Bung Karno dan Pancasila: Ingat 1 Juni, Juga 22 Juni

Oleh

Alkisah, pada 1 Juni 1945, untuk pertama kalinya, istilah “Pancasila” disebutkan oleh Bung Karno dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pada hari itu, di forum BPUPK, Bung Karno mengusulkan rumusan dasar Negara Negara, yang terdiri atas lima sila: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.

Jadi, benar! Untuk pertama kalinya istilah Pancasila diangkat oleh Bung Karno pada 1 Juni. Tapi, faktanya, tiga hari sebelum pidato Bung Karno itu, yakni pada 29 Mei 1945, anggota BPUPK lainnya, Mr. Muhammad Yamin, sudah menyampaikan pidatonya yang juga memuat “lima asas” dasar bagi Indonesia merdeka, yaitu (1) peri kebangsaan (2) peri kemanusiaan (3) peri-Ketuhanan (4) peri kerakyatan dan (5) kesejahteraan rakyat.

Tidak ada perbedaan fundamental antara rumusan “lima asas” Yamin dengan “lima dasar” Soekarno. Panjang naskah pidatonya pun sama, yaitu 20 halaman. Lihat buku karya B.J. Boland berjudul: The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971).

Dalam buku Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila (Inti Idayu Press, 1984) disebutkan, bahwa Soekarno pada tahun 1966 mengakui, kata “sila” adalah sumbangan Yamin, sedangkan kata “Panca” berasal dari dirinya. (Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: GIP, 1997), hlm. 18-19). Juga, Restu Gunawan, Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hlm. 48-50).

Jadi, 1 Juni 1945 adalah pidato awal Bung Karno tentang Pancasila. Tetapi, gagasan Bung Karno tentang Pancasila tidak berhenti sampai di situ. Bisa dikatakan, pada 1 Juni 1945, Pancasila belum lahir. Ibarat bayi, 1 Juni itu baru proses kehamilan. Belum lahiran.
Lahirnya Pancasila lebih tepat terjadi pada tanggal 22 Juni 1945, yaitu lahirnya Piagam Jakarta. Tokoh dan aktor utama dari Piagam Jakarta ini juga Bung Karno. Panitia Sembilan adalah inisiatif pribadi Bung Karno, yang akhirnya menghasilkan rumusan hebat, bernama Piagam Jakarta.

Bung Karno sangat konsisten untuk mempertahankan Piagam Jakarta. Pada tanggal 22 Juni 1965, Bung Karno masih menghadiri peringatan Hari Lahir Piagam Jakarta. Ketika itu Bung Karno menegaskan: “Nah, Jakarta Charter ini saudara-saudara, sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut… Itu menunjukkan bahwa sebagai tadi dikatakan Pak Roeslan Abdulgani, Jakarta Charter itu adalah untuk mempersatukan Rakyat Indonesia yang terutama sekali dari Sabang sampai Merauke, ya yang beragama Islam, yang beragama Kristen, yang beragama Budha, pendek kata seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipersatukan!”

Pada 18 Agustus 1945, terjadi perubahan terhadap Pancasila, setelah beberapa pihak meminta perubahan pada Piagam Jakarta. Tidak keliru juga jika ada yang mengatakan, bahwa Hari Lahir Pancasila lebih tepat pada 18 Agustus 1945. Sebab, 18 Agustus merupakan kesepakatan berbagai pihak. Jadi, Pancasila bukan lagi dianggap karya satu orang saja.

Dan memang, Pancasila saat ini sebenarnya bukanlah rumusan seorang Bung Karno sendirian. Pancasila saat ini adalah hasil kesepakatan tokoh-tokoh bangsa yang memiliki berbagai aspirasi ideologis, termasuk para tokoh Islam yang tergabung dalam Panitia Sembilan di BPUPK, yaitu KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Abdul Kahar Muzakkir.

