Oleh : Syeikh Nashir bin Sulaiman al ‘Umri
Mantan Sekjen Rabitah Alam Islami
Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang sama-sama kuat. Pertama pendapat jumhur Ulama yang mengatakan awal waktu masuk itikaf adalah sebelum maghrib malam ke 20 hingga berakhir 10 malam akhir, sebab Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menganjurkan itikaf selama 10 hari di akhir Ramadhan. Dengan begitu siapa yang masuk masjid usai matahari tenggelam berarti hal itu tidak disebut sebagai orang yang beritikaf secara sempurna 10 hari akhir Ramadhan.
Pendapat lain menyebutkan waktu itikaf masuk saat usai subuh di hari ke 21 Ramadhan. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah RA bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam apabila hendak itikaf 10 hari akhir beliau shalat subuh lalu memasuki tempat itikafnya.
Baca Juga: Imaam Yakhsyallah : Berdoa Setelah Khatam Quran Akan Diaminkan Empat Ribu Malaikat
Namun ada yang perlu ditinjau dari hadits tersebut. Jika beliau shallallahu’alaihi wa sallam masuk tempat itikaf usai shalat subuh berarti beliau kehilangan malam ke 21. Dan jika kehilangan 1 malam dari 10 malam berarti tidak disebut beritikaf 10 hari. Terlebih waktu itikaf adalah 10 malam. Dan beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak menyebut 10 hari.
Itikaf identik dengan malam. Beliau mengatakan 10 malam atau 9 malam. Sehingga orang yang tidak masuk itikaf kecuali usai shalat subuh bagaimana mungkin ia disebut telah beritikaf 10 malam ?.
Atau kita katakan ia itikaf 10 hari akhir sedangkan ia telah meninggalkan 1 malam penuh tanpa itikaf. Satu malam yang dalam banyak hadits bisa saja menjadi malam lailatul qadar.
Lalu bagaimana kita mengkompromikan antara hadits yang menyebut beliau shallallahu’alaihi wa sallam masuk tempat itikafnya usai subuh dengan hadits Abu Sa’id tentang 10 hari akhir dan hadits-hadits lain yang serupa ?
Baca Juga: Ustaz Wahyudi KS: Semangat Dakwah Nabi Muhammad adalah Damai dan Kasih Sayang
Caranya mudah dan jelas. Meski banyak ulama besar yang berpegangan dengan pendapat kedua. Namun pendapat pertama yang dipegang jumhur ulama punya dalil yang lebih jelas.
Selama kita bisa mengkompromikan dalil-dalil dari masing-masing pendapat maka hal ini lebih baik dibanding berpegang pada satu dalil namun membuang dalil lain.
Para ulama mengatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam masuk masjid sebelum maghrib di hari ke 20 dan menunaikan shalat di malam 21. Lalu beliau memasuki mu’takaf (tempat itikafnya), yakni semacam tenda yang dipasang di dalam masjid, usai shalat subuh. Beliau memasukinya usai mengimami shalat subuh.
Dan tempat demikian disebut mu’takaf secara khusus. Seperti hadits yang menyebut bahwa “Haji adalah ‘Arafah.” Padahal kita tahu bahwa haji bukan hanya wukuf di Arafah. Dan orang yang berhaji hanya dengan mendatangi Arafah saja, tidak melakukan thawaf, tidak sa’I, tidak melempar jumrah dan tidak pula pergi ke Muzdalifah, tidak disebut orang tersebut sedang menunaikan ibadah haji. Namun demikian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan, “Haji adalah (wukuf) di Arafah.”
Baca Juga: Bagaimana Kita Mengisi Itikaf (1)
Maksud hadits tersebut adalah wukuf di Arafah merupakan rukun terbesar haji. Begitu pula maksud dari tenda yang dipasang di dalam masjid untuk tempat itikaf. Padahal tanpa itupun kegiatan itikaf di bagian manapun di dalam masjid tetap disebut sebagai itikaf.
Kesimpulannya, beliau shallallahu’alahi wa sallam masuk masjid sebelum maghrib hari yang ke 21, yakni di hari ke 20 dan masuk tempat itikafnya usai shalat subuh di hari ke 21. Dengan demikian kita telah mengkompromikan ke dua dalil tersebut. Maka hilanglah permasalahan ikhtilaf itu dan pandangan demikianlah yang rajih.
Kapan waktu keluar itikaf ?
Jumhur ulama berpendapat bila seseorang tidak keluar itikaf kecuali untuk shalat id maka hukumnya mustahab. Namun jika ia keluar usai tenggelam matahari di hari akhir Ramadhan maka telah sempurna itikafnya. Demikian telah menjadi ijma’ ulama.
Baca Juga: Syarat Masjid Untuk Itikaf dan Hukum Keluar Masjid
Hanya saja jumhur ulama, berdasarkan pada kebiasaan salaf, mengatakan yang lebih utama adalah ia tetap berdiam diri hingga tidak keluar kecuali untuk menunaikan shalat ied. Agar terjadi persambungan antara dua ibadah (itikaf dan shalat id). Inilah yang dilakukan oleh para salaf. Meskipun bukan satu kesalahan seseorang yang keluar usai maghrib. (T-A/RA 02)
Sumber : Saaid.net