Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aktifis EcoNusa: Program Food Estate saat Pandemi Perlu Dikaji Lagi

Rana Setiawan - Kamis, 22 Juli 2021 - 22:37 WIB

Kamis, 22 Juli 2021 - 22:37 WIB

2 Views

Jakarta, MINA – Pegiat lingkungan dari EcoNusa dan Pantau Gambut menilai respon pemerintah untuk menghadapi ancaman krisis pangan saat pandemi melalui program food estate belum tepat karena program tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak serius pada lingkungan secara jangka panjang.

Dalam diskusi media yang digelar secara virtual, Kamis (22/7), keduanya mendukung lembaga negara Ombudsman untuk melakukan pengkajian lebih lanjut terhadap perencanaan dan pelaksanaan program food estate.

Data Kementerian Pertanian mencatat ketersediaan pangan masih aman, bahkan surplus 7,39 juta ton hingga akhir tahun 2020. Pada akhir Juni 2021, surplus beras sebanyak 10,28 juta ton. Pada akhir Desember 2021, perkiraan suplus beras adalah sebanyak 9,62 juta ton.

Merefleksikan data tersebut, Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas menegaskan bahwa tidak ada urgensi untuk program cetak sawah baru melalui food estate untuk merespon dampak pandemi.

Baca Juga: UAR Korwil NTT Ikuti Pelatihan Water Rescue

“Permasalahan akibat pandemi adalah berkurangnya akses pada pangan, sehingga rantai suplai menjadi terganggu dari sisi produsen, pemasukan, transportasi, pabrik pengolahan, pengiriman dan lainnya. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian, bukan pada persoalan penambahan produksi,” tuturnya.

Iola juga mengkhawatirkan adanya Permen LHK No.24 tahun 2020 yang muncul setelah kegiatan food estate di Kalimantan Tengan dan Sumatera Utara berjalan yang justru dapat mengancam lingkungan. Pada Pasal 19 Permen tersebut tertulis bahwa kawasan hutan lindung boleh dibuka untuk dijadikan kawasan food estate.

“Hal ini jelas bertentangan dengan UU No. 41 tahun 1999, Pasal 16 yang menyatakan pemanfaatan hutan lindung hanya sebatas pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Artinya penggunaan kawasan tidak boleh mengurangi fungsi utama kawasan itu sendiri,” tegas Iola.

Rencana pemerintah untuk membuka cetak sawah di lahan eks-PLG (Pengembangan Lahan Gambut) di Kalimantan Tengah, sangat perlu di kaji ulang.

Baca Juga: Cuaca Jakarta Diguyur Hujan Kamis Ini

“Hasil analisis Pantau Gambut menunjukkan bahwa area eks-PLG masih menjadi langganan kebakaran setiap tahunnya. Pada tahun 2019 saja, luasan areal terbakar di lahan eks-PLG mencapai 167 ribu hektar (ha) dan tentunya akan menimbulkan permasalahan baru,” ungkapnya.

Tidak adanya transparansi serta minimnya keterlibatan publik dalam program food estate, membuat dampak program ini terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya tidak dapat dipastikan.

“Sampai sekarang proyek food estate di Kalimantan Tengah belum mempunyai dokumen Grand Design, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mengawalnya. saya berharap Lembaga Ombudsman dapat mengkaji lebih dalam kebijakan food estate, terkait apakah ada manfaatnya pada ketahanan angan dan bagaimana dampaknya pada lingkungan dan sosial akibat alih fungsi hutan dan gambut,” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Bustar Maitar, pendiri dan CEO Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa Foundation), yang menyatakan ingin memastikan agar rencana pemerintah dalam engembangkan produksi pangan tidak perlu merusak ekosistem. “Inilah yang perlu kita kawal bersama,” katanya.

Baca Juga: Tim Gabungan Lanjutkan Pencarian Korban Longsor Jawa Tengah

Bustar mengungkapkan bahwa dalam catatan sejarah, food estate baik yang sudah dilakukan pemerintah sebelumnya, maupun pihak swasta, selalu berujung dengan kegagalan. Pada tahun 995, Presiden Soeharto mengembangkan lahan gambut seluas 1,45 juta hektar di Kalimantan Tengah, dimana kayu hutan habis namun tidak menghasilkan pangan.

