Oleh: Kurnia M Hudzaifah (Jurnalis MINA)
Musibah merupakan kata yang sering akrab terdengar di telinga, baru-baru ini gempa bumi dahsyat dengan berkekuatan magnitudo 7.8 melanda wilayah Turki dan Suriah, yang merenggut puluhan ribu jiwa dan ratusan ribu lainnya menderita.
Hingga hari ke-5 pasca gempa, korban tewas akibat gempa bumi berkekuatan Magnitudo 7,8 yang mengguncang Turki dan Suriah lebih dari 21.000 orang di kedua negara yang saling berbatasan itu.
Gempa Bumi adalah peristiwa bergetarnya permukaan bumi, dan ini bisa mengakibatkan kerusakan pada bangunan, dalam pengetahuan, bahwa gempa bumi disebut seismologi.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Seismologi menjelaskan, bahwa gempa adalah peristiwa perambatan atau penjalaran gelombang gempa yang sampai ke permukaan bumi akibat lepasnya energi potensial yang dimiliki lapisan yang ada di bawah permukaan bumi secara mengejutkan dan tiba-tiba. kejadian ini datang atas ketentuan Allah Subḥānahu Wataʿālā, dan tidak bisa ditolak, dan setiap kejadian yang menimpa manusia itu disebut musibah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) musibah memiliki makna peristiwa atau kejadian menyedihkan yang menimpa, baik sesorang atau kelompok, juga bencana baik faktor alam atau kelalaian manusia.
Dalam Al-Qur’an dan Hadist kata bencana dapat ditemukan dalam istilah yang bervariasi, salah satunya musibah. Kata musibah dalam Al-Qur’an secara umum mengacu pada sesuatu yang netral, tidak negatif atau positif, sekalipun terdapat beberapa ayat yang mengaitkan dengan sesuatu yang negatif. Tetapi dalam bahasa Indonesia kata musibah selalu diartikan sebagai sesuatu yang negatif.
Maka istilah Al-Qur’an, apa saja yang menimpa manusia disebut dengan “musibah”, baik yang berwujud kebaikan atau keburukan bagi manusia (QS. Al-Hadid: 22-23). Istilah musibah yang dapat mencakup kebaikan dan keburukan juga disebutkan dalam hadis berikut ini:
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Dari Shuhaib, ia berkata. Rasulullah bersabda: Sungguh menakjubkan perkara kaum mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya adalah kebaikan, dan itu tidak akan terjadi kecuali bagi orang yang beriman. Jika ia dianugerahi nikmat, ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa musibah, ia bersabar maka itu juga baik baginya. (HR. Muslim).
Kemudian dalam firman-Nya Allah menjelaskan, bahwa jika “musibah” yang berupa kebaikan, maka hal itu berasal dari Allah, dan bila “musibah” berupa keburukan –yang kemudian disebut dengan bencana, maka karena perbuatan manusia sendiri. (QS. An-Nisa: 79).
Maka Quran juga secara jelas menguraikan tidak semua musibah adalah bencana. Musibah disebut bencana dan bermakna negatif adalah musibah yang mendatangkan keburukan bagi manusia, dan hal itu merupakan hasil dari perbuatan manusia sendiri juga, bukan dari Allah, meskipun secara kasat mata musibah itu terjadi di alam.
Menurut seorang ilmuwan muslim berkebangsaan Persia, Imam Fakhruddin Ar-Razi, yang dimaksud dengan musibah adalah suatu hal yang tidak disenangi oleh jiwa, seperti padamnya sebuah lampu saat dibutuhkan penerangannya. Demikian makna musibah bisa dipahami dapat terjadi pada individu ataupun kelompok.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Demikian dipertegas dalam firman Allah Subḥānahu Wataʿālā Al-Quran At-Taubah ayat 51:
قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَنَآ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَنَاۚ هُوَ مَوْلٰىنَا وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah kepada kami. Dia pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang beriman berserah diri”.
Bagaimana kita sebagai seorang muslim menyikap musibah? musibah yang terjadi mengingatkan orang beriman untuk benar-benar kembali kepada jalan-Nya yaitu bertobat, merenung dan bermuhasabah atas apa saja yang pernah dilakukan, baik sebagai pribadi antara kita sebagai hamba Allah Subḥānahu Wataʿālā sebagai Sang Khaliq atas perilaku dan dosa yang diperbuat.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Ibnul Qayyim Rahimahullâh pernah mengatakan, “Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allah Subḥānahu Wataʿālā Ta’ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisab. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.”
Hikmah Ujian
Ujian adalah sebuah proses seseorang akan melangkah ke arah yang lebih baik dan dapat mengetahui seberapa besar kemampuan yang menunjukan atas berhasilnya usaha yang telah dilakukan bila ujian itu dihadapi dengan sabar, ikhlas dan penuh rasa syukur.
Namun, hasil yang buruk akan dihadapi seseorang karena ujian itu tidak dijadikan sebagai tali untuk mengikat impian yang diharapkan, seperti kata orang bijak ” dengan ujian seseorang dapat dimuliakan atau dihinakan”.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Karena itu, hiasilah diri kita dengan ilmu dan takwa, untuk menghadapi segala ujian, seorang muslim mesti yakin semuanya akan indah pada kehidupan.
Saudaraku, katakanlah ” ujian milik Allah Subḥānahu Wataʿālā dan jangan pernah buruk sangka atas ujian yang diberikan Allah, karena hidup akan bahagia dengan rahmat dan ridho Allah Subḥānahu Wataʿālā.
Ujian adalah rizki terbesar dari Allah Subḥānahu Wataʿālā, rasa syukur harus diucapkan ketika berdoa, orang beriman selalu berprinsip ujian yang Allah berikan belum seberapa dibandingkan dengan orang-orang terdahulu. Dan yakinilah setiap manusia memiliki jalan kehidupan yang berbeda-beda, termasuk ujian. Ada yang diuji dengan kemiskinan, kekayaan, pangkat, dan jabatan. Bobot masalah ujian berbeda-beda sesuai kemampuan hamba-Nya, mulai dari kategori ringan, sedang sampai dengan yang sangat berat.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, suatu hari seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab: “Para nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian yang sesudah mereka secara berurutan berdasarkan tingkat keshalihannya. Seseorang akan diberikan ujian sesuai dengan kadar agamanya. Bila ia kuat, ditambah cobaan baginya. Kalau ia lemah dalam agamanya, akan diringankan cobaan baginya. Seorang mukmin akan tetap diberi cobaan, sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikit pun.” (HR Bukhari).
Hadits ini menunjukkan bobot ujian yang diberikan Allah Subḥānahu Wataʿālā itu bertingkat. Semakin tinggi derajat keimanan, semakin berat ujian yang dialami seseorang. Semoga kita bisa melewati semua ujian yang Allah Subḥānahu Wataʿālā berikan, dan mampu mengambil hikmahnya, terus berupaya menjadi manusia yang menjalani kehidupan sesuai dengan syariat Allah Subḥānahu Wataʿālā. (A/R4/P2)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan