I’TIKAF WANITA

(Foto: Ilustrasi)
(Foto: Ilustrasi)

Oleh : Shobariyah Jamilah/ Wartawati Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

I’tikaf termasuk amal shalih yang disyariatkan pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan. Dan sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terahir dari Ramadhan itu. Dalam Shahih Al-Bukhari (2026) dan Muslim (1172) dari jalur ‘Urwah, dari Aisyah radliyallaahu ‘anha,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan hingga Allah mewafatkannya. Kemudian i’tikaf dilanjutkan oleh istri-istri beliau”.

Hal itu menunjukkan bahwa i’tikaf disyariatkan bagi kaum laki-laki dan wanita. Para ulama juga telah berijma’ (bersepakat) i’tikaf laki-laki tidak sah kecuali di masjid. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

1. Pengertian I’tikaf

I’tikaf menurut bahasa, berarti mengurung diri, untuk suatu hal yang baik maupun buruk. Seperti yang terkandung dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَىٰ أَصْنَامٍ لَهُمْ …
“Suatu kaum yang tetap (mengurung diri) menyembah berhala mereka” (Al- A’raf: 138)

Sedangkan menurut syari’at, I’tikaf berarti berdiam diri di dalam masjid, sebagai wujud ketaatan kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud”.(QS. Al Baqarah : 125).

2. Dalil Disyariatkannya I’tikaf

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggalnya. (Muttafaq Alaihi)
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pernah beri’tikaf pada sepuluh malam yang terakhir dari bulan Ramadhan, sampai saat beliau dipanggil Allah Azza wa Jalla (meninggal dunia)” (Muttafaq ‘alaihi)
Juga dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu , ia menceritakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّه– صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam beri’tikaf pada sepuluh malam yang terakhir dari bulan Ramadhan” (HR. Muslim).

3. Rukun I’tikaf

1. Niat
2. Dilakukan di masjid
3. Menetap di Masjid

4. Pembatal I’tikaf (iktikaf)

1. Hubungan biologis dan segala pengantarnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ

“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. tulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya”. (QS. Al-Baqarah : 187)
2. Keluar masjid tanpa kebutuhan.
3. Haid dan nifas.
4. Gila atau mabuk.

Jika wanita yang beri’tikaf itu haid maka diharuskan keluar dari masjid bagi wanita yang mendapatkan masa haidnya ketika beri’tikaf. Ini merupakan kesepakatan yang tidak dapat diperdebatkan lagi. Karena, haid merupakan hadats yang melarang seorang untuk berdiam di masjid. Kedudukannya sama dengan hukum jenabat.
Jika kembali dari rumahnya setelah suci dari haid, maka ia boleh masuk ke tempat I’tikaf dan berkewajiban mengganti waktu yang ditinggalkannya, akan tetapi, tidak ada kafarat baginya. Karenanya keluarnya itu merupakan tindakan yang diwajibkan.

5. Yang Diperbolehkan Ketika I’tikaf (iktikaf)

1. Keluar masjid karena kebutuhan mendesak, seperti: makan, buang hajat, dan hal lain yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid.
2. Mengeluarkan sebagian anggota badan dari masjid.
3. Makan, minum, tidur, dan berbicara.
4. Wudhu di masjid.
5. Bermuamalah dan melakukan perbuatan (selain ibadah) di masjid, kecuali jual beli.
6. Menggunakan minyak rambut, parfum, dan semacamnya.

6. Yang Dimakruhkan Ketika I’tikaf (iktikaf)

1. Menyibukkan diri dengan kegiatan yang tidak bermanfaat, baik ucapan maupun perbuatan.
2. Tidak mau berbicara ketika i’tikaf (iktikaf), dengan anggapan itu merupakan bentuk ibadah. Perbuatan ini termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya.

7. I’tikaf (iktikaf) bagi Wanita

Wanita Muslimah diperbolehkan I’tikaf di masjid manapun, karena tidak ada kewajiban baginya untuk mengerjakan I’tikaf di masjid yang biasa digunakan untuk shalat berjama’ah. Akan tetapi tidak diperbolehkan I’tikaf di rumah, demikian menurut Imam Syafi’i.

Di Samping itu, karena ketika isteri-isteri Rasulullah memohon izin untuk beri’tikaf di masjid, beliau mengizinkan mereka. Seandainya masjid itu bukan tempat I’tikaf bagi mereka, niscaya beliau tidak akan mengizinkan. I’tikaf merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan syarat dikerjakan di masjid bagi laki-laki, maka hal itu juga disyaratkan bagi wanita.

Diperbolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf bersama suaminya atau sendirian, dengan syarat: ada izin dari walinya (suami atau orang tuanya) serta aman dari fitnah atau berdua-duaan dengan laki-laki. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan sampai Allah merwafatkan beliau. Kemudian para istri beliau beri’tikaf setelah beliau meninggal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Diperbolehkan bagi wanita mustahadhah untuk melakukan i’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang istihadhah beri’tikaf bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang wanita ini melihat darah kekuningan dan darah kemerahan ….” (HR. Al-Bukhari).

Jika mengalami hal ini, hendaklah wanita muslimah berhati-hati dan memperhatikan agar tidak menyebarkan bau tidak sedap di masjid. Jika tidak mungkin untuk ditahan, maka diperbolehkan baginya keluar dari masjid untuk menjaga masjid dari najis tersebut.

Maka bagi muslimah diperbolehkan untuk beri’tikaf di masjid, dan disyaratkan bagai wanita muslimah yang hendak beri’tikaf hendaknya ia suci dari nifas, haid dan jima’. Disunnahkan juga bagi wanita muslimah yang beri’tikaf untuk memperbanyak shalat, membaca Al Qur’an, berdzikir dan beribadah lainnya serta disunahkan menghindari segala perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. (T/P010/R2)

Sumber:
Syaikh kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0