Oleh Bahron Ansori, Redaktur MINA
Rasanya tak ada orang yang mau disebut sebagai orang bodoh, siapa pun dia. Tapi, tahukah kita siapa sebenarnya orang yang bodoh menurut Islam?
Abu Darda ra berkata, “Tanda orang bodoh itu ada tiga: pertama, bangga diri (ujub). Kedua, banyak bicara yang tidak ada manfaatnya. Ketiga, melarang orang lain berbuat buruk, tapi ia sendiri malah melakukannya.” (‘Uyuunu Al Akhbaar, karya Ibnu Qutaibah II/39).
Apa makna dari perkataan Abu Darda di atas? Pertama, orang yang bodoh adalah orang yang bangga dengan dirinya sendiri. Artinya ia sombong dan merasa paling hebat, pintar, baik, kaya, dibanding orang lain. Penyakit serba “paling” telah menjangkiti hatinya.
Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”
Rasulullah SAW mengancam orang yang sombong ini dalam sabdanya, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat perasaan sombong meskipun hanya sebesar biji sawi.” (HR. Nasa’i).
Kedua, banyak bicara yang tidak ada manfaatnya termasuk tanda orang bodoh. Ada banyak sabda Nabi SAW tentang larangan bicara jika tidak baik. Nabi SAW bersabda, “Siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berbicara yang baik atau diam.” (HR. Bukhari).
Jika dibalik, maka makna dari hadis di atas sangat jelas, Nabi SAW memberi ancaman bagi siapa saja yang tidak beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka silahkan bicara yang tidak ada manfaatnya. Tapi jika ia beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka sebaiknya ia bicara yang baik-baik saja. Jika tidak mampu, maka diam tentu lebih baik baginya.
Saking pentingnya perintah menjaga lisan ini, sampai Nabi SAW menjamin Surga bagi siapa saja yang mampu bicara baik. Nabi SAW bersabda, “Siapa yang memberi jaminan kepadaku untuk memelihara di antara rahangnya (mulut) dan di antara kedua pahanya (kemaluan) niscaya aku menjamin baginya surga.” (HR. Bukhari).
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
Ketiga, melarang orang lain berbuat buruk, tapi ia sendiri melakukannya. Iman dan amalnya tidak sejiwa. Allah SWT mengancam orang-orang seperti ini seperti dalam firman-Nya, ““Mengapa kalian mengajak orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri (akan kewajiban)mu sendiri, padahal kalian membaca Al kitab? Maka tidaklah kalian berfikir?” (Qs. Al-Baqarah: 44).
Pertanyaan di atas dimaksudkan sebagai teguran yang keras dan kritikan pedas terhadap orang yang mengajak kebajikan akan tetapi dia sendiri lalai menjalankan tugas. Sebagian ulama berpendapat, arti kata “Al birr” (kebajikan) dalam ayat di atas adalah berpegang teguh pada taurat.
Terkait hal di atas, dalam Shahih Al Bukhari (hadis no; 1356) dari Anas ra ia berkata, “Ada seorang anak Yahudi membantu Nabi Muhammad SAW, ketika anak itu jatuh sakit, Nabi SAW menjenguknya. Lalu, Nabi SAW duduk disamping kepalanya sambil berpesan: “Masuklah Islam”, anak itu menoleh ke wajah ayahnya minta persetujuan. Maka ayah yang ada disampingnya menjawab, “Taatilah Abul Qasim.” Ayah anak yang Yahudi itu mengizinkan anaknya masuk Islam, tapi ia sendiri masih tetap dalam kekufurannya. Wallahua’lam. (A/RS3/RS2/)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal