Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Allah melaknat orang yang memakan (pemakai) riba, orang yang memberi riba, dua orang saksi dan pencatat (dalam transaksi riba), mereka sama saja”. (HR. Muslim dan Ahmad)
Hadits yang mulia ini menjelaskan secara tegas tentang keharaman riba, bahaya yang ditimbulkan bagi pribadi dan masyarakat, serta ancaman bagi mereka yang berkecimpung dalam kubangan dosa riba, sebab Rasulullah Shallahu ‘Alahi Wasallam menyebutkan laknat bagi orang- orang yang bersyerikat di dalamnya.
Akibat dari dosa riba ini telah dirasakan oleh banyak kalangan baik muslim maupun non muslim, karena riba merupakan kezhaliman yang sangat jelas dan nyata. Sehingga wajar kalau Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallahu ‘Alahi Wasallam mengancam orang-orang yang telibat di dalamnya dengan berbagai ancaman.
Baca Juga: Salam Es Teh
Di antaranya adalah dengan azab yang pedih, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barang siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah: 275).
Allah Subhanahu Wata’ala juga menghilangkan keberkahan harta dari hasil riba dan pelakunya dicap melakukan tindakan kekufuran, sebagaimana firman-Nya, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah: 276)
Allah Subhanahu Wata’ala memerangi riba dan pelakunya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 279)
Selain ancaman dari Al-Qur’an di atas, Rasulullah Shallahu ‘Alahi Wasallam juga menjelaskan bahaya riba dan sekaligus mengancam pelakunya, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits Jabir di atas.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu
Rasulullah Shallahu ‘Alahi Wasallam juga bersabda, “Jauhilah tujuh dosa besar yang membawa kepada kehancuran,” lalu beliau sebutkan salah satunya adalah memakan riba.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits yang lain Nabi Shallahu ‘Alahi Wasallam mengancam pelaku riba dengan lebih tegas, beliau bersabda, “Dosa riba memiliki 72 pintu, dan yang paling ringan adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (Shahih, Silsilah Shahihah no.1871)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim dan dishahihkan oleh beliau sendiri, dijelaskan, “Bahwa satu dirham dari hasil riba jauh lebih besar dosanya daripada berzina 33 kali”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dengan sanad yang shahih dijelaskan, “Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari hasil riba dan dia paham bahwa itu adalah hasil riba maka lebih besar dosanya daripada berzina 36 kali”.
Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam
Bentuk Riba
Riba dibagi menjadi dua bentuk. Di antaranya yaitu; pertama, Riba Nasi`ah, yang berarti mengakhirkan masa pembayaran, ini terbagi menjadi dua; pertama; Seseorang atau perusahaan tertentu memberikan pinjaman kepada seorang nasabah dengan membayar bunga sekian persen dalam kurun waktu tertentu dan dibayar dalam bentuk angsuran. Misalnya; seorang nasabah meminjam uang ke salah satu bank sebanyak Rp.100 juta dengan bunga 10% dalam jangka waktu 10 bulan, maka setiap bulan pihak nasabah harus mencicil hutangnya Rp.11 juta, jadi selama 10 bulan itu dia harus membayar Rp.110 juta.
Kedua; Pihak nasabah membayar tambahan bunga baru dari bunga sebelumnya disebabkan karena tertundanya pembayaran pinjaman setelah jatuh tempo. Semakin lama tertunda pinjaman itu, maka semakin banyak tumpukan hutang yang harus ditanggung oleh pihak nasabah. Dalam kacamata Islam riba ini disebut riba jahiliyyah.
Misalnya si A meminjam uang ke bank B sebanyak Rp. 100 juta dengan bunga 10% dalam jangka waktu 10 bulan, setiap bulannya pihak peminjam harus mencicil Rp. 11 juta, maka selama 10 bulan itu dia paling tidak harus membayar Rp. 110 juta, jika dia tidak menunda pembayaran (ini sudah jelas riba).
