Bank Qatar Pentingkan Fintech Islam

Doha, MINA – Qatar Central Bank (QCB) sangat mementingkan teknologi keuangan Islam () sebagai alat yang sangat penting untuk memenuhi pembangunan

Fintech sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan jangka panjang, diversifikasi ekonomi dan inklusi keuangan,” kata Gubernur Bank QCB Sheikh Abdullah bin Saoud Al Thani, Senin (4/11). MENAFN melaporkan.

Dalam pidato utama pada partemuan CEO ke-5 Pemimpin Keuangan Islam di Universitas Hamad Bin Khalifa (HBKU), Gubernur QCB menambahkan bahwa pembiayaan Islam adalah sistem yang paling tepat digunakan untuk memenuhi persyaratan ekonomi dan keuangan di pasar Islam, dan untuk menyediakan pembiayaan sosial bagi ekonomi lemah.

Sheikh Abdullah bin Saoud Al Thani yang merupakan salah satu gubernur bank sentral terbaik di dunia untuk 2019, menekankan Rencana Strategis Pertama dan Kedua Qatar untuk Regulasi Sektor Keuangan.

Dia mengatakan, strategi yang diluncurkan pada 2013 dan 2017, menciptakan kerangka kerja peraturan yang mendorong pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan, mempromosikan inovasi dan teknologi keuangan, keamanan siber yang kompetitif dan kredibel, serta terus memelihara dan mengembangkan sumber daya manusia berbasis pengetahuan.

“Keamanan siber merupakan prioritas di QCB,” lanjutnya.

Dia juga menyoroti perkembangan keamanan siber secara global, setelah menduduki peringkat ketiga di dunia Arab dan ke-17 secara global pada Global Cybersecurity Index pada 2018.

QCB baru-baru ini mengumumkan rencananya untuk membangun kerangka kerja peraturan Syariah yang terpusat untuk sektor perbankan Islam Qatar, sejalan dengan praktik global terbaik.

Bank sentral negara itu juga akan memperkenalkan strategi teknologi keuangan, yang bertujuan untuk mengembangkan, berkolaborasi, dan menghubungkan bank-bank lokal dengan ekosistem keuangan negara tersebut sejalan dengan Qatar National Vision 2030.

Dalam sambutannya, Dr Syed Nazim Ali, Direktur Divisi Penelitian & Pusat Ekonomi dan Keuangan Islam di Sekolah Tinggi Studi Islam HBKU, mengatakan bahwa beberapa juta dolar dana sudah mulai mengalir ke negara-negara berkembang, khususnya anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

“Negara-negara itu sedang dalam proses membangun kembali ekonomi mereka setelah periode perang, konflik dan pengabaian yang panjang dan berkelanjutan,” ujarnya.

Kurangnya implementasi strategi yang tepat, struktur dan alat keuangan untuk mengatasi kebutuhan warga yang tidak optimal dan penyebaran dan pencairan dana yang tidak efektif, bisanya menjadi masalah perbankan Islam, tambahnya.

“Mengatasi masalah pembangunan ekonomi yang terpuruk adalah masalah multidimensi, perlu pendekatan kolaboratif. Kita hidup di zaman yang menyaksikan evolusi tiba-tiba dari sisi model, teknologi, dan teknik inovasi,” lanjutnya.

Cara lama pembiayaan sosial digantikan oleh model hemat biaya yang menjanjikan jangkauan lebih luas dan transparansi online, telah secara signifikan mengubah lanskap pembiayaan sosial, lanjut Nazim Ali.

Prof Abdulfatah Mohamed, guru besar di HBKU, menambahkan bahwa ada inefisiensi dalam dana yang disediakan dengan defisit tahunan sekitar 40 hingga 50 persen dari apa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan 131 juta orang.

“Faktor-faktor utama adalah karena korupsi politik dan kurangnya kapasitas yang dapat menghambat alokasi dana yang efisien,” ujarnya.

“Sekarang adalah waktu bagi komunitas keuangan Islam dan komunitas akademisi untuk membawa solusi inovatif untuk mengejar Tujuan Pembangunan Milenium dan untuk membantu ekonomi yang tertinggal,” tambahnya. (T/RS2/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.