Oeh: Sajadi, Wartawan MINA
Bulan ini atau tepatnya 5 Agustus 2021 menandai peringatan tahun kedua pencabutan status khusus wilayah Kashmir yang dikelola India.
Pemerintah India yang dipimpin oleh Perdana Menteri Narendra Modi menghapus status khusus kawasan yang dijamin oleh konstitusi beberapa dekade lalu dan mengubah satu-satunya negara bagian mayoritas Muslim di negara itu menjadi wilayah yang dikendalikan oleh federal (pemerintah pusat).
Hal itu termasuk penghapusan larangan pemukiman permanen non warga Kashmir di wilayah tersebut. Sebuah langkah yang ditakuti penduduk setempat, khawatir membawa perubahan perimbangan (demografis) di wilayah tersebut.
Baca Juga: Gunung Berapi Kanlaon di Filipina Meletus, 45.000 Warga Mengungsi
Sementara itu, pemerintah sayap kanan Partai Bharatiya Janata (BJP) mengklaim perubahan tersebut akan menghasilkan pembangunan wilayah yang lebih baik dan meningkatkan ekonominya.
Tetapi para ahli dan analis politik mengatakan situasinya hanya bertambah memburuk dalam dua tahun terakhir.
Menurut laporan Al Jazeera, selama dua tahun terkahir, aktivitas politik di wilayah tersebut membeku, ekonomi lesu, sementara hak-hak rakyat ditekan melalui peraturan undang-undang yang ketat.
Kekosongan Politik
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan
Pemilihan negara bagian terakhir di Kashmir yang dikelola India diadakan pada tahun 2015. Saat itu sebuah partai pro-India regional, Partai Demokrat Rakyat (PDP), bersekutu dengan BJP untuk membentuk pemerintahan.
Namun pemilihan regional dan nasional yang mereka adakan ditentang oleh kelompok-kelompok separatis di kawasan itu, yang menuntut penggabungan dengan negara tetangga, Pakistan atau membentuk negara merdeka.
Pada tahun 2018, BJP menarik dukungannya kepada PDP, menggulingkan pemerintah dan menempatkan negara bagian itu di bawah pemerintahan langsung New Delhi.
Tahun berikutnya, pemerintahan Modi menghapus Pasal 370 dan 35A yang memberikan otonomi kepada Kashmir. Lusinan politisi dari wilayah tersebut, bahkan termasuk tiga mantan menteri utama yang tergabung dalam partai-partai pro-India ditangkap. Beberapa dari mereka terus berada di penjara.
Baca Juga: Jumat Pagi Sinagog Yahudi di Meulbourne Terbakar
Sementara itu, wilayah itu kemudian dibagi menjadi dua yang dikendalikan oleh federal, yaitu Jammu dan Kashmir serta Ladakh. Sejauh ini tidak ada lagi pemilihan legislatif yang diumumkan.
Penindasan Hak-Hak Sipil
Sebuah laporan setebal 78 halaman, berjudul “Dua Tahun Penguncian: Hak Asasi Manusia di Jammu dan Kashmir” yang dirilis oleh kelompok masyarakat sipil India, Forum Hak Asasi Manusia Jammu dan Kashmir, pada Rabu (4/8) menyimpulkan bahwa situasi keamanan di Kashmir memburuk.
Laporan tersebut merujuk pada meningkatnya kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk tindakan keras terhadap mereka yang berbeda pendapat, penangkapan aktivis dan penggunaan hukum kejam terhadap jurnalis.
Baca Juga: Taliban Larang Pendidikan Medis Bagi Perempuan, Dunia Mengecam
Laporan itu juga mengatakan, hampir 1.000 orang masih dipenjara, termasuk anak di bawah umur dan anggota parlemen terpilih.
Beberapa dari mereka dijerat dengan Undang-Undang Aktivitas Melanggar Hukum (Pencegahan) atau UAPA.
Pengacara dan aktivis Habeel Iqbal mengatakan, dalam dua tahun terakhir, UAPA telah digunakan di Kashmir yang dikelola India sebagai “alat untuk memperketat kontrol atas penduduknya”.
Iqbal mengatakan, ternyata dilakukan atas nama keamanan, tapi motif sebenarnya sepertinya politis. Orang ditahan selama berbulan-bulan tanpa diadili dan pengadilan digunakan untuk melegitimasi ekses dan kesewenang-wenangan polisi.
Baca Juga: PBB akan Luncurkan Proyek Alternatif Pengganti Opium untuk Petani Afghanistan
Tenggelamnya Perekonomian
Diperkirakan dampak terburuk dari keputusan pencabutan status khusus Kashmir pada 5 Agustus 2019 adalah di sektor ekonomi.
Sheikh Ashiq, Presiden Kamar Dagang dan Industri Kashmir mengatakan, ekonomi kawasan itu telah menderita kerugian senilai $7 miliar dalam dua tahun penguncian berturut-turut, pertama karena pencabutan status khusus dan kemudian karena pandemi virus corona.
Ashiq mengatakan setidaknya 500.000 warga Kashmir telah kehilangan pekerjaan mereka sejak 2019, termasuk hampir 60.000 pekerja di sektor pariwisata dan hortikultura unggulan.
Baca Juga: Polisi Mulai Selidiki Presiden Korea Selatan terkait ‘Pemberontakan’
Dengan ekonomi wilayah yang ada di ambang kehancuran, bisnis lokal tidak berharap investasi baru di wilayah tersebut. (A/RE1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Korut Tegaskan Dukungan kepada Rusia dalam Menghadapi Ukraina