Ia menambahkan, kegagalan juga terjadi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) dengan lahan seluas 1,9 juta hektar. Pada tahun 2008, proyek ini berubah nama menjadi The Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), dengan luas lahan 1.282.833 ha yang melibatkan 32 investor. Pada akhirnya proyek tersebut berujung pada perusakan ekosistem, tetapi tetap tidak menghasilkan pangan bagi masyarakat.

“Saat ini, di Papua sudah ada rencana penataan batas kawasan hutan yang akan dilepaskan untuk cetak sawah baru di Kabupaten Merauke, Mappi dan Boven Digul yang diimplementasikan pada tahun 2020 dan 2021 dengan luas lahan mencapai 2.038.951,09 ha,” ungkapnya.

Dengan pembukaan lahan jutaan hektar, maka akan terdapat banyak kayu bernilai jual tinggi yang ditebang. Bustar mempertanyakan transparansi kelanjutan penjualan dari kayu tersebut dan manfaatnya bagi masyarakat, serta dampaknya bagi konservasi hutan di Indonesia.

Baca Juga: BKSAP DPR Gelar Kegiatan Solidaritas Parlemen untuk Palestina

Menjawab kritik terhadap program food estate, Yeka Hendra Fatika, anggota Ombudsman Indonesia menyatakan, isu food estate ini ada dalam radar Ombudsman karena ini merupakan program strategis nasional yang memakan biaya APBN yang cukup besar dan melibatkan koordinasi antara lembaga pemerintah.

“Kami mengagendakan pengkajiannya di tahun 2022 mendatang,” ujarnya.

Sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi mengawasi dan mengevaluasi program-program yang didanai APBN, Yeka mengingatkan bahwa Ombudsman bekerja dengan prosedur tertentu, dimana laporan aduan dari publik perlu dipelajari lebih lanjut agar bisa menjadi dasar rekomendasi untuk melakukan kajian.

“Hasil laporan yang disusun oleh Pantau Gambut dan catatan dari EcoNusa dapat menjadi masukan laporan bagi Ombudsman untuk melegitimasi kajian food estate secara lebih kuat. Rencana kajian kami akan mencakup aspek regulasi, prosedur kerja, road map planning, dan hasil atau proyeksinya. Aspek dampak lingkungan yang disampaikan Pantau Gambut dan EcoNusa juga akan menjadi cacatan kami,” paparnya.

Baca Juga: Lomba Mewarnai dan Menggambar Al-Aqsa Meriahkan Festival Baitul Maqdis di Samarinda

Pada tahap ini Ombudsman sedang melakukan pencarian informasi terkait food estate ini dan sementara ini menyimpulkan empat hal terkait food estate yaitu pertama adanya potensi maladministrasi di sektor pertanian, pangan, kehutangan, perikanan dan kelautan, dan agraria menunjukkan trend yang semakin besar.

Kedua terdapat dugaan kuat adanya potensi maladministrasi dalam perencanaan dan pelaksanaan food estate, yang disebabkan bertentangan dengan UU No 41 Tahun 1999, UU No 18 Tahun 2012 terutama UU Kehutanan dan UU Pangan, dan Peraturan Presiden No 12 Tahun 2020.

Ketiga, food estate dalam jangka pendek tidak signifikan dalam meningkatkan penyediaan pangan nasional dan keempat rekam jejak food estate, rawan dengan berbagai penyalahgunaan.

Yeka juga menegaskan, Ombusdman akan berkolaborasi secara terbuka bersama rekanrekan LSM agar bisa mengawal program food estate ini lebih transparan.

Baca Juga: Kedatangan Ulama Asal Palestina Disambut Meriah Santri Al-Fatah Lampung

“Kami harap program food estate benar-benar bisa mencapai cita-citanya, yaitu untuk mengatasi ancaman krisis pangan saat pandemi, maupun sebagai strategi untuk mencapai ketahanan pangan nasional tanpa merusak lingkungan dalam jangka panjang,” pungkas Yeka.(R/R1/P2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Brebes Luncurkan Gerakan Kencana: Perkuat Kesiapsiagaan Bencana

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Pendidikan dan IPTEK
Indonesia
Indonesia