saat di mobil, terlihat sempoyongan namun masih bisa berjalan sampai ke rumah sakit ia langsung disambut dengan doa oleh para pemuda di rumah sakit dan diarahkan menuju ruang operasi untuk menjenguk ayah saya.

Namun saat itu juga sampailah kabar bahwa sang murofiq itu syahid dipanggil Allah Subhanahu Wa Ta’ala tepat pada saat dia tiba di rumah sakit. Belakangan hari diketahui gugurnya murofiq tersebut akibat pendarahan dalam tubuhnya. Demikian kronologi insiden penyerangan yang pertama.

Penyerangan pertama tersebut membuat tubuh bagian kanan Ahmad Abdul Aziz Ar-Rantisi mengalami stroke dan mati sebelah hingga sekarang, untuk aktifitasnya Ahmad hanya menggunakan bagian kiri, bahkan untuk bersalaman sekalipun ia menggunakan tangan kirinya.

Adapun insiden penyerangan yang kedua, di mana ayah saya menemui syahidnya, saat itu kondisinya masih dalam suasana pengangkatan kepemimpinannya sepeninggal As Syahid Ahmad Yasin rahimahullah.

Sejak hari pengangkatannya itu, ia jarang sekali pulang dan kami pun sangat jarang sekali bertemu dengannya. Sampai datanglah hari di mana ia syahid, saat itu 17 April 2004, ia sedang pulang ke rumah kami. Ayah pulang hendak menyelesaikan banyak urusan yang belum terselesaikan yang salah satu urusan terpentingnya adalah pernikahan saya. Saya masih ingat bahwa hari itu ayah mengatakan kepada kami, bahwa ia telah mendapat uang pensiun dari Universitas Islam Gaza tempat ia mengajar.

“Hari ini abi telah melunasi seluruh hutang-hutang abi, dan tinggal sisa uang untuk acara pernikahan Ahmad (yaitu saya). Abi harap bisa meninggalkan dunia ini tanpa meninggalkan urusan yang belum terselesaikan,” ujar Abdul Aziz. Ia hendak mencarikan jodoh saat itu juga, dan benarlah, hari itu juga ia memilih calon pengantin dan hari itu juga ayah mengirimkan saya ke rumah besan kami tepatnya setelah shalat Ahsar.

Ketika tiba waktu shalat Maghrib, setelah kami menunaikannya secara berjama’ah, ayah mulai bersiap-siap untuk berangkat dari rumah. Kondisi pada waktu itu hanya memungkinkannya untuk melakukan perjalanan ke luar rumah pada malam hari saja.

Tidak biasanya, pada malam hari itu ayah mengenakan baju terbaiknya sampai saudara perempuan saya mencandainya dengan mengatakan “Ayah benarbenar seperti seorang pengantin.” Kemudian beliau pun mendendangkan sebuah nasyid “an tudkhilani rabbi al jannah, haadza aqsa ma atamanna” (ku harap Rabbku memasukanku kedalam al Jannah, karena itulah harapanku yang paling utama) dan kalimat inilah yang terakhir kami dengar dari ayah.

Setelah itu aku dan ayah bergerak menuju mobil. Sesampainya kami di mobil kami temui beberapa murofiq di antaranya as Syahid Akram Nasshar dan as Syahid Ahmad al Gurrah.  Selanjutnya ayah naik mobil bersama mereka. Sementara saya kembali menuju rumah. Hanya dua menit kemudian terdengar suara dentuman bom. Saat itu saya yakin bahwa mobil yang terkena rudal adalah mobil yang ditumpangi ayah, karena suaranya sangat keras.

Saya berusaha untuk langsung menuju lokasi terjadinya insiden penyerangan tersebut, namun tidak bisa karena kondisinya sangat tidak memungkinkan. Sesampainya saya di rumah, terdengar kabar insiden penyerangan tersebut kepada kami melalui berita di tv. Saat itu, ibu sedang menunaikan shalat Isya dan berdo’a tiada henti sampai terdengarnya kabar syahidnya ayah itu.

Sesampainya berita syahidnya ayah, segera kami mulai mengucapkan selamat satu sama lain atas kabar syahidnya ayah, dan kami mulai menyambut para tetangga yang juga mengucapkan selamat kepada kami.

