Dubes Prancis: Kami Tidak Memerangi Islam, Tapi Separatisme

Duta Besar Republik Prancis untuk Republik Indonesia, Timor Leste, dan ASEAN, Olivier Chambard, menegaskan, ada perbedaan antara mayoritas warga Muslim Prancis yang damai dan moderat, dengan kelompok minoritas militan yang bersifat separatis, yang mengabaikan hukum dan memusuhi nilai-nilai Republik Prancis.

Dia juga menjelaskan maksud dari pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron pada 2 Oktober 2020 lalu.

Selanjutnya Dubes Chambard memaparkan hubungan bilateral Prancis Indonesia terus diperkuat dan ditingkatkan dengan mengoptimalisasi potensi kerja sama yang ada.

Hal tersebut disampaikan Dubes Chambard pada wawancara khusus dengan Tim Wartawan Kantor Berita MINA di Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, Rabu (18/11).

Dalam kesempatan baik ini, Tim Kantor Berita MINA terdiri dari Kepala Redaksi Arab Rifa Berliana Arifin, Kepala Redaksi Inggris Sajadi, Kepala Peliputan Rana Setiawan, dan fotografer Abdullah.

Prancis dan Indonesia sudah menjalin hubungan persahabatan dan kerja sama sejak lama. Pada tahun ini, Prancis dan Indonesia merayakan ulang tahun ke-70 tahun hubungan diplomatik kedua negara. Oleh karena itu, tahun ini sangatlah berarti bagi kemitraan bilateral kedua negara.

Pada 20 November 2019, Dubes Chambard secara resmi memulai penugasan dirinya di Kedutaan Prancis di Indonesia menggantikan Dubes Prancis sebelumya yaitu Jean-Charles Berthonnet.

Sebelumnya, Dubes Chambard juga pernah bertugas sebagai Wakil Dubes Republik Prancis untuk Republik Indonesia pada 1997-2000.

Berikut petikan wawancara selengkapnya:

MINA: Bisakah anda gambarkan tentang perkembangan bilateral antara Indonesia dan Prancis? Sektor mana yang memiliki potensi untuk ditingkatkan oleh kedua negara?

Dubes Chambard: Prancis dan Indonesia sudah menjalin hubungan persahabatan dan kerja sama sejak lama. Kedua negara kita sama-sama berkomitmen untuk mengedepankan nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, toleransi dan pluralisme di tengah-tengah masyarakat. Keduanya juga memiliki aspirasi yang sama tentang tatanan dunia yang lebih adil, lebih transparan, lebih demokratis dan tentang sebuah sistem multilateral yang lebih solid.

Hubungan istimewa ini telah menjadi bagian dari kemitraan strategis sejak 2011. Kemitraan Strategis tersebut berfokus pada konsolidasi kerja sama bilateral di bidang politik dan keamanan, ekonomi, pembangunan, pendidikan dan kebudayaan, serta perluasan pertukaran antar-masyarakat sipil. Ini juga merupakan elemen penting pengembangan hubungan antara Prancis dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Pertukaran bilateral tersebut diadakan secara berkala, dalam kerangka berbagai pertemuan dan forum internasional yang diikuti oleh kedua negara kita: PBB, G7, G20. Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo ikut serta dalam KTT Perubahan Iklim Paris (COP21) yang menghasilkan kesepakatan universal pertama tentang iklim dan pemanasan global.

Presiden Republik François Hollande melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada bulan Maret 2017. Lawatan tersebut menghasilkan sekitar tiga puluh perjanjian telah ditandatangani dan meluncurkan dua kemitraan di bidang kemaritiman dan ekonomi kreatif dan digital.

Sejak itu, Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, bertemu wicara dengan Presiden Emmanuel Macron di sela-sela KTT G20 (di Hamburg, tahun 2017; dan di Osaka, tahun 2019).

Pada tahun 2020, Prancis dan Indonesia merayakan ulang tahun ke-70 tahun hubungan diplomatik mereka. Oleh karena itu tahun ini sangatlah berarti bagi kemitraan bilateral kedua negara.

Prancis dan Indonesia percaya bahwa tantangan global seperti perubahan iklim, pemberantasan terorisme, radikalisme, dan ekstremisme, serta perlucutan senjata dapat dilakukan secara efektif, melalui pendekatan multilateral.

Dalam konteks ini, kedua negara kita mengakui peran lebih besar yang dimainkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), demi memelihara perdamaian dan keamanan internasional, serta demi memajukan hak dan kebebasan azasi.

Mereka saling mendukung dalam pemilihan di berbagai organisasi internasional (misalnya Dewan Hak Asasi Manusia).

Perubahan iklim merupakan bidang utama kerja sama antara kedua negara kita. Sejak Perjanjian Iklim Paris, Prancis menjalin dialog berkala dengan Indonesia, membahas tentang pengelolaan risiko alam, teknologi “hijau”, dan pertanian berkelanjutan, yang diwujudkan melalui seminar dan proyek-proyek penelitian bersama.

