MINA: Bagaimana kedekatan orang Gaza dengan RS Indonesia ?
dr. Arief: Jadi di samping rumah sakit lapangan yang dibangun di Rafah, Rumah Sakit Indonesia itu sudah jadi back bound di Gaza utara. Boleh dibilang orang di Gaza utara belum mantep kalau belum berobat di RS Indonesia. Jadi sudah berobat ke klinik atau ke rumah sakit lain, kalau belum ke RS Indonesia belum mantep, makanya Rumah Sakit ini gak pernah sepi selalu ramai. Bahkan 2020 terakhir ketika saya ke sana dalam supervisi pembangunan, itu melihat sendiri bagaimana UGD betul-betul penuh, padahal di waktu-waktu tidak ada peperangan, tidak ada konflik, kalau ada konflik ambulance tidak pernah berhenti masuk.
MINA: Untuk rencana pembangunan poliklinik sendiri bagaimana Dok?
Dr. Arief: RS Indonesia ini sudah jadi empat lantai plus satu basement. Kalau secara sipil sudah mentok gak bisa ditambah ke atas lagi karena pondasinya cuma segitu, ya Rumah sakit ini semakin penuh, semakin tidak nyaman.
Bagaimana baiknya? Ya Kita pisahkan layanan rawat jalannya. Karena yang kita lihat misalnya ada insiden, IGD penuh, pasien mau masuk ke poliklink tidak bisa, pasien yang mau kontrol rutin ke rawat inap juga tidak bisa, karena semua akses jalan itu tertutup dengan mobil, ambulance, pasien jadi crowded di situ. Makanya di depan ada tanah kosong milik pemerintah yang cukup luas, kebetulan tanah itu juga baru dibangun rumah sakit untuk hemodialisa sumbangan dari Qatar. Masih ada tanah lagi yang cukup besar, ya sudah kita bilang tanah itu bangun saja kita bikin pusat rawat jalan, jadi poliklinik, lab, radiologi di situ. Jadi nanti akan ada dua layanan rumah sakit kita yang dipisah sehingga aksesbilitasnya tetap terjaga.
MINA: Apakah sudah ada target pelaksanaan pembangunan poliklinik itu Dok?
dr.Arief: Ini masih obrolan kopi bersama insinyur. MER-C sudah sampaikan ke Kementerian ide ini. Belum kita lempar ke publik juga karena belum kita matangkan. Mau lihat dulu pembangunan tahap ke dua ini, kalau akhirnya semakin baik bisa jadi ya atau tidak, tapi kalau ternyata membludak ya diperlukan.
Saat ini pembangunan tahap ke dua, belum diserahterimakan, selama pandemi ini mundur sekali. Untuk yang masih kita selesaikan alat kesehatanya Tidak sampai empat bulan terakhir saya dapet kabar semua alat sudah masuk kecuali tempat tidur pasien. Tapi pihak Kementerian Kesehatan setempat sudah minta untuk diserahterimakan karena mereka butuh ruangan untuk perwatan pasien.
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
MINA: Untuk rencana pemberangkatan relawan sendiri yang sebelumnya sempat dibicarakan, bagaimana Dok?
dr. Arief: Untuk keberangkatan ke Gaza karena mungkin banyak publik yang tidak tahu ya, bahwa untuk masuk ke Gaza pintunya dua. Satu lewat Israel dan satu lewat Mesir. Kalau lewat Israel ya Jakarta, Yordania ke Tel Aviv masuk ke Tepi Barat lalu ke Gaza artinya kalau kita masuk visanya ke Yordania dan Israel, atau lewat Mesir. Jadi visa itu ada visa wisata, bisnis, pendidikan, MER-C bagaimana? Kita selalu mengajukan visa kemanusian dari dulu kita tidak pernah menggunakan visa jalan-jalan ini yang bikin lama.
Kalau visa wisata ke Mesir sepekan juga jadi, tapi kalau yang ini bisa lama. Kalaupun kita punya Visa itu baru izin masuk ke Mesir dari Kairo, sedang ke Rafah itu perlu izin khusus lagi. Ini yang mengeluarkan adalah dinas keamanan Mesir. Kalau tidak ada surat perjalanan ini hampir bisa dipastikan tidak sampai ke Rafah. Pengalaman dua kali terakhir 2019 dan 2020, itu surat izin kita sudah pegang bahkan kita dikawal oleh militer karena mereka menganggap kita akan melewati jalur-jalur di mana terdapat titik-titik penyerangan oleh Al Qaeda di Sinai utara masih banyak kejadian itu. Makanya kita dikawal oleh militer Mesir sampai penyeberangan Rafah ke imigrasi, baru kita menyeberang masuk Gaza. (W/R7/P2)
selesai
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Mi’raj News Agency (MINA)