Oleh: Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
Seperti sektor atau bidang pekerjaan lainnya, bidang kemaritiman — antara lain pelabuhan, pelayaran, dan logistik — juga menjalankan kebijakan work from home (WFH) di tengah masih mewabahnya virus corona atau Covid-19 saat ini.
Sama seperti yang lainnya pula, tidak semua pekerjaan di bidang kemaritiman bisa dilakukan dari rumah. Ada beberapa pekerjaan yang masih harus dilakukan langsung di lapangan.
Penyandaran kapal dan bongkar-muat kargo adalah segelintir contoh dari pekerjaan itu, sebab memang tidak ada teknologi yang memungkinkan pelayanan penyandaran kapal dan bongkar-muat kargo dapat dilakukan dari rumah.
Baca Juga: Hadiri Indonesia-Brazil Business Forum, Prabowo Bahas Kerjasama Ekonomi
Tetapi, digitalisasi di bidang kemaritiman, termasuk di Tanah Air sudah relatif berjalan dengan baik, bahkan jauh sebelum wabah Covid-19 melanda. Urusan bayar-membayar dan permintaan pelayanan sandar kapal serta pemesanan peti kemas sudah bisa diajukan online oleh pelayaran.
Di Indonesia pelayanan kapal dalam jaringan (daring/online) dilakukan menggunakan platform “Inaportnet”. Dengan sistem ini operator pelabuhan yang mengaplikasikannya dapat mengintegrasikan pelayanan dermaga, alat bongkar-muat dan armada truk pengangkut secara lebih terukur bagi kapal yang akan sandar maupun yang akan berlayar kembali.
Bersama kembarannya, “Indonesia National Single Window” (INSW), pelayanan tadi dapat mengurangi tatap muka antara operator pelabuhan dan pengguna jasa, sehingga peluang main mata yang berujung gratifikasi/korupsi bisa ditutup rapat. Selain itu penggunaan kertas pun dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kaitan ini Indonesia agak sedikit terlambat bila dibandingkan dengan negara lain. Singapura misalnya, negara ini sudah lebih dari satu dekade menerapkan pelayanan kapal berbasis teknologi informasi (TI).
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah Efek Konflik di Timur Tengah
Saat ini Singapura tengah mempersiapkan sistem yang lebih maju yang memungkinkan interaksi para pihak — shipper, transporter, authorities — makin tokcer layaknya berbagai platform TI kekinian. Belakangan muncul “National Logistics Ecosystem” (NLE) dalam khazanah kemaritiman dan perlogistikan nasional.
Saya sempat mengikuti beberapa diskusi mengenai isu ini yang diadakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, jauh sebelum corona merajalela. NLE memang “mainannya” pemerintah.
Saya menangkap kesan bahwa ini adalah upaya untuk mengintegrasikan berbagai platform yang ada, baik milik pemerintah, BUMN ataupun swasta. Kendati demikian, penggabungan ini tidak meleburkan apa yang sudah ada. Tidak jelas sejauh mana perkembangan proyek ini sekarang.
Digitalisasi kemaritiman/perlogistikan nasional (INSW, Inaportnet, NLE) masih terhitung “balita” (bawah lima tahun) dan masih memiliki kekurangan di sana-sini.
Baca Juga: Komite Perlindungan Jurnalis Kutuk Israel atas Tebunuhnya Tiga Wartawan di Lebanon
Umpamanya, kendati sudah online, proses penyandaran kapal di sebuah pelabuhan yang sudah menerapkan Inaportnet tetap memerlukan tatap muka untuk membahas rencana kedatangan kapal dengan melibatkan syahbandar, karantina, dan sebagainya.
Sementara itu penerapan INSW masih dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak seluruh instansi pemerintah yang terkait dengan proses pengurusan dokumen barang terintegrasi di dalamnya.
Belum lagi praktik koruptif yang melibatkan regulator, pelabuhan/terminal dan pemilik barang yang masih berlangsung dalam proses pengurusan dokumen impor/ekspor.
Digitilisasi Maritim dan Covid-19
Baca Juga: OJK Dorong Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah untuk Santri di Kalteng
Pertanyaannya sekarang adalah, di masa wabah Covid-19 saat ini, bagaimanakah kinerja berbagai platform digital kemaritiman yang ada dan dioperasikan oleh seluruh stakeholder bidang ini? Meningkatkah? Biasa saja? Atau, menurun sama sekali.
Saya menelusuri berbagai situs berita kemaritiman di seluruh dunia untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi, dan tidak saya temukan. Kadung penasaran, saya menghubungi beberapa teman yang bergerak di sektor pelabuhan dan pelayaran.
Kontak dengan mereka ada yang dilakukan melalui Whatsapp atau telepon. Walaupun narasumbernya berasal dari teman sendiri, namun saya yakin jawaban yang mereka berikan bisa dijadikan acuan dan ditarik ke konteks yang lebih luas.
Teman-teman saya menyebutkan tidak terjadinya peningkatan trafik dari berbagai teknologi informasi atau aplikasi yang ada di bidang kemaritiman nasional (pemesanan peti kemas online, pemesanan truk online, dan lain-lain) dalam masa wabah corona ini.
Baca Juga: Wapres: Ekonomi Syariah Arus Baru Ketahanan Ekonomi Nasional
Malahan menurut mereka cenderung turun, seiring dengan melemahnya gerak pelayaran lokal maupun global. Pelayaran lesu darah karena perdagangan dunia “hidup segan, mati tak mau”.
Akibatnya, shipment banyak yang ditunda, bahkan dibatalkan, oleh pelayaran. Dalam istilah pelayaran, pembatalan pelayaran ini dinamakan ”blank sailing”.
Kalaupun ada yang naik, itu hanya ada pada konsumsi bandwidth karena tingginya konferensi video internal. Ini kata teman saya yang bekerja di perusahaan pelabuhan.
Lain lagi kata kawan yang bekerja di salah satu pelayaran penyeberangan. Teknologi informasi atau platform aplikasi belum sepenuhnya berjalan di perusahaannya.
Baca Juga: Ketum Muhammadiyah: Jadikan Indonesia Pusat Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah
Penerapan penjualan tiket online malahan baru akan diimplementasikan. Itupun setelah digeber oleh Kementerian Perhubungan, sementara pemakaian kuota/pulsa meningkat karena makin seringnya komunikasi dengan sejawat dan pimpinan untuk urusan kantor dari rumah.
Riset kecil-kecilan yang saya adakan dadakan itu menggambarkan bahwa geliat digitalisasi di ranah kemaritiman dan perlogistikan nasional berbeda-beda levelnya antara satu perusahaan atau sektor dengan perusahaan/sektor lainnya.
Lebih jauh, digitalisasi yang ada tidak atau belum mampu menawarkan dirinya sebagai new norm untuk industri terkait, meskipun sudah ada entry point-nya, yaitu merebaknya Covid-19.
Berharap bahwa penggunaan berbagai teknologi informasi dan aplikasi menjadi new norm di ranah kemaritiman jelas terlalu dini. Untuk saat ini paling banter mereka hanya sebatas sebagai auxiliary atau pelengkap saja bagi sektor-sektor yang ada.
Baca Juga: Soal Perdagangan Indonesia-Israel, Kemenlu: Melalui Negara Ketiga
Tetapi, melihat karakteristik dasar bisnis transportasi (pelayaran, pelabuhan, dan bidang-bidang terkait lainnya), peluang pemanfaatannya di masa depan pun sepertinya juga relatif kecil.
Jika bermimpi satu saat pemanfaatan TI dan berbagai aplikasi bisa membuat kita dapat memesan layanan kapal seperti memesan ojek online, atau mengirim makanan/produk lain semudah pengiriman dalam jaringan, sebaiknya kita segera bangun. Begitu lebar jurang pemisah di antara mereka. Tidak mungkin rasanya hal itu akan terjadi.
Sebagai alternatif, ada baiknya saat ini kita mulai mengintensifkan pemanfaatan green ocean dan smart ocean, sehingga ketika wabah corona berlalu, industri kemaritiman nasional bisa makin berkilau.
Itu artinya, jika mengoperasikan kapal, pelabuhan atau bisnis perikanan, sedapat mungkin digunakan listrik dari pembangkit yang digerakkan oleh energi terbarukan.
Baca Juga: Muhammadiyah Punya Komitmen Dukung Perbankan Syariah
Bagi operator pelabuhan, pemanfaatan dua konsep tersebut membantu upaya mereka menuju green port. Digitalisasi kemaritiman pada hakikatnya hanyalah satu elemen dari green ocean. Entahlah.(AK/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Wapres Harapkan Peran Otonomi Daerah Majukan Ekonomi Syariah