Tokoh Masyumi, Mr. Mohamad Roem pernah mengingatkan kekeliruan pengkultusan seseorang dalam soal perumusan dan pemaknaan Pancasila. Di masa Orde Lama (1959-1965), pemikiran Soekarno banyak dijadikan sebagai tafsir baku terhadap Pancasila. Soekarno ditempatkan sebagai penafsir tunggal atas Pancasila. Padahal, menurut Mr. Mohamad Roem, Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, bukan lagi merupakan pikiran Soekarno semata. Ia telah merupakan buah pemikiran para anggota BPUPK, khususnya yang tergabung dalam Panitia Kecil (Panitia Sembilan). (Dikutip dari makalah Mohamad Roem, Lahirnya Pancasila, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).

Tentu saja, ada perbedaan mendasar antara rumusan Pancasila versi 1 Juni 1945 dengan
Pancasila rumusan resmi saat ini. Ambil contoh rumusan sila kedua. Rumusan Bung Karno (Internasionalisme atau Perikemanusiaan) maupun Yamin (perikemanusiaan), sangat berbeda dengan rumusan resmi: Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Rumusan resmi itu membuktikan, bahwa Pancasila tidaklah berasal dari zaman pra-Islam. Sebab, istilah “adil” dan “adab” baru dikenal oleh seluruh manusia di wilayah Indonesia dan Nusantara, setelah kedatangan Islam. Kata “adil” dan “adab” termasuk sebagian dari istilah-istilah pokok dalam Islam yang dipahami secara universal oleh kaum Muslimin di mana pun (Islamic basic vocabularies). Sama dengan istilah “hikmah” dan “musyawarah”.

Jika belum yakin dengan paparan ini – dan anda masih percaya bahwa Pancasila adalah produk asli bumi Indonesia dari zaman pra-Islam — silakan mencoba menerjemahkan seluruh sila Pancasila ke dalam bahasa Jawa dan bahasa daerah lainnya!

Jadi, soal kemanusiaan, misalnya, sudah mengalami perubahan mendasar, dengan penambahan kata “adil” dan “beradab”. Dalam Islam, adab merupakan konsep pokok yang menentukan jatuh bangunnya suatu masyarakat. Jika mau masuk sorga sekeluarga, kata Ali bin Abi Thalib r.a. : “Jadikanlah mereka manusia beradab dan berilmu!”

Tambahan kata hikmah, musyawarah, dan perwakilan dalam sila keempat mencerminkan pandangan alam Islam yang sangat dominan. Jadi, ketika menyebut Pancasila, jangan lupakan Bung Karno. Tapi, ingat jangan berhenti pada pidato Bung Karno di BPUPK pada 1 Juni 1945 saja.

Sebab, setelah 1 Juni 1945 itu, demi persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia, Bung Karno mengambil langkah-langkah bijak dan strategis untuk mengajak dialog dan mencari titik temu dengan berbagai tokoh yang mempunyai aspirasi atau corak ideologis yang berbeda.

Lihatlah nama-nama yang dipilih Bung Karno untuk duduk dalam Panitia Sembilan – perumus Piagam Jakarta. Ada Bung Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, KH Abdulkahar Muzakkir, Mr. AA Maramis, dan Bung Karno sendiri, sebagai Ketua. Hasilnya, pada 22 Juni 1945, lahirlah Piagam Jakarta!

Karena itulah, dalam Dekrit 5 Juli 1959, Bung Karno mengembalikan Piagam Jakarta. Bahkan, pada 22 Juni 1965, Bung Karno tetap menyatakan: “Jakarta Charter itu adalah untuk mempersatukan Rakyat Indonesia.”

Jadi, pada 1 Juni 1945, kita ingat pidato penting Bung Karno tentang Pancasila. Tapi, pada 22 Juni 1945, rumusan Pancasila secara resmi dihasilkan oleh Panitia Sembilan yang dibentuk dan dipimpin oleh Bung Karno sendiri!

Maka, silakan renungkan, jika kita ingin Indonesia bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sebagaimana dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945, kita harus berani menerima perbedaan dan berani pula berdialog untuk mencari titik temu demi persatuan dan kejayaan bangsa Indonesia. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, menolong negeri kita! Amin. (Depok, 31 Mei 2021). (A/R4/RS3)

(Sumber: www.adianhusaini.id)

 

Mi’raj News Agency (MINA)