Inti Kekuatan Islam (Oleh: Dr. Adian Husaini)

Oleh: , Ketua Umum DDII

Tahun 1969, menyusul kekalahan Arab dalam Perang Tahun 1967, Dr. Yusuf Qaradhawi menulis satu buku berjudul: “Dars an-Nukbah ats-Tsaniyah: Limadza Inhazamnaa wa Kaifa Nantashir.” (Diterbitkan di Indonesia tahun 1988 oleh Pustaka Bandung dengan judul: “Mengapa Kita Kalah di Palestina?”).

Dalam bukunya, Syeikh al-Qaradhawi menegaskan: “Satu hal yang amat saya tegaskan di sini adalah keharusan kita untuk kembali kepada Islam. Islam yang benar. Islam yang menyeluruh yang mengembalikan diri kita – sebagaimana yang dulu pernah terjadi – menjadi sebaik-baik ummat yang pernah dihadirkan untuk seluruh ummat manusia. Tanpa kembali kepada Islam, maka nasib yang akan kita alami, sungguh amat mengerikan, dan masa depan pun akan demikian gelap gulitanya.”

Tokoh misionaris Kristen Dr. Samuel Zwemmer pernah menjelaskan tentang : “The strength of Islam is not in its devotion to Mohammed, nor in its ritual and pilgrimage, not even in its innate political character, but in its tremendous and fanatical grasp on the one great truth monotheism  an idea which holds the Moslem world even more than Moslems hold it.”

Jadi, menurut Zwemmer, kekuatan Islam terletak pada karakteristik Islam itu sendiri; pada konsepsi Islam, pada the character of Islam. Karena itu, tidak heran, jika kemudian salah satu cara untuk menghancurkan umat Islam adalah dengan cara merusak karakter ajaran Islam itu sendiri.

Yakni, dengan membuat rumusan ‘ajaran Islam palsu’, yang membuat kaum muslim kehilangan jati dirinya sebagai muslim. Ibarat makanan, nilai gizinya hilang. Akhirnya, makanan itu bukan menyehatkan, tetapi justru melemahkan tubuhnya.

Islam memiliki ajaran berdasarkan wahyu yang otentik dan terjaga sepanjang zaman. Ajaran Islam telah diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ajaran inilah yang diyakini dan diamalkan oleh umat Islam, sehingga mereka menjadi umat yang unggul.

Dengan pendidikan yang menerapkan ajaran Islam yang benar, kualitas kaum muslimin jauh di atas umat lain, meskipun kaum muslim merupakan minoritas. Dalam Perang Yarmurk, puluhan ribu pasukan Islam mampu menaklukkan ratusan ribu pasukan Romawi. Dengan kualitas dan keyakinan yang tinggi, kaum muslim mampu memimpin Andalusia selama hampir 800 tahun!

Dengan pendidikan yang benar pula, generasi santri 1945 sanggup mengusir pemenang Perang Dunia kedua. Dan kini, jika dididik dengan benar, InsyaAllah, jutaan murid, santri, dan mahasiswa akan sanggup mengatasi berapa pun jumlah penjajah dan penjarah yang datang ke negeri kita!

Sebab, bukan jumlah yang utama. Tetapi, umat yang berkualitas tinggi, jiwa dan raga. Tahun 1938, Mohammad Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: “Suara Azan dan Lonceng Gereja”. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung pentingnya peran pendidikan model Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya.

Pak Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam, “Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pengajaran dapat melepaskan kaum Muslimin dari genggaman Islam).

Selama ratusan tahun, penjajah belum berhasil meruntuhkan “bangunan pemikiran Islam”. Mereka memang menguasai ekonomi, politik, dan militer kaum muslimin. Namun, mereka belum berhasil meruntuhkan fondasi bangunan umat Islam. Umat Islam masih merdeka dalam menentukan pendidikan dan pemikirannya sendiri.

Para ulama, kyai, pimpinan dan guru-guru pesantren masih mampu dan berani memilih jalan merdeka dalam pendidikan. Mereka merumuskan sistem dan kurikulum pendidikannya sendiri, sesuai tradisi pendidikan Islam selama ratusan tahun. Mereka lebih mendahulukan adab daripada ilmu, seperti kata-kata terkenal Umar bin Khathab r.a.: ‘taaddabuu tsumma ta’allamuu’ (beradablah kalian, kemudian berilmulah kalian).

Para ulama dan para guru dahulu memegang prinsip pendidikan Islam itu dengan teguh. Keikhlasan dan adab dalam mencari ilmu ditegakkan. Jangan sampai anak diberikan ilmu yang tinggi, sebelum adab dan akhlaknya baik. Itu untuk mencegah lahirnya para penjahat berilmu tinggi.

Kini… ribuan cendekiawan muslim dengan bangga dan sukarela menjadi agen pemikiran sekular-liberal. Ilmu dipisahkan dari amal. Adab dan akhlak mulia tidak lagi diutamakan. Karena berbagai hal, jutaan orang tua muslim ‘terpaksa’ menyerahkan anak-anaknya yang pintar untuk dididik di lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang jelas-jelas mengarahkan mahasiswanya menjadi manusia pecinta dunia (hubbud-dunya). Gengsi dan materi lebih diutamakan ketimbang keselamatan iman dan akhlak mulia.
Maka, sekali lagi, renungkanlah ungkapan Snouck Hurgronje: dengan pendidikan dan pengajaran, kaum muslimin dilepaskan dari belenggu agamanya.

Sejatinya, sangatlah tidak lazim jika lembaga pendidikan Islam justru tunduk pada kriteria-kriteria sekular-liberal untuk meraih predikat keunggulan. Adalah musibah yang sangat dahsyat, jika kampus-kampus berlabel Islam tidak menjadikan aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia sebagai kriteria utama keunggulan dan kelulusan sarjananya.
Lembaga atau organisasi Islam akan kehilangan kader-kader unggulan. Sebab, lembaga pendidikan tinggi organisasi Islam itu sendiri tidak dipercaya untuk mendidik kader-kader terbaiknya.

Di era disrupsi, lembaga-lembaga pendidikan Islam memiliki peluang besar untuk tampil menjadi yang unggul dan terbaik. Tentu saja, tantangannya sangat berat. Sering terjadi, umat Islam sendiri tak percaya dengan kualitas pendidikan Islam, karena salah persepsi.

Sekarang, bukan saatnya hanya menuding keluar. Perlu introspeksi internal kita, agar kita mempu melakukan koreksi internal dan perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan. Masalah utama kita ada dalam diri kita sendiri. Laksana lemahnya imunitas iman dan pemikiran. Karena itu, yang perlu dibangun dengan sungguh-sungguh adalah meningkatkan imunitas jiwa dan raga. Wallahu A’lam bish-shawab. (14 Juni 2021). (A/R4/P2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)