Aneksasi atau pencaplokan wilayah Tepi Barat merupakan bagian dari rencana perdamaian Timur Tengah atau Deal of Century “Kesepakatan Abad Ini” yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 28 Januari lalu. Sebagai barter atas pengakuan Palestina sebagai negara merdeka yang berdaulat, AS menawarkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tidak terbagi.
Selain itu, dalam proposal Trump, Israel akan mencaplok 30-40 persen tanah dari Tepi Barat, termasuk semua bagian Yerusalem Timur yang selama ini diimpikan Palestina sebagai ibu kota negara mereka saat nantinya merdeka. Sementara, wilayah Palestina yang kian sempit dalam rancangan itu tinggal berupa noktah-noktah yang dihubungkan oleh jembatan dan terowongan.
Secara sepihak, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang kembali memimpin pada akhir Mei lalu bertekad mewujudkan rencana AS tersebut. Netanyahu mengatakan, Israel tidak akan melewatkan “peluang bersejarah” untuk memperluas kedaulatannya di Tepi Barat.
Beberapa bulan terakhir PM Netanyahu secara lebih dari satu kesempatan menegaskan untuk memulai aneksasi 30 persen wilayah Tepi Barat pada awal Juli mendatang.
Delegasi Kantor Berita Mi’raj News Agency (MINA) terdiri dari Kepala Redaktur Bahasa Arab Rifa Arifin dan Sekretaris Redaksi Widi Kusnadi berkesempatan mengadakan wawancara khusus dengan Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun untuk membahas isu terkait rencana israel/">aneksasi Israel. Pertemuan dilakukan di Kedutaan Besar Palestina, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin (22/6/2020).
Berikut kutipannya:
MINA: Jika ternyata terjadi aneksasi Tepi Barat oleh Israel yang merupakan langkah awal realisasi kesepakatan abad ini yang diprakarsai AS, apa dampaknya bagi Palestina dan upaya apa yang akan dilakukan Palestina?
Dubes Al Shun: Sikap dan kebijakan AS terhadap Palestina bukanlah asing bagi kami, yang selama ini kami rasa tidak sama sekali ada keberpihakan terhadap Palestina, terasa semakin jauh sekali bagi kami melihat kebijakan AS terhadap berdirinya negara Palestina yang berdaulat di tanahnya sendiri.
Baca Juga: Konjen RI Jeddah Bicara Umrah Haji Masa Pandemi Hingga Peluang Ekspor ke Pasar Saudi
Juga kita tahu, Israel berdiri bukan di atas tanahnya, dari ujung laut sampai ujung daratan bukan milik Israel. Hingga sampailah Inggris dan AS membawa gerakan Zionisme ke tanah air kami, akhirnya disepakatinya pembagian wilayah Palestina 44 persen dan Israel 52 persen. Sekarang kita lihat bagaimana kesepakatan tersebut hari ini?
Dunia tahu, Israel melanggar dan melampaui batas, bahkan tidak menghiraukan masyarakat internasional dengan mencaplok wilayah Palestina sebanyak 22 persen milik negara Palestina. Dengan dukungan AS dan diamnya Uni Eropa saat itu, dengan mudah Israel mendapatkan 22 persen tersebut yang mencakup wilayah Al-Quds, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Lembah Golan juga Bukit Sinai dan sebagian tanah Lebanon.
Dan itulah faktanya saat ini, kebijakan AS yang betul-betul melawan, saya katakan sekali lagi melawan kesepakatan. Ditambah lagi kita bisa melihat seberapa berpihaknya Pemerintah AS saat ini di bawah Trump terhadap Israel dibanding pemimpin-pemimpin AS sebelumnya.
Pemerintahan Trump sudah terlihat wujud aslinya yang sangat berpihak kepada Israel. Kebijakan yang melawan HAM, resolusi-resolusi PBB, Kemanusiaan. Tidak usah jauh-jauh seperti UNRWA yang membantu sektor-sektor pengungsi Palestina dalam pendidikan dan kesehatan. Bantuan itu mereka stop, padahal itu tidak digunakan untuk perang atau perlawanan. Kebijakan bodoh tersebut dikeluarkan Trump menunjukan kepada kita sikap AS yang sebenarnya.
Baca Juga: Dubes Hajriyanto: Potensi Besar Indonesia Dalam Industri Percetakan Buku Libanon
Presiden Palestina saat itu menolak untuk berdiskusi, kita tidak akan meminta-minta pada AS. Sejak itu hubungan Palestina – AS tidak harmonis.
Bukti lainnya, Trump memberikan Israel Al-Quds, dia fikir dia siapa? Pemilik dunia ini? Apakah tanah Palestina milik nenek moyangnya? Kenapa dia tidak beri Israel tanah di AS, kenapa milik Palestina dia kasih? Jika memang dia suka dan mendukung Israel.
Jika AS terus seperti ini, tidak akan ada perkembangan apapun bagi terwujudnya perdamaian di Palestina.
Bagaimana AS bisa terus menjadi mediator perdamaian jika terus seperti ini? Prinsipnya, selama AS tidak fair dan berpihak pada Pemerintahan Israel yang “setan”. Oleh karena itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas tidak ingin lagi AS sendirian yang menjadi mediator, tetapi PBB, Rusia, Cina termasuk Indonesia bersama-sama ikut terlibat.
Baca Juga: Duta Besar Azad: Iran Usulkan Referandum di Seluruh Wilayah Palestina
MINA: Setelah apa yang dilakukan Israel atas Palestina yang begitu merugikan dan zalim, apakah solusi Perundingan dengan Israel yang digagas Mendiang Presiden Yasir Arafat akan tetap menjadi solusi?
