Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (1): Peran Strategis Indonesia dalam Pembebasan Baitul Maqdis

MINA, Jogjakarta – Selama 200 hari lebih Zionis Israel menggempur Gaza dan membantai lebih dari 30.000 warganya. Aksi genosida Zionis Israel itu tidak surut meski menuai kecaman bahkan tekanan oleh masyarakat internasional. Dunia Islam pun tak bisa berbuat banyak untuk menyelematkan saudara mereka di Gaza dan Tepi Barat dari kekejaman Zionis.

Kegagalan dunia Islam hingga saat ini dalam menguasai kembali Baitul Maqdis lalu menciptakan perdamaian di tanah yang diberkahi itu tak lepas dari kegagalan mereka menyusun strategi yang tepat. Upaya yang selama ini ditempuh masih terbatas pada mengatasi persoalan yang bersifat sementara. Belum lagi jika kita bicara soal perpecahan apalagi pertikaian dalam tubuh umat Islam. Rasa-rasanya untuk menyepakati satu strategi tertentu mustahil bisa tercapai.

Lalu seperti apa strategi yang tepat untuk merebut kembali Baitul Maqdis dan menciptakan situasi yang aman dan damai di sana? Profesor Abdul Fattah El Awaisi, pendiri Studi Baitul Maqdis di berbagai universitas di Inggris dan Turki berhasil merumuskan strategi pembebasan Baitul Maqdis. Untuk menemukannya, ia menghabiskan 30 tahun lebih.

Wartawan MINA, Taufiqurrahman dan Ali Farhan Tsani berkesempatan mewawancarai Abdul Fattah El Awaisi di sela-sela kesibukannya mengisi sejumlah seminar di Jogjakarta, Sabtu, (4/5) pagi. Tulisan wawancara ini dibagi ke dalam 3 seri. Berikut seri yang pertama.

Sebagai negara Islam terbesar, apa peran Indonesia dalam pembebasan Baitul Maqdis?

Dari segi ilmu dan akademik, satu kemuliaan yang Allah berikan padaku sejak tahun 2005, saya berhasil mengembangkan satu teori baru di bidang geopolitik. Teori ini bisa bahkan wajib diterapkan dalam membuat perencanaan strategis membebaskan Baitul Maqdis dan Masjid Al Aqsha.

Teori ini mengatakan bahwa negeri-negeri di sekitar (Baitul Maqdis) memainkan peran penting dalam membebaskan Baitul Maqdis dan Masjid Al Aqsha. Hanya saja ada negara-negara yang jauh dari Baitul Maqdis yang punya peran juga dalam membebaskannya, diantaranya yang utama adalah Indonesia. Sebagaimana itu tampak dari teori ini.

Lalu apa perannya? Indonesia berperan dalam penyiapan bekal menuju pembebasan Baitul Maqdis. Apa maksudnya?

Secara geografis Indonesia terletak jauh dari pusat konflik. Ini memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk bisa memainkan peran dalam penyiapan ilmu dan pengetahuan.

Jika kita memahami sirah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, kita temukan bahwa beliau membuat persiapan penting dalam membebaskan Masjid Al Aqsha. Beliau memulai dengan persiapan ilmu lalu persiapan politik kemudian persiapan militer.

Persiapan ilmu itu, bahkan, terus dilakukan sepanjang usia beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Dari sejak awal mula dakwah hingga beliau wafat. Lalu persiapan itu disempurnakan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khatthab radliallahu’anhuma. 

Saya lihat di tahap dan di bidang itu Indonesia sangat potensial berhasil memainkan perannya. Posisinya yang jauh dari pusat konflik, membuat Indonesia menjadi tempat yang tepat menjadi pusat ilmu (seputar Baitul Maqdis)

Persiapan ilmu itu menjadi dasar di masa depan bagi persiapan berikutnya dalam membebaskan Masjid Al Aqsha.

Sehingga dari sisi keilmuan dan manhaj Indonesia punya peran sangat penting dalam pembebasan Baitul Maqdis di masa depan. Maka hendaknya itu dimulai dengan persiapan ilmu dan pengetahuan. Bahkan dari segi ini Indonesia bisa jadi jadi model percontohan bagi dunia Islam.

Bagaimana penerapan persiapan ilmu itu di Indonesia? Apakah diantarnya dengan mendirikan pusat-pusat studi Baitul Maqdis di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia?

Betul. Saya belum menemukan ada satu perguruan tinggi atau yayasan yang fokus pada kajian Baitul Maqdis. Jika Indonesia ingin memainkan perannya di sisi persiapan ilmu itu, maka harus ada lembaga-lembaga pendidikan baik negeri atau swasta yang mengajarkan Baitul Maqdis.

Di awal mungkin perguruan tinggi bisa menyediakan satu mata kuliah khusus tentang Baitul Maqdis untuk mahasiswa-mahasiswanya di tingkat sarjana, lalu dikembangkan lagi di program majister dan doktoral.

Langkah kedua, yakni penyebarluasan buku-buku baik dalam bentuk terjemahan. Buku-buku ilmiah yang memberikan ilmu yang bermanfaat sebagaimana disampaikan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. 

Di zaman sekarang, saat penjajahan terhadap Baitul Maqdis berlangsung begitu lama, yang kita inginkan tidak berhenti pada ilmu yang melahirkan ilmu. Lebih dari itu ilmu yang kita butuhkan adalah ilmu yang membuat perubahan. Ilmu itu bisa ada di buku-buku berbahasa Arab atau Inggris lalu diterjemahkan. Atau bisa juga langsung ditulis buku berbahasa Indonesia terkait Baitul Maqdis dan Masjid Al Aqsha.

Langkah ketiga, yakni mendirikan pusat-pusat studi baik dalam bentuk yayasan yang dimiliki oleh organisasi ataupun tokoh masyarakat. Di situlah para pelajar belajar mengkaji dan meriset seputar Baitul Maqdis.

Keempat, yakni pengiriman pelajar-pelajar berprestasi untuk menyelesaikan pendidikan tingginya di tingkat majister atau doktoral ke luar negeri untuk mempelajari khusus tentang Baitul Maqdis, baik di Malaysia di mana ada pusat studi Baitul Maqdis tepatnya di sebuah universitas di utara Malaysia, atau di program majister berbahasa Inggris di Universitas Anthalia Turki, atau Universitas Mardin berbahasa Arab.

Jika langkah-langkah itu dimulai dan berjalan selama 5 tahun Indonesia akan menjadi pusat persiapan ilmu dan pengetahuan (seputar Baitul Maqdis) InsyaAllah. (L/RA 02)

 

Wartawan: توفيق

Editor: Widi Kusnadi