Baca Juga: Tadabbur QS. Thaha ayat 14, Dirikan Shalat untuk Mengingat Allah
Tapi jika sudah jatuh tempo dan dia belum bisa melunasi hutangnya maka hutangnya berbunga 15% dan begitu seterusnya (dalam kondisi seperti ini telah terhimpun dua bentuk riba sekaligus yaitu riba nasi`ah dan riba fadhl), dan inilah yang berlaku di bank-bank konvesional yang disebut dengan istilah bunga.
Kedua, Riba Fadhl, yaitu jual beli dengan sistem barter pada barang yang sejenis tapi timbangannya berbeda, misalnya si A menjual 15 gram emas “perhiasan” kepada si B dengan 13 gram emas “batangan”, ini adalah riba karena jenis barangnya sama tapi timbangannya berbeda. Contoh kedua; menjual dengan sistim barter 1 lembar uang kertas senilai Rp.100.000,- dengan uang kertas pecahan seribu senilai Rp.95.000,- atau 110.000,-.
Bekerja di Tempat / Lembaga Riba
Syaikh Shalih al-Fauzan ketika ditanya tentang bekerja di perusahaan yang bertransaksi dengan riba berkata, “Bertransaksi dengan riba haram hukumnya bagi perusahaan, bank dan individu. Tidak boleh seorang muslim bekerja pada tempat yang bertransaksi dengan riba meskipun persentase transaksinya minim sekali sebab pegawai pada instansi dan tempat yang bertransaksi dengan riba berarti telah bekerja sama dengan mereka di atas perbuatan dosa dan melampaui batas.
Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina
Orang-orang yang bekerja sama dan pemakan riba, sama-sama tercakup dalam laknat yang disabdakan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alahi Wasallam, “Allah telah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, pencatatnya serta kedua saksinya”. (HR. Muslim). Beliau bersabda lagi, “Mereka itu semua sama saja.” (dalam andil menjalankan riba).
Jadi di sini, Allah melaknat orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, saksi dan pencatat karena mereka bekerja sama dengan pemakan riba itu. Karenanya wajib bagi anda untuk mencari pekerjaan yang jauh dari hal itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya), “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan menganugerahi nya rizki yang tidak dia sangka-sangka”. (QS.ath-Thalaq: 2).
Dan sabda Nabi Shallahu ‘Alahi Wasallam, “Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah Ta’ala maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya”. (HR. Ahmad). (Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, Jld.IV, Hal. 142-143, No. 148).
Dampak Negatif Riba Bagi Pribadi dan Masyarakat
Baca Juga: Lisanmu Adalah Cerminan Iman, Jangan Biarkan Kata-Kata Melukai..!
Pertama, sebagai bentuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, Rasulullah Shallahu ‘Alahi Wasallam bersabda, “Setiap umatku dijamin masuk surga kecuali yang enggan”. Para shahabat bertanya, “Siapa yang enggan masuk surga wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Barangsiapa yang ta’at kepadaku pasti masuk surga dan barangsiapa yang berbuat maksiat (tidak ta’at) kepadaku itulah orang yang enggan (masuk surga)”. (HR.al-Bukhari)
Kedua, ibadah haji, shadaqah dan infak dalam bentuk apapun tidak diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kalau berasal dari hasil riba, Rasulullah Shallahu ‘Alahi Wasallam bersabda dalam hadits yang shahih, “Sesunguhnya Allah itu baik dan Dia tidak menerima kecuali dari hasil yang baik”.
