Oleh Thobib Al-Asyhar, Penulis Buku, Dosen Psikologi Islam Universitas Indonesia
Saya bukan ahli qiraah. Bukan pula hyperpoliglot (ahli penuturan berbagai bahasa). Tapi saya senang mengamati orang-orang yang memiliki keahlian dalam penuturan berbagai bahasa asing.
KH. Agus Salim, misalnya, salah satu orang Indonesia yang bisa disebut sebagai hyperpoliglot. Termasuk juga Soekarno, Hatta, Syahrir, dan founding father bangsa kita lainnya.
Bahkan ada remaja putri (14 tahun) asal Ambon, Gayatri Mailissa, yang memiliki kecerdasan bahasa dengan menguasai 14 bahasa asing. Sayangnya usianya tidak lama, dia meninggal dunia di usia yang sangat belia.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Ya, saya kagum sama mereka yang memiliki kemampuan berbahasa asing dengan fasih. Saya, terus terang, memiliki penguasaan bahasa asing biasa saja, bahkan ada yang bilang buruk. Tapi tidak apa-apa, saya akui, dan ingin terus belajar. Setidaknya, kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih, dengan beragamnya metode dan media penerjemahan bahasa asing, saya cukup terbantu untuk bisa mengerti bahasa asing, khususnya bahasa tulis.
Nah, yang saya bahas di sini bukan soal itu. Tapi soal kehebatan lisan orang Indonesia saat membaca ayat-ayat Alquran. Saya bilang dahsyat. Kenapa? Sebelum saya bahas, saya ingin membuktikan betapa banyak orang Indonesia yang mampu menjuarai MTQ tingkat internasional.
Apalagi di level regional, para qari Indonesia menjadi pelanggan juara, baik dalam pelafalan bacaan secara tartil, keindahan, maupun hafalan. Kok bisa ya? Katanya orang Indonesia bodoh-bodoh? Katanya banyak yang tidak bisa baca Alquran? Kok bisa bangsa ini mampu mengalahkan qari dan qariah dari negara Arab dan Persia yang sejatinya mereka sangat dekat dengan pusat berkembangnya Alquran yang diturunkan di negeri Arab?
Terus apa kehebatan lisan orang Indonesia? Sebentar yah! Sebelum saya menjelaskan soal ini, saya ingin bercerita sedikit.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Suatu kali saya shalat berjamaah dzuhur di Masjid “Ukhuwwah Islamiyah” Universitas Indonesia, Depok. Selepas shalat, ada pengajian yang diisi oleh seorang ustadz dengan tema kemu’jizatan Alquran.
Sambil wirid, saya mendengar sang ustad menjelaskan bahwa bahasa Alquran (Arab) adalah bahasa sorga yang pengucapannya sesuai dengan anatomi jiwa dan tubuh manusia. Ustad tesebut kemudian meminta dua orang jamaah untuk maju ke depan. Yang satu disuruh baca surat Alfatihah dengan cepat, yang satu lagi disuruh baca teks Pancasila dengan cepat. Saat keduanya membaca cepat sesuai arahan, yang membaca Alfatihah berhasil karena bisa membaca cepat, sementara yang baca teks Pancasila justeru blebotan, tidak lancar, dan akhirnya ketawa.
Lalu sang ustad berkata, apa maknanya dari fenomena ini? Ia menegaskan bahwa bahasa Arab itu sesuai dengan anatomi jiwa dan lisan manusia, sehingga mudah dilafalkan dan dihafal. Banyak orang Islam yang hafal Alquran utuh 30 Juz. Sedangkan tidak banyak orang Nasrani atau Yahudi yang hafal kitab sucinya dengan detail. Demikian halnya lisan orang Indonesia, meskipun dia hafal teks-teks Indonesia tidak semudah mengucapkannya seperti teks Arab (Alquran).
Benarkah pernyataan ustad tersebut? Bisa jadi benar, bisa jadi pula salah, atau setidaknya tidak tepat menurut saya. Sebagaimana saya sampaikan bukti-bukti kenapa orang Indonesia mampu tampil bersaing dalam bacaan Alquran dengan orang-orang Arab yang nota bene asal Alquran diturunkan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Hal ini menurut saya tidak terlepas dari “keajaiban” lisan orang Indonesia yang sangat dekat dengan penuturan lisan Arab. Jika bukan karena “keajaiban” lisan Indonesia, niscaya qari dan qariah Indonesia tidak akan pernah tampil di pentas-pentas dunia. Faktanya, banyak muslim Indonesia yang fasih, bahkan sangat fasih melafalkan teks Arab dibandingkan dengan muslim di belahan dunia lain di luar Arab. Kalau orang Arab fasih bahasa Arab, lha memang harus begitu. Kalau orang Arab gak bisa bahasa Arab, namanya orang bisu, atau gagu. Betul nggak?
