Berinovasi di Bawah Blokade, Wanita Gaza Ahli Teknologi Pangan Ciptakan Gula Alternatif

Gaza, MINA – Terlepas dari blokade berkelanjutan yang diberlakukan Israel di Jalur Gaza, wanita ahli tekonologi pangan Palestina berinovasi membuat alternatif gula tradisional untuk penderita diabetes dan orang-orang yang tidak ingin mengkonsumsi gula, menggunakan ramuan tropis .

Ramuan itu ditanam di rumah kaca di dalam sebuah rumah di kota Rafah, di Jalur Gaza selatan.

Tiga , Saada Al-Majdalawi, Asala Abu Shinar dan Sahar Abu, bekerja selama beberapa bulan di tahap produksi pemanis alternatif.

Dimulai dengan menanam ramuan di dalam rumah kaca kecil untuk menyediakan sumber produk alami, melewati melalui proses pengeringan, dan beralih ke proses ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan perangkat yang mereka produksi secara lokal, sebelum mengemas produk untuk dijual di pasar.

Pemimpin proyek, Asala Abu Shinar, 25 tahun, dari Khan Yunis, bekerja sebagai spesialis teknologi pangan. Dia lulus dari University College of Science and Technology di kegubernuran.

Selama penelitian pascasarjananya, Abu Shinar bekerja dengan sejumlah mahasiswi yang fokus pada tanaman stevia, di bawah bimbingan gurunya, Saada Al-Majdalawi, 36 tahun, yang menjadi mitranya dalam proyek ini dan menerapkannya di rumahnya di kota Rafah.

Al-Majdalawi mengatakan dia memperoleh pengalaman luas di bidang kultur jaringan tanaman, dari pekerjaannya di Kementerian Pertanian di Gaza selama bertahun-tahun.

“Stevia adalah tanaman herba abadi yang bisa berumur lima tahun dan daunnya dipetik tiga kali dalam setahun,” jelas Abu Shinar.

Tanaman stevia ditanam di tanah liat berpasir di rumah kaca, yang dapat mencapai suhu tinggi 35 derajat Celcius. Untuk pertumbuhan optimal tanaman juga membutuhkan sekitar 16 jam paparan sinar matahari dan air tawar.

Menurut Abu Shinar, pada daunnya terdapat senyawa non-gula, yang dapat dikeringkan di dalam rumah kaca selama 3 hari, kemudian digiling dalam blender untuk memulai proses ekstraksi melalui perangkat Soxhlet kaca, menggunakan teknologi penguapan air.

Kemudian ekstrak dipindahkan untuk mensterilkan dari mikroba apa pun, dan ditempatkan dalam rotary evaporator untuk memisahkan air dari zat, selama 90 menit, pada suhu 60 derajat Celcius.

Abu Shinar menjelaskan bahwa dua tetes produk akhir “setara dengan satu sendok teh gula alami.”

Abu Shinar mengatakan manfaat ekstrak ini memperkuat sistem kekebalan dalam tubuh, terutama untuk pasien kanker, diabetes dan obesitas; itu adalah ekstrak preventif dan bukan kuratif.

Kegunaannya banyak, tidak hanya untuk minuman, tetapi dapat digunakan untuk makanan dan segala jenis makanan penutup. Tim memperoleh izin resmi pemerintah untuk beroperasi, dan mereka memproduksi 1.000 botol per bulan.

Berbicara tentang kesulitan dan tantangan yang dihadapi pekerjaan tim, Abu Shinar mencatat bahwa pekerjaan itu tidak mudah mengingat kurangnya banyak bahan dan peralatan, dan larangan mengimpornya melalui penyeberangan yang dikendalikan Israel.

Dia lebih lanjut menambahkan salah satu kesulitan yang paling menonjol adalah jam panjang listrik yang terputus dan pemadaman listrik saat bekerja, yang mempengaruhi proses ekstraksi.

“Selain itu, kami kekurangan beberapa wadah yang diperlukan, memiliki ruang pertanian yang terbatas, dan beberapa bahan kimia tidak tersedia,” tambahnya.

“Kami akan terus memikirkan dan menemukan metode baru untuk menantang pendudukan dan pengepungannya, serta penderitaannya, karena kami layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan damai,” pungkasnya. (T/R7/P1)

Sumber: Wafa Aludaini Jurnalis dan Aktivis Gaza. Dia menulis laporan ini ke Pusat Informasi Palestina.

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.