Ketiga, Allah Subhanahu Wata’ala tidak mengabulkan doa orang yang memakan riba, Rasulullah Shallahu ‘Alahi Wasallam bersabda, “Ada seorang yang menengadahkan tangannya ke langit berdo’a, “Ya Rabbi, Ya Rabbi, sementara makanannya haram, pakaiannya haram, dan daging yang tumbuh dari hasil yang haram, maka bagaimana mungkin do’anya dikabulkan.” (HR.Muslim)
Keempat, hilangnya keberkahan umur dan membuat pelakunya melarat, Rasulullah Shallahu ‘Alahi Wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang memperbanyak harta kekayaan dari hasil riba, melainkan berakibat pada kebangkrutan dan melarat.” (HR.Ibnu Majah).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa
Kelima, sistem riba menjadi sebab utama kebangkrutan negara dan bangsa. Realita menjadi saksi bahwa negara kita ini mengalami krisis ekonomi dan keamanannya tidak stabil karena menerapkan sistim riba, karena para petualang riba memindahkan simpanan kekayaan mereka ke negara-negara yang memiliki ekonomi kuat untuk memperoleh bunga ribawi tanpa memikirkan maslahat di dalam negeri sendiri, sehingga negara ini bangkrut.
Keenam, pengembangan keuangan dan ekonomi dengan sistem riba merupakan penjajahan ekonomi secara sistimatis dan terselubung oleh negara-negara pemilik modal, dengan cara pemberian pinjaman lunak. Dan karena merasa berjasa menolong negara-negara berkembang, maka dengan kebijakan-kebijakan tertentu mereka mendikte negara yang dibantu tersebut atau mereka akan mencabut bantuannya.
Ketujuh, memakan riba menjadi sebab utama su`ul khatimah, karena riba merupakan bentuk kezhaliman yang menyengsarakan orang lain, dengan cara menghisap “darah dan keringat” pihak peminjam, itulah yang disebut rentenir atau lintah darat.
Kedelapan, pemakan riba akan bangkit di hari Kiamat kelak seperti orang gila dan kesurupan. Ayat yang menyebut kan tentang hal ini, menurut Syaikh Muhammad al-Utsaimin memiliki dua pengertian, yakni di dunia dan di hari Kiamat kelak.
Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi
Beliau menjelaskan bahwa jika ayat itu mengandung dua makna, maka dapat diartikan dengan keduanya secara bersamaan. Yakni mereka di dunia seperti orang gila dan kesurupan serta bertingkah layaknya orang kerasukan setan (tidak peduli, nekat dan ngawur, red). Demikian pula nanti di akhirat mereka bangun dari kubur juga dalam keadaan seperti itu.
Sedangkan mengenai ayat, ”Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah,” maka beliau mengatakan kehancuran materi (hakiki) dan maknawi. Kehancuran materi seperti tertimpa bencana dalam hartanya sehingga habis, misalya sakit yang parah dan mengharuskan berobat ke sana-sini, atau keluarganya yang sakit, kecurian (dirampok), terbakar dan lain-lain, ini merupakan hukuman dunia. Atau binasa secara maknawi, dalam arti dia memiliki harta yang bertumpuk-tumpuk tetapi seperti orang fakir karena hartanya tidak memberi manfaat apa-apa.
Apakah orang seperti ini kita katakan memiliki harta? Tentu tidak, bahkan ia lebih buruk daripada orang fakir, sebab harta bertumpuk-tumpuk yang ada di sisinya, dia simpan untuk ahli warisnya saja. Sementara dia tidak dapat mengambil manfaat darinya sedikit pun. Inilah kebinasaan harta riba secara maknawi.
Jadi saudaraku, segeralah kita bertaubat dari memakan riba walaupun hanya sedikit. Sebab, tentu kita tidak mau disebut sebagai pezina apalagi menzinahi ibu kandung kita. Kita tentu sangat takut jika dihidupkan kembali seperti orang gila, wallahu a’lam bish shawab.(R02/P2)
Baca Juga: Sujud dan Mendekatlah
Sumber: Syarah Riyadhus Shalihin jilid 2, Syaikh Muhammad al-Utsaimin.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-17] Berbuat Baik pada Segala Sesuatu