Indonesia Mendadak Arab

Ilustrasi. (Katadata)

Oleh: Rendy Setiawan*

Bulan ini tidak seperti bulan-bulan sebelumnya. Sebab, pada awal bulan ini kedatangan tamu besar nan spesial, yaitu Raja Salman bin Abdulazis Al Saud. Dikatakan spesial karena kunjungan ke Indonesia adalah kali kedua kunjungan resmi Kerajaan Arab Saudi setelah hampir setengah abad lamanya semenjak Raja Faisal bin Abdulazis Al Saud pada tahun 1970 silam. Adanya jarak kunjungan lanjutan yang cukup panjang dari raja Arab membuat pandangan masyarakat Indonesia terhadap cita rasa Arab Saudi terasa kian jauh.

Hal itu terlihat dari beberapa meme dan pernyataan dari beberapa kelompok yang seakan memandang wajah Arab Saudi sebagai ‘musuh’ yang perlu diwaspadai. Keseriusan menyebarkan ajaran Islam membuat siapa saja di Tanah Air yang merasa terusik akan menggigil ketika mendengar nama Arab Saudi, dan menggantinya dengan istilah “Wahabi”.

Juga tak jarang pula muncul sebutan dan cuitan yang meledek Arab Saudi seperti “Onta Arab” atau “Raja Onta” mewarnai media sosial di Tanah Air. Hingga komentar miring dari beberapa netizen nakal yang menganggap negeri suku Quraisy itu sebagai pusat teror dunia. Bahkan, itu masih terdengar jelas hingga sebelum kedatangan Raja Salman kemarin.

Kalau kata Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid, anggapan Arab sebagai pusat terror dunia adalah salah besar.

Teringat juga bagaimana Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang sedikit menyinggung Islam dan Arab pada perhelatan ulang tahunnya. “Kalau mau jadi orang Islam jangan menjadi orang Arab…” Begitulah kira-kira bunyi potongan pidato yang hingga saat ini terus menjadi perbincangan publik.

Juga seorang pemuda yang lugu nan polos ditangkap bak gembong teroris karena membawa bendera merah putih bertuliskan kalimat Tauhid. Kalimat itulah yang menjadi alasan bagi polisi menangkapnya dengan sangat dramatis, padahal kalimat di bendera itu adalah sebaik-baik kalimat di muka bumi.

Namun, semua pandangan itu mendadak sirna saat Raja Arab Saudi Salman bin Abdulazis Al Saud mengunjungi Indonesia. Istilah mendadak Arab pun mulai menjadi topik pembahasan yang cukup positif dan populer. Tentu suasana yang tak biasa ini cukup mengundang pandangan-pandangan unik dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh politik perempuan yang jarang terlihat dengan nuansa Arab, menjadi paling Arab, persiapan Gedung Parlemen yang bernuansa Arab Indonesia hingga teriakan histeris wanita-wanita Indonesia yang berebut ingin menjadi ‘pendamping’ Pangeran Arab.

Di lini massa akan bertebaran hal-hal yang berbau Arab, berita seputar Arab dan semua tentang Arab. Meski hanya sementara tapi sepertinya sudah cukup bisa meresap di jiwa rakyat Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya untuk memunculkan rasa bangga menjadi bagian dari Arab. Dan mungkin setiap proyek hasil investasi Arab akan jadi candaan warga “Ini investasi Arab lho, bukan China”. Dan akhirnya Indonesia mendadak Arab.

Mendadak Arab diawali dari sikap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam menyambut kedatangan Raja Arab Saudi di Bandara Halim Perdanakusuma. Dari foto yang beredar di jejaring media sosial, Ahok tampak memakai jas dan peci hitam sedikit membungkuk untuk bersalaman dengan Raja Salman yang memakai bisht, jubah tradisional di Saudi dan sejumlah negara Arab.

Suasana itu pun menuai banyak tanggapan di berbagai media massa. Mulai dari Jonru Ginting yang menganggap foto itu hasil editan dengan menyertakan sejumlah sumber video dari YouTube, sampai para pendukung Ahok yang tetap ‘kekeuh’ bahwa itu foto asli.

Fenomena itu menjadi dalil sohih betapa demam Arab, mendadak Arab mulai menyelimuti masyarakat Indonesia pada hari-hari awal kunjungan Raja Salman dan rombongannya, hingga Ahok pun seakan terseret oleh karismatik seorang Raja Arab, terlepas dari pro dan kontra tentang keaslian foto tersebut.

Hari-hari pertama mendadak Arab juga menyelimuti Kabupaten Bogor. Sepanjang perjalanan Raja Salman bersama rombongan ke Istana Bogor, terlihat bendera kecil Arab dan Indonesia bertebaran dimana-mana yang dipegang oleh masyarakat Bogor, meskipun dalam keadaan diguyur hujan. Lagi-lagi mendadak Arab.

Itu hanya dari sisi situasi penyambutan Raja Salman. Kemudian dari sisi tempat kunjungan yang akan menjadi wilayah destinasi Raja Salman bersama rombongannya, yaitu Jakarta-Bogor-Bali.

Tiga Tempat Kunjungan, Tiga Kriminalisasi Ulama

Satu dari tiga tempat tujuan kunjungan Raja Salman adalah Jakarta. Dalam beberapa pekan terakhir, gonjang-ganjing pemberitaan bahwa lembaga kemanusiannya yang dipimpin Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) dituduh menyokong logistik untuk sebuah kelompok yang terafiliasi ISIS. UBN kemudian membuat pernyataan resmi ke publik bahwa berita itu tidak benar. Itu adalah fitnah yang ingin memecah belah umat, katanya. Intinya, ia tidak terima lembaganya dikait-kaitkan dengan ISIS.

