Fikih Meninjau LGBT

Oleh Rifa Arifin, Kepala Redaktur Arab Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Allah Subhanahu wata’alla berfirman :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ( ) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ ( )

Artinya : “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (TQS. Al ‘Araf: 80 – 81)

Apa itu  ?

LGBT singkatan dari lesbian, gay, bisexual dan transgender. Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan, Gay adalah sebuah istilah bagi laki-laki yang umumnya digunakan untuk merujuk orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual.

Biseksualitas merupakan ketertarikan romantis, ketertarikan seksual, atau kebiasaan seksual kepada pria maupun wanita. Istilah ini umumnya digunakan dalam konteks ketertarikan manusia untuk menunjukkan perasaan romantis atau seksual kepada pria maupun wanita sekaligus, dan Transgender merupakan ketidaksamaan identitas gender seseorang terhadap jenis kelaminnya yang ditentukan, atau kelaminnya dari laki-laki menjadi perempuan. Transgender bukan merupakan orientasi seksual.

Akhir- akhir ini, mayoritas status di beranda jejaring sosial milik saya semuanya soal LGBT. Iya, barangkali yang exist buka sosmed rutin seperti minum obat (tiga kali sehari) atau waktu salat (lima kali sehari) tentu kita sudah tahu Facebook dibikin oleh Mark Zuckerberg, yang lahir di keluarga Yahudi dan kini ateis itu, yang terang-terangan mendukung LGBT. Karena itu berpotensi dilarang kalau Facebook masuk dalam kategori “mempropagandakan LGBT”. (Jadi, mulailah membayangkan hidup tanpa Facebook.)

Rata-rata orang pada memperdebatkan apakah homoseksualitas itu persoalan normal atau penyakit dan seterusnya. Karena soal ini sudah banyak atau mungkin sudah terlalu banyak yang membahas, dan lagipula latar studi Penulis bukan biologi, neurologi, psikologi, antropologi dan disiplin sains yang terkait. Penulis pasrahkan saja soal itu kepada para saintis yang benar-benar saintis, tentu saja, yang memahami betul dasar filsafat sains, dan bukan saintis dadakan.

Penulis berharap para saintis yang benar-benar saintis itu menulis secara argumentatif dan populer, demi membantu para awam seperti saya ini untuk membedakan sains yang sejati dari yang pseudo sains. Biar tak mudah tertipu oleh sesuatu yang tampaknya saintifik padahal sejatinya selubung emosi dan kebencian (baik oleh yang pro- maupun anti).

Prinsip

Okelah, yang sebenarnya agak kurang mendapat pembahasan justru adalah bagaimana Islam lebih persisnya hukum Islam, atau lebih tepatnya lagi fikih menyikapi homoseksualitas. Orang-orang tampak menerima begitu saja pernyataan “homoseksualitas itu haram atau dilarang agama”. Maka di poin ini, perkenankanlah Penulis, manusia yang fana ini, untuk ikut bicara.

Sebelum dilanjutkan Penulis imbau biar pikiran kita bisa lebih kalem dan tak keburu emosi, Penulis anjurkan kita tarik nafas dulu, seduh kopi kalau ada. Tenang, penjelasan fikih yang Penulis uraikan berikut sepenuhnya berdasar pada .

Pernyataan “homoseksualitas itu haram” itu maksudnya apa? Maksud Penulis, yang haram itu orientasi seksualnya, perasaaanya, atau tindakannya? Kalau tindakannya, yang mana yang haram: pegangan tangan, pelukan, cipokan, oral sex, gesek-gesekan kelamin, petting, atau anal sex? Ini persoalan mendasar dan falsafi bila status “haram” itu dimaksudkan sebagai kategori hukum-fikih. Bahasa hukum sebisa mungkin terang-benderang, jelas definisinya, dan tak boleh ambigu.

Penulisberupaya membuka-buka literatur fikih klasik, dan mencari-cari apa hukum homoseksualitas. Hal pertama yang hendak Penulistahu tentu saja apa istilah yang persis ekuivalen dalam fikih klasik dengan makna yang diacu oleh kata “homoseksualitas”. Subhanallah, sampai sekarang belum ketemu (atau jangan-jangan malah tidak ada) istilah homoseksualitas di fikih klasik. Istilah bahasa Arab-modern untuk homoseksualitas adalah al-jinsiyyah al-mitsliyyah; untuk gay: mitsliy”; untuk lesbian: mitsliyyah”; untuk biseksual: muzdawij”;untuk transgender: mughayir”.

Penulisbelum menemukan istilah-istilah semacam ini di fikih klasik. Bahkan istilah heteroseksualitas sendiri, yang bahasa Arab modernnya adalah al-jinsiyyah al-ghayriyyah”, juga tak Penulis temukan secara persis dan literal di fikih klasik.

Lalu bagaimana mendapatkan hukum-fikih untuk homoseksualitas? Fatwa-fatwa modern berupaya mencari tandingannya atau yang setara dengannya dengan istilah yang sudah ada di fikih klasik, yang sebenarnya tidak ekuivalen dan karena itu problem, yaitu liwath (yang diambil dari nama “Luth”); dan homoseks kadang disebut dengan istilah negatif  luthiy. (Penulis heran dengan derivasi ini bukankah istilah demikian malah menggunakan nama Nabi Luth untuk perbutan yang dinyatakan dosa?)

Barangkali karena inilah, di pikiran banyak Muslim, begitu terdengar kata homoseksualitas, yang terbenak pertama kali adalah bayangan menjijikkan tentang sodomi atau anal sex, dan sejenak lupa bahwa homo bukan hanya gay tapi juga lesbian.

Homoseksualitas dengan liwath tentu saja tidak sejajar tepat, dan karena itu problematis. Definisi liwath dalam fikih klasik adalah ityan ad-dzakar fid-dubur atau memasukkan penis ke dalam lubang dubur, alias anal sex. Ada istilah yang mengarah pada lesbianisme, yaitu sihaq, tapi definisinya ambigu, yaitu fi’lun-nisa’i ba’dhuhunna biba’dhin(terjemah literal: perbuatan perempuan dengan perempuan), tanpa ada spesifikasi mendetil apa yang dimaksud “perbuatan” di situ. Makna tekstual dari sihaq adalah ad-dalk atau memijit-meremas (massage), entah persisnya meremas bagian mana.

Apa hukuman liwath dalam fikih klasik? Menurut mayoritas para faqih klasik : hukuman mati, dan sama statusnya dengan zina. Menurut mazhab Hanafi, bukan zina, dan tidak dihukum mati, tapi tetap berdosa dan harus dihukum ta’zir. Bukan zina karena, menurut mazhab Hanafi, tidak ada penetrasi alat kelamin dan tidak memungkinkan pembuahan dan menghasilan keturunan salah satu maqashid atau tujuan syariat pengharaman zina adalah untuk menjaga keturunan (hifzhun-nasl).

Mengikuti epistemologi mazhab Hanafi, hadis yang menerangkan hukuman mati untuk tindakan liwath itu hadis ahad, dan hadis ahad tidak bisa jadi landasan untuk hukuman sekeras hukuman mati. Ini terasa kejam? Sekilas ya, tapi pada level praksis sebenarnya prosedur untuk membuktikan zina atau liwath sulit terpenuhi, yaitu adanya empat saksi yang melihat secara live .

Karena hukumannya keras, orang yang menuduh orang lain telah berzina/berliwath (istilah teknis untuk menuduh zina: qadzaf) hukumannya juga keras, yaitu 80 cambukan. Lebih detil soal ini, juga relevansi dan kontekstualisasinya untuk zaman ini, perlu pembahasan lain yang lebih panjang. Tapi izinkanku untuk sedikit berkata: Karena sulitnya prosedur pembuktian zina/liwath ini, amat sangat jarang sekali hukuman cambuk/rajam terjadi.

Membedakan homoseksualitas dari anal sex itu penting, karena keduanya memang tidak identik. Logika dari yang pertama adalah orientasi seksual, sedangkan yang kedua adalah tindakan seksual. Ini sama dengan heteroseksualitas dan zina, yang pertama adalah orientasi seksual, sedangkan yang kedua, bila ia dimaksudkan dalam pengertian fikih yang ada hukuman hadd-nya adalah tindakan memasukkan alat kelamin di luar ikatan pernikahan atau perbudakan.

Di samping itu, anal sex bisa dilakukan bukan hanya oleh homo tapi juga hetero, jadi homo tidak niscaya identik dengan anal sex. Lebih jauh, tindakan adalah sebuah pilihan, sementara orientasi seksual, well, soal ini Penulis tak tahu persis apakah ia muncul begitu saja seperti perasaan jatuh-bangun cinta atau merupakan pilihan.

Yang jelas, pada dasarnya yang menjadi wilayah hukum-fikih adalah tindakan. Dalam pelajaran mula ushulul-fiqh biasanya diterangkan bahwa domain fikih (maudhu’ al-fiqh) adalah“af’al al-mukallafin” atau tindakan orang-orang mukallaf (orang yang baligh dan berakal). Lebih persis lagi, tindakan yang dilakukan itu adalah yang berdasarkan kesadaran, pilihan (ikhtiyari), dan tidak terpaksa (ghayru mukrah).

Ini sebenarnya sama belaka dengan dasar filsafat etika perbuatan yang bisa dimintai pertanggungjawaban dan bisa dihakimi adalah perbutan yang dilakukan secara sadar dan merupakan pilihan atau tidak terpaksa.