Dubes Al Shun: Oke, sekarang kita masuk ke pembahasan perdamaian dalam periode transisi lima tahun dimulai dengan pembentukan sebuah badan Palestina yang terpilih untuk mengelola wilayah yang direbut oleh Israel dalam perang 1967.
Saat itu diskusi Mendiang Yasir Arafat dengan PM Israel Yitzhak Rabin (1974–1977) keduanya sepakat mewujudkan perundingan yang damai untuk Palestina – Israel. Akan tetapi rupanya ada “setan” di dalam Pemerintahan Israel saat itu, Rabin ditewaskan, sehingga jalan perundingan itu buntu. Selanjutnya datang pengganti Rabin termasuk Ariel Sharon, memang ada perundingan-perundingan akan tetapi hanya sekedar di atas kertas, pelanggaran Israel terhadap Palestina tidak pernah berhenti.
Oleh karena itu, saya sampaikan bahwa Palestina ingin damai, kita ingin hidup damai seperti negara lainnya di dunia. Dengan pahit kami akhirnya berbagi tanah kami dengan Israel, dengan harapan bisa terwujudnya perdamaian. Akan tetapi rupanya sampai saat ini Israel tidak mau melakukannya. Bahkan parahnya, semakin terlihat Israel ingin menguasai seluruh wilayah Palestina dan mengekalkan kekuasaannya.
Baca Juga: Dubes Wahid: Peningkatan Kerja Sama Ekonomi RI-Rusia Melalui Diplomasi Budaya
Sayangnya lagi, banyak negara tetangga kami mempercayai sampai saat ini bahwa Israel bisa berteman dengan Palestina. Sungguh disayangkan.
Perundingan perdamaian jika hanya sekedar untuk minum kopi dan teh sungguh tidak diperlukan lagi. Perundingan yang kami inginkan adalah yang membuat perlindungan kepentingan kami dan hak kami yang telah diwariskan mendiang Yasir Arafat.
Perundingan perdamaian yang mengabaikan hak-hak kami itu hanyalah perundingan dusta. Pelanggaran HAM, Kemanusiaan, permukiman ilegal, pembunuhan dan kekerasan, segala kejahatan yang dilakukan Israel menyimpulkan kami bahwa mereka tidak mengenal bahasa damai, mereka akan lebih paham jika kami melakukan perlawanan.
MINA: PBB, OKI, Uni Eropa, Uni Afrika, Liga Arab mengecam kebijakan Israel, bagaimana tanggapan Anda?
Baca Juga: KUAI Kedubes Pakistan: Hubungan Indonesia-Pakistan Semakin Erat
Dubes Al Shun: Saya telah hidup 30 tahun di dunia diplomasi, ratusan bahkan ribuan resolusi-resolusi yang berisi pengutukan, ancaman, peringatan terhadap Israel, berapa banyak dari resolusi tersebut yang terealisasi?
Semua itu tidak pernah membuat Israel terancam sehingga membatalkan rencananya.
Maka saya sudah katakan bahwa bahasa diplomatis tidaklah menjadi satu-satunya untuk solusi ini. Rakyat kami di Al-Quds, Tepi Barat, dan Jalur Gaza, semakin yakin dengan cara perlawanan, karena mereka memahami Israel akan lebih mengerti dengan ini.
Saya hidup dan menyaksikan peristiwa tahun 1967, saya mengerti karakter Israel, mereka tidak akan mengerti perasaan, mereka hanya tahu bahasa kekerasan dan perampasan.
Baca Juga: Duta Besar Azerbaijan: Indonesia Adalah Mitra Strategis
Maka karena itu, masyarakat internasional seyogyanya bisa bergerak lebih masif melawan Israel.
MINA: Pandangan Anda terhadap kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Palestina?
Dubes Al Shun: Saya sudah tinggal selama dua tahun di Indonesia, banyak daerah dan kota yang telah saya kunjungi, lembaga, organisasi masyarakat, dan partai.
Masyarakat Indonesia dan pemerintahnya satu suara terhadap pembelaan Palestina. Bahkan dalam suatu momen saya pernah berdialog dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) Republik Indonesia Retno Marsudi, saya katakan kepadanya “Anda lebih Palestina dari saya,” itu karena dia sangat menguasai Palestina, bahkan dalam pertemuan-pertemuannya di forum internasional dia selalu menyuarakan Palestina termasuk ketika berdialog dengan Menlu AS.
Kami berbangga dengan sikap politik Indonesia ini. Palestina merasa Indonesia di dalam hati kami, banyak bantuan yang Indonesia telah berikan, kerja sama pendidikan, kemanusiaan, perdagangan termasuk di dalamnya kerja sama bilateral dalam bidnag ekonomi yang mencakup tarif nol bagi impor minyak zaitun dan kurma dari Palestina ke Indonesia.
MINA: MINA sebagai Kantor Berita Internasional yang mendukung Palestina, bahkan dalam tagline kami bahwa Perdamaian di Palestina merupakan Perdamaian Dunia. Bagaimana tanggapan Anda?
Dubes Al Shun: Betul, sangat betul sekali, Permasalan Palestina adalah permasalahan dunia, Muslim dan Arab. Kestabilan dunia internasional bergantung sekali dengan stabilnya Palestina.
Dunia ini memerlukan kestabilan dan keseimbangan, selama ada rakyat yang terzalimi dan yang berbuat zalim masih berkuasa, dunia tidak akan seimbang.
Kezaliman tidak akan bertahan selamanya, akan ada batas dan akhirnya, kita akan melihat dampak atas semua kezaliman yang dilakukan oleh aktor-aktornya. terutama dengan apa yang terjadi pada kami di Palestina.(A/R6/R1)
Mi’raj News Agency (MINA)