DPR AKHIRNYA SAHKAN RUU JAMINAN PRODUK HALAL

paripurna

paripurna
Suasana Sidang Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II Jakarta, Kamis (25/9). (Foto: Arie/Mirajnews.com)

Jakarta, 1 Dzulhijjah 1435/25 September 2014 (MINA) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan (JPH) dalam sidang paripurna pada Kamis (25/9).

Dalam sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, RUU JPH untuk memberikan payung hukum dan jaminan ketenangan serta keamanan soal makanan dan minuman terkait kehalalan dan keharamannya disetujui seluruh anggota DPR yang menghadiri sidang.

“Apakah RUU ini dapat disetujui dan disahkan untuk menjadi Undang-undang?” Tanya Priyo pada Rapat Paripurna, di Gedung Nusantara II Jakarta sebagaimana rilis Parlemen yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

Jawaban “setuju” terdengar serentak diucapkan oleh seluruh anggota dewan yang hadir, dibarengi ketokan palu oleh Priyo.

Sementara, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menyampaikan pendapat akhir Presiden yang juga memberikan persetujuan terhadap pengesahan RUU itu.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU JPH juga Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ledia Hanifa Amaliah sebelumnya memaparkan proses pembahasan dan substansi RUU itu.

Ledia menjelaskan bahwa RUU itu terdiri dari 11 bab dan 68 pasal. Sedangkan, dalam rangka implementasinya, UU JPH ini mengamanatkan pembentukan delapan Peraturan Pemerintah dan dua Peraturan Menteri.

Menurutnya, RUU itu dibahas cukup lama dan alot dalam prosesnya. Pembahasan RUU tentang JPH telah memakan waktu sekitar dua periode keanggotan DPR RI.

Dalam laporannya, Ledia Hanifa  menyatakan, pihaknya mengusulkan penambahan waktu hingga lima kali masa sidang guna membahas RUU itu. Lamanya pembahasan disebabkan kehati-hatian DPR dan perbedaan persepsi antara DPR dengan Pemerintah

“Lamanya Pembahasan RUU JPH karena didasari atas sikap kehati-hatian dalam mengambil keputusan terhadap beberapa substansi di dalam RUU yang memerlukan pendalaman serta penyamaan persepsi antara DPR dengan pemerintah. Namun akhirnya perbedaan tersebut dapat diselesaikan,” jelas Ledia.

Prinsip syariah

Ledia menjelaskan, RUU JPH ini merupakan langkah-langkah penerapan prinsip-prinsip syariah ke dalam hukum positif, di mana negara memiliki peran dan harus hadir memberikan pelayanan, perlindungan, dan jaminan kepada seluruh rakyat .

“Apabila hal ini dapat diimplementasikan dengan sungguh-sungguh, maka hakekat perlindungan dan jaminan akan kita rasakan ketika mengonsumsi produk,” imbuh Ledia.

Pada 19 September 2014 lalu Komisi VIII telah melaksanakan rapat kerja dengan pemerintah, dengan agenda utama mendengarkan laporan hasil Panitia Kerja atas pembahasan RUU JPH. Raker juga mengagendakan penyampaian pendapat akhir mini fraksi-fraksi DPR dan sambutan pemerintah.

“Dalam rapat kerja tersebut, seluruh fraksi DPR menyetujui RUU tentang Jaminan Produk  untuk diajukan dalam Pembicaraan Tingkat II pada Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU,” imbuh Ledia.

Dalam rapat kerja tersebut, Ledia mengatakan kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA), pihaknya meminta pemerintah pro aktif memberikan sosialisai dan edukasi kepada pihak-pihak terkait khususnya para pelaku usaha sehingga mereka mempunyai keinginan melakukan sertifikasi setiap produk yang dihasilkannya.

Sementara Sekjen Kemenag Nur Syam menjelaskan sifat sertifikasi halal dalam RUU JPH itu, DPR dan pemerintah mengambil jalan tengah yaitu bersifat mandatory (wajib) secara bertahap selama lima tahun. Dalam masa itu, badan melakukan sosialisasi serta menyiapkan peraturan pemerintah, infrastruktur, sarana dan pra sarana untuk proses JPH.

“Setelah lima tahun baru UU JPH diberlakukan wajib bagi semua produk, kita harapkan semua produk bersetifikasi halal sesuai UU JPH,” jelasnya kepada MINA pada rapat kerja 19 September 2014.(L/P003/R05/R12)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0