Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Cerita Perjuangan dr. Arief Rachman Jalankan “Mission Impossible” Pembangunan RS Indonesia di Gaza (Bagian 2)

sri astuti - Sabtu, 25 Desember 2021 - 14:09 WIB

Sabtu, 25 Desember 2021 - 14:09 WIB

10 Views

MINA: Di tengah blokade Gaza, tentu banyak halangan dalam proses pembangunan RS Indonesia ini Dok, apa saja kendala yang dihadapi ?

dr.Arief: Kendala paling besar tentu perbatasan, karena barang semua ada di luar. Bisnis jalan dalam artian ketika kami minta barangnya, suplayer mengiyakan untuk menyediakan, kita bayar tapi ketika barang datang mau masuk ke Gaza, masuk tidaknya ditentukan oleh Israel. Jadi Israel bilang masuk, ya masuk, tapi Israel bilang tidak bisa ya tidak bisa masuk.

Dua hal ekstrime terjadi sebagai contoh. Kebetulan karena saya Dokter Radiologi, saya beli alat radiologi ct scan dan x-ray langsung dari Jerman, itu saya belum belanja baru minta price list, saya sudah dapat telpon dari suplayer, saya bilang “kamu dapet nomer telpon saya dari siapa?” dia bilang “dari agen kami di Gaza.”

Saya bilang “tidak usah ngomong ketinggian, saya ini dokter radiologi jadi kalau kamu ngomong ketinggian kamu saya coret dari daftar. Buat saya berapa pun harganya tidak masalah tapi harus sudah terhitung harga masuk ke Gaza.” Sampai satu titik kami sudah memilih satu merek dari Jerman. Pertimbangannya adalah kalau di Indonesia mungkin merek Eropa dengan China bersaing ya, tapi kalau di Gaza antara China dengan Eropa deketan Eropa, kalau ada apa-apa banyakan dari Eropa suku cadangnya.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El-Awaisi (3): Kita Butuh Persatuan untuk Bebaskan Baitul Maqdis

Kemudian ini sudah deal, barang sudah dikirim oleh pabrikan sampai ke perbatasan, tapi kemudian stuck tidak bisa lewat, Sabtu-Ahad saya tanya barang sudah sampai mana, ternyata diperbatasan tidak bisa lewat. “Saya hanya mengingatkan ya Anda patuh pada kontrak bahwa di dalam setiap keterlambatan itu akan kena pinalti,” kata saya. Jadi tiga hari kemudian barang bisa masuk. saya tanya bagaimana prosesnya kok bisa cepat sedangkan yang lain tidak, mereka jawab karena pengirimnya langsung datang ke Israel. Orang Jermannya langsung datang ke Israel minta bahwa alat ini harus masuk.

Saya senang, tapi yang keluar dari mulut saya urusan kamu itu kalau gak mau kena pinalti ya harus begitu. tapi itu tidak terjadi pada ala- alat lain. Ketika semisalnya stuck ya mereka tunggu sampai boleh, gak ada tuh perwakilan yang datang maksa datang gitu gak ada, bahkan untuk kasus ambulance yang kami beli dari Abu Dhabi dibawa ke Rafah itu ketahan sampai setahun lebih, tidak diizinkan masuk ke Gaza. Saya bilang ke suplayernya, “Ini harga ambulance sama dengan harga pinalti kamu loh, saya tarik pinalti kamu, kamu bisa datengin ambulace baru lagi buat saya,” meski pada kenyataanya kami tidak pernah menarik full pinalti-pinalti yang kami kenakan sesuai kontrak.

Biasanya saya buatkan voucher belanja untuk warga, saya taruh di toko. Voucher ini dibagi kepada penerima nanti mereka bayar ke toko itu. Jadi pinalti itu tidak kami ambil, kami kembalikan pada masyarakat sekitar, karena pembayaran kan sama kami beli 1.000 walaupun terlambat bayar 1.000 juga. Pinalti misalnya sekitar 300 dolaran ini tidak kami ambil, karena kalau kami ambil bikin pusing pembukuanya, itu aja sih.