Terakhir, Prancis dan Indonesia adalah dua negara Indo-Pasifik. Seperti Indonesia yang berada di pertemuan strategis antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik, Prancis hadir di kedua samudera tersebut, dengan lima wilayah dan 1,5 juta warga. Prancis merupakan kekuatan maritim terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Suasana Wawanca Ekslusif Kantor Berita MINA bersama Duta Besar Perancis untuk Indonesia.

MINA: Bagaimana menurut Anda melihat kerukunan ummat beragama di Indonesia?

Dubes Chambard: Kebebasan beragama termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila, falsafah negara Indonesia yang secara resmi mengakui enam agama: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Model toleransi dan keterbukaan Indonesia sering dijadikan panutan, dan memang sepatutnya demikian, tetapi terasa perlu saya sampaikan di sini bahwa pemerintah Indonesia juga dihadapkan pada organisasi radikal yang mengabaikan hukum yang berlaku dan menentang nilai-nilai dasar dari Republik Indonesia, serta menjadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan nasional. Indonesia juga menghadapi ancaman kelompok teroris.

MINA: Apa sebenarnya pernyataan Presiden Emmanuel Macron yang dianggap menyinggung perasaan umat Muslim?

Dubes Chambard: Presiden Republik Prancis menyampaikan pidato pada tanggal 2 Oktober yang memaparkan strategi untuk melawan separatisme. Saya akan meringkas garis-garis besarnya.

1) Penegasan kembali “laicité” (sekularisme Prancis) sebagai jaminan kebebasan hati nurani (untuk percaya atau tidak percaya pada Tuhan) dan kebebasan beragama.

Presiden Republik Prancis mengingatkan pentingnya laicité, perekat Republik Prancis, yang merupakan landasan kebebasan beragama, yang memungkinkan setiap komunitas beragama untuk menjalankan ibadah, dan menjaga netralitas Negara terhadap semua agama. la menekankan bahwa laicité sama sekali bukan berarti penghapusan agama di ruang publik.

2) Penolakan terhadap penyamarataan yang dinyatakan dengan jelas Presiden dengan jelas menyampaikan bahwa dia tidak akan mentolerir penyamarataan apapun.

Ia menyatakan bahwa ada perbedaan antara mayoritas warga Muslim Prancis yang damai dan moderat, dengan kelompok minoritas militan yang bersifat separatis, yang mengabaikan hukum dan memusuhi nilai-nilai Republik Prancis. Golongan terakhir inilah yang juga merupakan beban bagi mayoritas Muslim Prancis.

3) Poros-poros utama strategi

Tujuan strategi pemerintah adalah terlebih dahulu memperkuat kerangka laicité, untuk melindungi kebebasan beragama dan kebebasan beribadah, dari radikalisme agama dan indoktrinasi.

Strategi ini juga meliputi penataan Islam di Prancis, agar dapat menemukan tempat yang seharusnya dalam masyarakat Prancis dan menjadi salah satu mitra Republik Prancis.

Terakhir, strategi ini juga akan meneruskan upaya-upaya yang sudah dilakukan demi melawan perpecahan dan diskriminasi sosial, yang menjadi tempat berkembangnya radikalisme, melalui peningkatan aksi-aksi yang mendukung kesetaraan.

MINA: Benarkah Presiden Macron mengizinkan Charlie Hebdo menerbitkan kembali karikatur Nabi Muhammad dengan dalih kebebasan berekspresi?

Dubes Chambard: Di Prancis, tidak ada satu pun surat kabar yang perlu izin untuk terbit. Di sana pers benar-benar bebas. Dengan demikian Presiden maupun pemerintah tidak memiliki hak atau wewenang untuk menyensor atau melarang penerbitan surat kabar.

Prancis membela dan melindungi kebebasan berekspresi, selama tidak mendorong kepada kebencian atau kekerasan, serta tidak mempromosikan terorisme. Dengan demikian, pembatasan pada kebebasan berpendapat atau berekspresi dalam hukum Prancis tidak mencakup kritik terhadap agama atau simbol agama.

Membela kebebasan berekspresi di Prancis tidak berarti bahwa semuanya diperbolehkan hukum hadir untuk melindungi setiap warga negara. Ada perbedaan jelas antara ruang yang diberikan untuk memperdebatkan dan mempertanyakan sistem pemikiran, agama atau kepercayaan apa saja, yang mencakup kebebasan untuk mengkritik termasuk melalui humor di satu sisi, dan hasutan kebencian agama di sisi lain. Hanya yang terakhir diperangi menurut hukum Prancis yang berlaku.

Dengan demikian, di Prancis media apa saja berhak untuk terbit, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan sepenuhnya independen. Hanya pengadilan yang berwenang untuk menentukan apabila kerangka kebebasan berekspresi yang diberikan oleh hukum dipatuhi atau tidak, sesuai dengan pasal-pasal undang-undang.

Kendati demikian, membela kebebasan berekspresi tidak berarti bahwa kita tidak memperdulikan reaksi yang ditimbulkan di dunia. Perbedaan kepekaan memang ada. Tetapi, batas yang tidak boleh dilewati adalah tindak kekerasan, yang tidak dan tidak akan pernah diterima.