Terus apa rahasianya? Saat saya ikut Training of Trainer (TOT) Membaca Cepat Alquran Metode “Mama-Papa” yang dikarang oleh Ustad Muhammad Taslim, awalnya tidak percaya. Namun setelah mengikuti training-nya, saya justeru menemukan “unsur penting” di sini, bahwa penuturan teks Arab bagi orang Indonesia justeru sangat mudah.
Kenapa? Karena lisan orang Indonesia memiliki kedekatan dengan penuturan bahasa Alquran (Arab). Kesimpulan saya ini kemudian saya hubungkan dengan banyaknya orang Indonesia yang memiliki kemampuan bahasa Arab dengan fasih. Banyak orang kita yang juga hafal Alquran. Banyak pula orang Indonesia yang secara instan bisa baca Alquran. Berbagai metode baca Alquran ditemukan di negeri ini, dan cocok untuk lisan orang Indonesia atau Melayu.
Dalam metode tesebut, demikian juga halnya metode Qiraati, An-Nur, dan mungkin lainnya, saya temukan pendekatan tutur bahasa Indonesia yang dapat menjadi “perantara” dalam bacaan teks Alquran. Sebagai contoh, untuk pengenalan huruf Hijaiyyah alif, dal, mim, fa’, kaf, sin, dan ya’ dengan kombinasi harakat (aksesories) atas, bawah, dhammah, dan sukun, ditemukan teks yang berbunyi:saya mamimu, siyafa kakamu, ida kakaku, mamimu mamiku, sakuku sakuku, dasiku dasiku, mama sama kakak masak ayam, musik damai sampai masuk sukma, jaari kakiku itu ada lima (dengan variasi panjang dan pendek) dan lain-lain.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Contoh kalimat-kalimat tersebut menunjukkan bahwa istilah, kata, dan pengucapan bahasa Indonesia sangat membantu dalam pembelajaran baca Alquran (Arab). Artinya dari aspek ini, lisan Indonesia memiliki irisan dengan bahasa Arab yang secara alamiah memudahkan orang Indonesia (Melayu) dalam membaca Alquran.
Selain pola-pola itu, saya juga meyakini bahwa orang-orang tua kita yang menggunakan tulisan Arab pegon atau tulisan bahasa Indonesia (Melayu) dengan menggunakan huruf hijaiyyah.
Demikian halnya bahasa Jawa yang menggunakan huruf hijaiyyah di pesantren untuk memaknai teks kitab kuning saat mengaji dengan Arab gandul. Penggunaan huruf hijaiyyah berbahasa Jawa yang dikenal dengan istilah “utawi iku”untuk memahami kitab kuning menjadi ciri utama pesantren. Dengan pendekatan ini, pesantren memiliki karakteristik yang menerapkan pola pembelajaran sesuai dengan psikologis dan konteks sosial santri.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa lisan orang Indonesia memiliki kedekatan dengan lisan Arab, dalam arti pengucapannya. Meskipun ada yang mengatakan bahwa bahasa Arab sesuai dengan anatomi jiwa manusia yang dapat dipelajari dan dihafal dengan mudah, namun sebagai orang Indonesia, menurut saya, harus bersyukur karena memiliki irisan sebagian pengucapan dengan teks-teks Arab. Maka tidak heran, meskipun Indonesia berada sangat jauh dengan tradisi Arab, tetapi banyak umat Islam Indonesia justru mampu membaca, menguasai, dan fasih dalam pengucapan teks-teks Arab, bahkan gundul sekalipun.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Tentu ini menjadi kesempatan bagi kita untuk memajukan bahasa Arab. Dengan potensi ini umat Islam Indonesia harus lebih banyak lagi yang bisa membaca Alquran untuk memberantas buta aksara Alquran yang konon mencapai 60% dari total jumlah umat. Setiap kita harus mendorong agar umat ini lebih dekat dengan bahasa Arab, khususnya kitab suci Alquran. Jika apa yang saya paparkan itu benar adanya, maka patut rasanya kita bangga menjadi orang Indonesia yang beragama Islam, apalagi ada yang berpendapat bahwa kemajuan dunia Islam akan dimulai di negeri ini. Ditambah pula watak keberagamaan umat Islam Indonesia yang ramah, toleran, dan welas asih. Wallahu a’lam. (P010/P4)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?