Ikhwan Basri Komentari Pencabutan Subsidi Gas Elpiji 3 Kg

Jakarta, MINA – Pakar Ekonomi Islam Indonesia, turut mengomentari rencana pemerintah yang akan mencabut subsidi gas 3 kilogram (kg) pada pertengan tahun 2020 ini. Elpiji tabung melon ini akan dijual sesuai dengan harga pasar, sekitar Rp 35.000 per tabungnya.

Menurut Ikhwan, sejak awal pemerintah telah membuat kesalahan, karena tidak bisa membatasi para pembeli gas elpiji 3 kg tersebut. Elpiji bersubsidi itu seharusnya hanya bisa dibeli oleh masyarakat dalam kategori menengah ke bawah, bukan kategori atas atau kalangan mampu.

“Sejak awal pemerintah telah melakukan kesalahan, karena tidak bisa membatasi siapa yang membeli gas 3 kilogram yang seharusnya untuk kalangan menengah ke bawah itu,” kata Ikhwan kepada MINA melalui sambungan telepon pada Rabu (22/1), di Jakarta.

“Kalau suatu pemerintahan menjual suatu barang yang sama dengan harga yang berbeda, satu murah dan satunya mahal, pasti semuanya akan beli yang murah, kecuali ada mekanisme di mana kalangan mampu tidak boleh membeli gas 3 kilogram,” imbuhnya.

Ia menegaskan, hal itu membuktikan sejak awal pemerintah melakukan kesalahan. Jika pemerintah ingin menjual barang yang sama dengan harga berbeda, harus ada mekanisme di mana kalangan masyarakat mampu tidak bisa membeli barang bersubsidi.

“Sekarang begini, gas 3 kg yang awalnya disediakan untuk kalangan menengah ke bawah, tetapi pada kenyataannya kalangan atas membeli juga. Maka yang terjadi permintaan terhadap gas 3 kg itu melonjak, karena orang yang tidak berhak tadi itu ikut pakai juga. Jadi itu salah pemerintah sendiri sebenarnya dari awal,” ujarnya.

Pada akhirnya, menurut Ikhwan, anggaran pengadaan gas 3 kg membengkak. Jika kemudian diganti dengan alternatif seperti bantuan langsung, itu juga tidak mendidik. Secara ekonomi tidak bisa mendidik kecuali apabila orang yang mendapat bantuan langsung itu datanya benar.

“Sebetulnya subsidi itu biasa di negara-negara seperti ini, tetapi harus dilakukan dengan disiplin, dilakukan dengan mekanisme yang benar-benar orang yang akan disubsidi atau kelompok masyarakat yang akan disubsidi itulah yang dapat subsidinya, tidak boleh orang-orang yang di luar itu mendapatkan. Kalau bisa melakukan itu bagus,” paparnya.

Ikhwan mengatakan, subsidi itu sebenarnya tidak boleh stagnan atau berjalan di tempat, harus ada perkembangan yang maju seiring dengan adanya pembangunan-pembangunan.

“Artinya kita mensubsidi orang atau kelompok pendapatan tertentu itu harus ada mekanisme bahwa kelompok pendapatan yang disubsidi itu naik pendapatannya seiring dengan waktu dan pembangunan,” katanya.

“Nah seiring dengan pembangunan tetapi tetap masih disubsidi, pembangunan itu nggak impactnya, karena hasilnya nggak ada. Buktinya masyarakat nggak naik-naik pendapatannya,” demikian Ikhwan Basri. (L/R6/R2)

Mi’raj News Agency (MINA)