Itulah sekilas cerita asy Syahid Abdullah Ar-Rantisi dari anaknya. Sementara itu, seorang murid Abdul Aziz Ar-Rantisi yang bernama Abu Muhammad yang sudah lima tahun selalu menemani Abdul Aziz Ar-Rantisi menceritakan bagaimana sifat Abdul Aziz Rantisi. Berikut ceritanya.

“Satu hal lagi yang sangat penting dikemukakan oleh Abu Muhammad adalah, bahwa Shaikh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Ar-Rantisi adalah penentang keras masuknya Hamas ke dunia perpolitikan. Kerena, ketika masuk ke dunia tersebut maka sama saja kita berada di bawah cengkeraman musuhmusuh Allah. Yang mereka berdua fikirkan hanyalah Jihad fie Sabilillah mengusir penjajah Zionis Israel dan mengembalikan Masjid Al-Aqsha serta Palestina ke pangkuan muslimin”.

Di antara sifat yang terdapat pada Abdul Aziz Ar-Rantisi adalah ia sangat sabar. Ia menerima dengan ikhlas amanah yang dirasa sangat berat yaitu menggantikan posisi Asy Syahid Shaikh Ahmad Yasin. Shaikh Ahmad Yasin, seorang pemimpin kharismatik. Dengan posisinya memimpin Hamas, memimpin Qassam, memimpin semuanya, ia disegani semua orang baik kawan maupun lawan. Karena itu Rantisi merasa sangat tidak pantas untuk memimpin Hamas, namun dengan sifat tawadhunya, ia menyadari benar ini adalah sebuah amanah, sehingga  ia menerimanya dengan penuh kesabaran.

Pertama kali yang difikirkan oleh Rantisi adalah bagaimana membangun kembali Hamas setelah ditinggal pergi oleh Shaikh Yasin. Di sisi lain Rantisi harus mengoordinasikan pula pasukan Brigade Izzudin Al-Qassam yang sedang mempersiapkan pembalasan kepada Zionis Israel akibat membunuh Sheikh Ahmad Yasin.

Namun dengan mohon pertolongan Allah, ia melakukan segala persiapan, melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak internal Hamas sehingga membangkitkan dan menggelorakan kembali semangat untuk berjihad, serta tidak larut dalam kesedihan akibat meninggalnya Shaikh Ahmad Yasin. Hal inilah yang membuat Rantisi dipandang sangat berbahaya oleh Zionis Israel sehingga mereka dengan segala upayanya berusaha membunuh Rantisi.

Abu Muhammad menambahkan, Rantisi merupakan penyayang anak, sebagai dokter anak, ia sering sekali menolong dan mengobati anak-anak yang membutuhkan tanpa meminta bayaran. Selain itu, ia juga memiliki sifat “qanaah”. Sebagai seorang dokter anak dan petinggi Hamas,  juga dosen di Universitas Islam Gaza, tentu penghasilan yang ia dapat sangat besar.

Terlebih lagi dari praktek-praktek yang dilakukannya, namun ia tidak mau bermegah-megahan dan memiliki prinsip, “hidup adalah sebuah perjuangan, dan dalam sebuah perjuangan kita harus mengerahkan segenap potensi dalam diri kita, termasuk harta dan jiwa.” Untuk itulah hingga akhir hayatnya ia tidak memiliki rumah. Ia bersama keluarganya menetap di sebuah rumah sewaan di Sheikh Ridwan, antara Gaza dan Jabaliya.

Ada dua sifat yang sangat menjiwai setiap langkah Abdul Aziz Rantisi dalam mengambil tindakan, di antaranya adalah, ia sangat tegas terhadap haq (kebenaran), tidak ada kompromi, tidak segan-segan menegur seseorang jika orang tersebut berbuat kesalahan. Namun di sisi lain sebagai manusia biasa ia sangat penyayang dan memiliki sifat lemah lembut. Dua sifat inilah yang menyatu dalam jiwa Rantisi, sehingga ia sangat disegani oleh setiap orang disekitarnya. Dari berbagai sumber. (R02/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0