Hikmahnya adalah kadang-kadang berbisnis dengan sesama muslim malah bikin sakit kepala, berbisnis dengan yang di luar muslim, dedikasinya lebih kelihatan dan buat Gaza yang merupakan wilayah konflik, di luar dugaan harganya lebih murah.  Barang ada, asal duit ada. Jadi seolah-olah di Gaza itu, bicara dengan Zionis adalah bicara soal uang, ketika bicara soal uang semuanya akan nyambung, tapi kalau bicara di luar uang apalagi perdamaian gak akan nyambung, kalau bicara tentang uang gak ada musuh, uang itu saudara.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis

MINA: Itu tantangan untuk pengadaan bahan material bangunan sendiri bagaimana Dok?

dr. Arief: Material banyak. Kalau soal itu yang jago Pak Ir. Edy Wahyudi (Site Manager Pembangunan RS Indonesia di Gaza), dia bisa menemukan di mana ada bahan material yang ngumpet. Di satu waktu semen itu krisis di Gaza harga naik dua kali lipat, Pak Edy bisa menemukan ada yang menumpuk semen. Jadi kita cuma bayar gak naympe dua kalinya, kalau misalkan harganya perton 100 jadi gak bayar 200 cuma 110 atau 115, paling jago Pak Edy untuk masalah itu.

Saya betul-betul angkat topi dengan temen-temen insinyur di sana ya. Mereka tidak hanya bertugas sebagai supervisor tapi juga mengerjakan beyond itu, ya kalau saya mau gampang ketika saya dapat pekerjaan tugasnya supervisi ya udah, supervisi saja yang dikerjakan, kalau masalah stok gak ada bukan urusan saya, tapi teman-teman di sana tidak. Ketika misalnya besi gak ada ya cari lagi ke sana ke mari, semen gak ada cari lagi, kerikil gak ada kita cari lagi.

RS ini kalau dihitung-hitung pembangunannya on schedule. Jangan dibandingkan dengan di negara normal, bikin dua  lantai di daerah normal enam bulan kelamaan tapi ini negara perang, yang kalau ada bom segala macem itu pasti libur, tukang gak mau kerja, tapi karena ini dikerjakan oleh tenaga-tenaga dari Indonesia, ada perang ya selama situasi memungkinkan tetap kerja, musim panas kerja, musim dingin kerja. Makanya orang Gaza lihatnya kita itu kaya orang gila, gak kenal musim kerjanya.

Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina

MINA: Untuk tenaga kesehatan sendiri Dok apakah yang ada saat ini sudah bisa memenuhi kebutuhan yang ada?

dr. Arief: Kenapa kita kemudian pilih membangun rumah sakit ya karena kita melihat dari seluruh komponen yang ada, yang kurang adalah bangunan rumah sakit. Tenaga medisnya banyak, karena mereka punya fakultas kedokteran. Jadi produsen tenaga medisnya ada bahkan yang sudah bekerja di rumah sakit itu menumpuk. Sesuatu yang aneh kalau kemudian antara jumlah ruangan, jumlah pasien yang banyak jumlahnya dengan  tenaga medisnya. Maka kemudian ketika ada rumah sakit baru, rumah sakit ini menerima SDM-SDM dari rumah sakit pemerintah sekitar.

Di Gaza utara saat itu hanya ada satu rumah sakit milik pemerintah, RSUD lah kita menyebutnya. Itu kapasitasnya cuma 75 bed jadi ketika kemudian Rumah Sakit Indonesia ini berdiri, rumah sakit sebelumnya berubah jadi RS Ibu dan Anak, jadi rumah sakit umumnya pindah. Tadinya kan Rumah Sakit traumatolologi sudah kita serahterimakan, tapi dari Kementrian Kesehatan bilang butuhnya rumah sakit umum. Tentu sebagai donatur kita paham kebutuhan di sini, terserah saja, tapi jangan sampai kemudian traumatologinya hilang.

Karena jadi rumah sakit umum kemudian kapasitasnya kita menyebutnya under performance. Rumah Sakit ini punya empat kamar bedah yang dipakai cuma dua, kenapa tidak dipakai semuanya? Karena ruangannya penuh dipakai untuk perawatan pasien-pasien non-trauma mislanya hipertensi, gula, gagal ginjal, masuk semuanya di sini, mengambil separuh kapasitas. Jadi kapasitas buat traumatologi berkurang. Diharapkan ketika kita nambah lagi dua lantai, nambah bednya lagi, maka kemudian kapasitas ini bisa terbuka semua. (W/R7/P2)

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (1): Peran Strategis Indonesia dalam Pembebasan Baitul Maqdis

bersambung ke bag 3

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Palestina