Dari kehebohan tersebut, bergeraklah polisi untuk menelusuri, apakah ada aliran dana ke Suriah untuk kelompok pemberontak disana. Sebab, kemunculan video yang memperlihatkan adanya logistik dengan label IHH tidak mungkin direkayasa. Saat polisi mulai mengusut dugaan keterlibatan UBN dengan jaringan ISIS Suriah, tiba-tiba ia menghilang entah kemana. Lalu muncul kembali. Dan langsung dihadapkan pada sebuah kasus baru yakni Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ternyata, kasus pencucian uang ini punya keterkaitan dengan kasus yang pertama, dugaan keterlibatan dengan ISIS.

Akhirnya, polisi tidak hanya menyelediki kasus dugaan keterlibatan dengan ISIS tapi juga dugaan pencucian uang umat untuk Aksi Bela Islam. Polisi menemukan bukti bahwa ada tindak pidana pencucian uang atas dana yang terkumpul untuk Aksi Bela Islam 411 dan 212.

Dikutip dari Seword, temuan polisi menyebutkan bahwa  sebagian dana digunakan untuk Aksi Bela Islam. Temuan lainnya menyebutkan bahwa sebagian lainnya dialihkan ke beberapa tangan, baik ke pembina, pengurus, pengawas baik dalam bentuk gaji atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang. Ternyata, ada lagi dana yang alirkan ke luar negeri, tepatnya ke Turki. Atas nama Bachtiar Nasir.

Pihak kepolisian kemudian beralasan bahwa temuan ini bermula dari informasi media internasional temuan ILH yaitu adanya kelompok di Suriah yang dianggap kelompok pro ISIS yang dianggap telah menerima dana dari IHH. Disebutlah nama Bachtiar Nasir itu. Begitulah yang disampaikan Kapolri Tito kepada media.

Dengan kunjungan Raja Salman ke beberapa titik penting di pusat Jakarta ini, bisa menjadi titik awal perubahan situasi yang saat ini sedang mendera umat Islam.

Kemudian kunjungan Raja Salman lainnya yaitu ke Bogor, salah satu wilayah yang masuk ke Provinsi Jawa Barat, tempat di mana Imam Besar Front Pembela Islam dan juga Ketua Dewan Pembinan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) yang ikut-ikut terseret kasus. Bedanya, jika UBN diseret dengan kasus tuduhan dukungan terhadap ISIS dan juga TPPU, sementara Habib Rizieq diseret dengan kasus penodaan lambang negara, yang sejatinya apa yang disampaikan Habib Rizieq adalah tesisnya tentang “Pengaruh Pancasila Terhadap Pengamalan Syariat Islam di Indonesia” yang sudah disetujui pihak Universitas di Malaysia.

Mendadak Arab di Jawa Barat yang kemudian diharapkan mampu mengurangi kriminalisasi terhadap ulama.

Kunjungan lainnya, yaitu ke Bali. Lain orang, lain pula kasusnya, begitulah kira-kira anggapan sebagian masyarakat Indonesia melihat situasi yang sedang menimpa beberapa ulama dan tokoh muslim Indonesia. Jika UBN diseret kasusnya di Jakarta, Habib Rizieq di Jawa Barat, maka Munarman, salah satu tokoh sentral GNPF MUI juga mendapat perlakuan yang sama, tetapi dengan kasus dan tempat yang berbeda, dan pilihannya adalah Pulau Dewata Bali dengan kasus tuduhan menyebar fitnah terhadap Pecalang.

Dari kasus tersebut, penyidik telah memeriksa beberapa saksi ahli, di antaranya saksi ahli bahasa, pidana, informasi dan teknologi, sosiologi, dan pihak Kompas Jakarta. Saksi lain yang telah dimintai keterangan di antaranya I Gusti Agung Ngurah Harta, salah satu pembina dan pendiri organisasi Sandi Murti; Gus Yadi dari salah satu pondok pesantren di Denpasar; warga Denpasar, Arif Melky Kadafuk; dan Ketua Pecalang Bali Made Mudra.

Dikutip dari Tempo, penyidik telah memintai keterangan Zet Hasan, yang merupakan pelapor dalam kasus yang melibatkan salah satu petinggi FPI itu. Ketua GP Anshor Kabupaten Badung Imam Bukhori juga dimintai keterangan penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus.

Saksi-saksi tersebut sebelumnya turut mendampingi Zet Hasan untuk melaporkan dugaan fitnah yang dilakukan Munarman dengan menuding pecalang melakukan pelemparan rumah penduduk dan melarang umat Islam melakukan salat Jumat, seperti terekam dalam video saat dia mendatangi kantor Kompas di Jakarta yang diunggah Markaz Syariah pada 17 Juni 2016 dalam situs YouTube.

Polisi mengenakan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 a ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE menyangkut ujaran kebencian dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara.

Dan lagi-lagi, Raja Salman mengunjungi tempat di mana tokoh muslim dikriminalkan. Menurut Hidayat Nur Wahid, itu adalah bukti bahwa Raja Salman sangat memperhatikan lokasi-lokasi strategis di Indonesia. Sebagai seorang muslim, Raja Salman memahami pentingnya hubungan antar agama. Sehingga Raja Salman merasa perlu mengunjungi Bali.

“Kunjungan ini menunjukkan Islam bisa hidup berdampingan dengan ajaran agama lain,” kata Hidayat Nur Wahid.

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar, maka tak salah jika kemudian di hari kunjungan Raja Salman yang merupakan seorang pucuk tertinggi dari sebuah negara Islam, disambut sesuai dengan adat mereka. Dan dalam beberapa hari ke depan, masyarakat Indonesia akan disuguhi nuansa Arab. (R06/P02)

*Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)