Belanda Minta Maaf Lagi atas Kejahatan Perang di Indonesia

Sumber Foto: Detik

Amsterdam, MINA – Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyatakan permintaan maaf mendalam kepada masyarakat Indonesia soal kekerasan yang ekstrem dan sistematis saat perang Kemerdekaan Indonesia pada 1945-1950.

“Saya menyampaikan permintaan maaf yang mendalam kepada masyarakat Indonesia hari ini untuk kekerasan ekstrem yang sistemik dan tersebar luas oleh pihak Belanda di tahun-tahun itu, dan kabinet sebelum-sebelumnya yang secara konsisten memalingkan muka,” kata Rutte seperti dikutip dari BBC, Jumat (18/2).

Pernyataan Rutte tersebut muncul menanggapi hasil penelitian tiga lembaga penelitian berjudul “Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950” yang menyebutkan ada pembiaran terjadinya kekerasan ekstrem.

Dalam kesimpulannya, penelitian tersebut menemukan, militer Belanda terlibat dalam “penggunaan kekerasan ekstrem yang sistemik dan meluas” selama 1945-1949, dan pemerintah Belanda pada saat itu melakukan pembiaran.

Pada bagian lain kesimpulannya, tim peneliti juga menemukan saat pihak Indonesia melawan kehadiran kembali Belanda melalui peperangan gerilya, pasukannya – sepertinya halnya tentara Belanda – “akhirnya akrab dengan kekerasan ekstrem”.

Rutte juga menyatakan permintaan maaf kepada orang-orang di Belanda yang terdampak kekerasan ekstrem yang terjadi di masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

“Saya minta maaf kepada mereka yang harus hidup dengan konsekuensi dari perang kolonial di Indonesia,” kata Rutte.

Sebelumnya, permintaan maaf juga pernah disampaikan oleh Raja Willem-Alexander saat kunjungannya ke Jakarta pada 2020.

Saat itu, Raja Willem-Alexander meminta maaf atas “kekerasan berlebihan” yang terjadi di masa revolusi (1946-1949), namun tetap mempertahankan sikap resmi Pemerintah Belanda pada 1969.

Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid mengatakan, kesimpulan penelitian tersebut dari sisi tertentu merupakan “langkah maju”.

“Ini basis bagi diskusi yang berbasis informasi, tidak emosional, seperti saling menolak klaim tertentu. Tapi ini ada data. Jadi ini pijakan kita untuk membuat penilaian akademik atau moral politik,” kata Hilmar.

“Ini penting bagi kita untuk melangkah maju [dalam hubungan ],” tambahnya. (T/RE1/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: sajadi

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.