Ketika sebuah surat kabar di Prancis mengatakan sesuatu, yang disampaikan itu bukan posisi pemerintah. Kartun tersebut tidak diterbitkan oleh media resmi negara, dan bukan pemerintah Prancis yang membuat kartun ini. Yang jadi pertanyaan bukan apakah Prancis, dan perwakilannya,

Presiden Macron, membuat karikatur ini atau mendukungnya, tetapi apakah Presiden setuju untuk menghapuskan hak tersebut: jawabannya adalah tidak, karena itu adalah hak rakyat Prancis, yang tertulis dalam Konstitusi Prancis. Prancis sebagai negara berdaulat memiliki hukumnya sendiri.

MINA: Beberapa negara Muslim telah memutuskan untuk memboikot produk Prancis. Bagaimana tanggapan pemerintah negara Anda dan apakah itu memengaruhi perdagangan negara Anda secara memengaruh?

Dubes Chambard: Dalam kolom pendapat yang diterbitkan oleh salah satu rekan media Anda, saya mengimbau kepada warga Indonesia agar tidak memboikot produk-produk Prancis. Boikot tidak hanya akan merugikan kepentingan ekonomi Prancis, tetapi juga kepentingan ekonomi Indonesia.

Sekitar 50 ribuan karyawan Indonesia yang dipekerjakan oleh 200 perusahaan Prancis yang ada di Indonesia bisa terdampak oleh gerakan boikot tersebut.

Secara keseluruhan, investasi Prancis di Indonesia menduduki peringkat ke-19, dan untuk kalangan negara-negara Eropa berada di peringkat ke-5, setelah Belanda, Inggris, Swiss, dan Jerman.

Pada penyelenggaraan Indonesia infrastructure investment Forum (lIF) yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Indonesia di Paris dan Perhimpunan Pengusaha Prancis MEDEF International, Indonesia mengajukan 41 proyek infrastruktur besar kepada para investor Prancis yang nilainya mencapai 440 miliar USD di berbagai sektor, diantaranya sektor perhubungan, listrik, logistik dan pembangunan kota yang ramah lingkungan.

Itulah sektor-sektor yang dapat dikembangkan di antara kedua negara kita, dimana keahlian Prancis tidak terbatas pada satu proyek. Bidang pelatihan akademik dan kejuruan dan juga alih teknologi sangatlah penting dalam hubungan kami dengan Indonesia.

Selain itu, boikot dapat mempengaruhi citra baik Indonesia sebagai negara tujuan investasi asing. Pemerintah Indonesia saat ini sedang menjalankan reformasi yang bertujuan mempermudah kegiatan perdagangan dalam negeri demi meningkatkan investasi, di antaranya melalui UU Cipta Kerja.

Secara umum, seruan boikot ini memutarbalikkan posisi yang dipertahankan oleh Prancis untuk mempromosikan kebebasan hati nurani, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan penolakan terhadap seruan kebencian.

Seruan tersebut juga mendistorsi dan mempergunakan pernyataan Presiden Republik Prancis untung kepentingan politis mereka. Padahal pernyataan tersebut adalah seruan untuk memerangi Islamisme radikal, dan peperangan itu akan dijalankan bersama warga Muslim Prancis yang merupakan bagian integral dari masyarakat, sejarah, dan Republik Prancis.

MINA: Dalam pekan terakhir ini, Prancis menghadapi dua kasus terorisme di Paris dan Nice. Bagaimana tanggapan pemerintah terkait hal ini? Apakah pemerintah mendukung pernyataan sebelumnya bahwa mereka terkait dengan Muslim radikal?

Dubes Chambard: Sejak beberapa tahun terkahir, Prancis, seperti halnya Indonesia, memerangi terorisme dengan tegas. Tindakan terorisme di Prancis telah menelan lebih dari 300 korban jiwa, bagi warga Prancis maupun asing yang tinggal atau berkunjung di wilayah Prancis.

Serangan terorisme yang mengatasnamakan Islam merupakan malapetaka bagi masyarakat muslim di seluruh dunia. Kalau kita melihat angka statistik saat ini, di seluruh dunia pada 40 tahun terakhir ini, lebih dari 80% korban terorisme adalah orang muslim.

Tampaknya terjadi kesalahpahaman di beberapa pekan terakhir ini, akibat masalah penerjemahan, terkait dengan istilah Islamisme radikal di Prancis. Apakah artinya? Adalah ekstremis radikal yang membajak agama dan melakukan kekerasan dalam Islam.

Dan beberapa media telah menerjemahkan perlawanan yang dipimpin oleh Presiden Macron ini sebagai bentuk permusuhan terhadap Islam. Justru sebaliknya, Prancis merupakan negara yang memiliki jutaan warga negara yang beragama Islam.

Kami sama sekali tidak melawan mereka. Mereka warga negara penuh yang ingin hidup damai. Dan Prancis memiliki negara-negara sahabat di seluruh dunia, yang agama mayoritasnya adalah Islam, termasuk Indonesia.

Namun saat ini, dengan mengatasnamakan Islam dan dengan membajak ajarannya, kaum ekstremis menggunakan kekerasan untuk melakukan hal terburuk.(W/ R1/RA-1/ RE1/R9/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Comments are closed.