Sejauh yang Penulis tahu, fikih tidak (atau belum?) mengatur orientasi seksual. Yang diatur adalah manifestasi tindakan dari orientasi seksual itu. Kalaupun ada hal batin yang diurus fikih (misalnya, “niat”), itu untuk menentukan apakah suatu perbuatan adalah ritual atau bukan; bernilai ibadah atau kebiasaan, selain bahwa niat juga merupakan tindakan-batin yang bersifat pilihan. Ditambah lagi bila kamu menyebut homoseksualitas sebagai penyakit, ini semakin jauh dari domain fikih.

Definisinya, penyakit tidak bisa dihukumi halal-haram. Kamu tak bisa mengatakan, misalnya, pusing, lumpuh, epilepsi, autis, atau gila adalah haram. Apa hukumnya penyakit? Ya disembuhkan ini tentu kalau ada obatnya dan bisa disembuhkan. Menyatakan penyakit itu haram adalah sama dengan keluar dari domain fikih, kalau bukan malah berarti mengagresi wilayah yang menjadi otoritas disiplin ilmu lain.

Jadi yang haram dari homoseksualitas apa? Perasaan suka sesama jenisnya? Oke, Penulis tidak tahu apakah ada hukum-fikih untuk perasaan, dan apakah perasaan macam itu adalah suatu hal yang lahir dari kesadaran dan pilihan sehingga bisa disebut “tindakan”. Penulis duga kuat tidak ada pendapat ulama di fikih klasik yang menyoal hukum perasaan. Kalau ada dan barangkali ada di antara pembaca pernah baca di literatur fikih klasik, tolong Penulis dikasih tahu.

Salah satu pertanyaan yang bisa menjadi bahan ilhaq untuk kasus ini bisa dimulai, misalnya, dengan mencari apa kata fikih klasik tentang hukum “perasaan saling mencintai antara lelaki dan perempuan yang belum menikah”. Dicatat ya, “hukum perasaan cinta”, dan ini nanti bisa melebar ke hukum marah, hukum benci, hukum sedih, hukum bahagia, dan seterusnya, dan seterunya. Juga, karena ini bahasa hukum, tentu saja harus jelas definisinya.

Tapi sebenarnya adakah hukum-fikih bagi tindakan berpikir mesum? Dalil eksplisit dari al-Quran dan hadis belum pernah kutemukan. Tapi beberapa pendapat faqih klasik, memang ada, meski kadang ada yang pas, kadang ada yang tampak memaksakan. Contoh: apa hukum bagi suami-istri yang sedang berhubungan badan tapi membayangkan dirinya sedang begituan dengan wanita/lelaki lain? Bagi kamu yang tahu bahasa Arab bisa membaca, misalnya, ini: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=15558 (di fatwa ini, karena tak ada dasar teks eksplisit dari nash, maka muncullah beragam pandangan dari yang mengharamkan sampai yang menyatakan jawaz alias tak apa-apa).

Atau yang haram dari homoseksualitas adalah berciumannya? Hukum berciuman tentulah ada, dan relatif tak sulit untuk dicari, dan secara umum menyangkut hubungan hetero, bahkan sampai pada tata aturan ciuman suami-istri. Bagaimana dengan homo (gay dan lesbian)?

Pendapat eksplisit dalam fikih klasik, dugaan kuat, tidak ada, karena istilah untuk gay dan lesbian sebagai kategori orientasi seksual itu sendiri memang belum ada (sekali lagi, kalau pembaca menemukan, harap Penulis dikasih tahu). Pun kalau ada, kemungkinan besar ia akan di-ilhaq-kan dengan contoh-contoh kasus hukum bagi hetero yang berciuman dan status hukumnya akan dinilai dari dugaan ada-tidaknya berahi (mazhinnah asy-syahwah).

Uraian ini bisa diteruskan sampai detil untuk tiap tindakan, dan bisa membuat tulisan ini panjang. Penulis cukupkan langsung dengan menyatakan bahwa batas terakhir untuk jatuh dalam dosa besar bagi heteroseks adalah zina sedang bagi homoseks yang sebenarnya juga berlaku bagi heteroseks adalah liwath.

Bila yang dijadikan parameter al-Quran, cukup indikatif bahwa zina berada satu tingkat di atas liwath. Zina ada istilahnya dalam al-Quran, liwath ada meski dalam bentuk derivasinya homoseksualitas tidak ada. Apa istilah untuk homoseks dalam al-Quran?

Uraian fikih di atas, seperti sudah Penulis katakan, sepenuhnya bersandar pada fikih klasik-konservatif. Untuk menentukan keharaman dengan tegas, apalagi untuk persoalan interaksi sosial, memerlukan dalil yang eksplisit, kalau perlu memakai kata “jangan”. Semakin eksplisit atau tidak ambigu dan semakin termaktub di rujukan level teratas dan dengan otentisitas tertinggi, akan semakin kokoh. Sumber: Fatwaislamweb. (P103/P4)

Mi’raj Islamic News Agency ( MINA )

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.