Bangkok, 4 Jumadil Akhir 1437/13 Maret 2016 (MINA) – Dua belas tahun setelah hilangnya seorang pengacara Muslim Thailand terkemuka, Somchai Neelapaijit, sebuah kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) berbasis di Amerika Serikat mendesak pemerintah militer Thailand untuk membuka kembali penyelidikan kasus tersebut dan untuk membuat semua informasi kepada publik.
Muslim News menyebutkan, desakan diajukan Jumat (11/3), saat 12 Maret 2004, Somchai Neelapaijit, Direktur Asosiasi Pengacara Muslim Thailand, dipaksa masuk ke dalam mobil diduga oleh lima polisi di Bangkok dan tidak ada berita tentang keberadaan dirinya sejak dilaporkan hingga kini. Dia diduga telah dibunuh setelah penculikan itu.
Direktur Human Rights Watch’s Asia, Brad Adams mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa terjadi “kegagalan otoritas Thailand atas hilangnya Somchai, oleh kemungkinan penculikan dan pembunuhan yang merusak kredibilitas mereka”.
“Thailand tidak mengakui penghilangan paksa sebagai kejahatan, pihak berwenang telah menghindar dari bertanya terlalu dekat kepada orang-orang yang benar-benar memerintahkan penculikan Somchai, dan menbetahui apa yang terjadi padanya,” tambahnya.
Baca Juga: HRW: Pengungsi Afghanistan di Abu Dhabi Kondisinya Memprihatinkan
Kelima tersangka, semua petugas polisi, yang awalnya diidentifikasi oleh saksi, hanya dikenakan dengan pasal pemaksaan dan perampokan, karena hukum Thailand tidak menyebut pengakuan “penghilangan paksa”.
Meskipun salah satu polisi telah dijatuhi hukuman tiga tahun penjara di tingkat pengadilan pidana karena “menyerang Somchai Neelapaijit”. Namun sebuah pengadilan banding kemudian menghentikan tuduhan terhadap kelima tersangka, dengan alasan “kurangnya bukti”. Keputusan ditetapkan oleh Mahkamah Agung Desember lalu.
Mahkamah Agung juga memutuskan bahwa Angkhana Neelapaijit, isteri Somchai, tidak bisa bertindak atas nama suaminya yang hilang, dengan alasan bahwa “tidak ada bukti konkret bahwa Somchai mati atau tidak mampu membawa kasus sendiri”.
Angkhana, sekarang anggota komisi hak asasi manusia Thailand, telah menyatakan kepada Anadolu Agency pada Januari lalu, kekecewaan besar dia atas putusan itu.
Baca Juga: Gunung Berapi Kanlaon di Filipina Meletus, 45.000 Warga Mengungsi
“Para hakim hanya membaca hukum dari buku, tapi mereka tidak tertarik dengan fakta,” katanya.
Sebagai contoh, Angkhana menekankan bahwa hal itu adalah jelas bagi banyak pengamat, termasuk Komisi Ahli Hukum Internasional yang berbasis di Jenewa, saksi utama wanita dalam kasus ini sangat takut terhadap mereka yang dituduh.
“Dia tidak berani bahkan untuk melihat ke arah wajah mereka,” kata Angkhana, yang telah mengadukan dirinya di bawah program perlindungan saksi, karena ancaman yang dia terima dalam kaitan dengan kasus tersebut.
Ungkap Kasus
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan
Pada tahun 2006, Perdana Menteri Thaksin Shinawatra mengakui bahwa pejabat pemerintah terlibat dalam penculikan dan pembunuhan Somchai.
“Saya tahu Somchai mati, bukti menunjukkan. Dan ada lebih dari empat pejabat pemerintah terlibat di dalam penyelidikan,” Angkhana mengatakan.
Dalam pernyataannya, Human Rights Watch menyerukan junta Thailand, yang merebut kekuasaan dalam kudeta Mei 2014, untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghilangan Paksa. Sehingga pihak berwenang negara itu akan memasukkan kasus penghilangan paksa ke dalam hukum pidana.
Thailand menandatangani Konvensi pada tahun 2012, dan telah membuat sedikit kemajuan dalam meratifikasi perjanjian.
Baca Juga: Jumat Pagi Sinagog Yahudi di Meulbourne Terbakar
Mengacu kepada pemimpin junta Thailand yang menjadi perdana menteri setelah 2014 kudeta, Direktur Human Rights Watch’s Asia, Brad Adams mengatakan, “Kasus Somchai akan menggantung di Jenderal (PM Prayuth Chan-ocha’s) sampai nasibnya dijelaskan dan mereka yang bertanggung jawab dihukum.”
Sebuah RUU penghilangan paksa ditulis pada tahun 2013, tetapi tidak pernah disetujui oleh kabinet.
Meskipun terdapat beberapa kelemahan. Namun jika RUU itu lulus akan menandai kemajuan yang signifikan, karena akan memungkinkan keluarga korban untuk bertindak sebagai penggugat.
Kelompok Kerja PBB tentang Penghilangan Paksa telah mencatat 82 kasus di Thailand sejak tahun 1980, dan tidak ada yang berhasil diselesaikan.
Baca Juga: Taliban Larang Pendidikan Medis Bagi Perempuan, Dunia Mengecam
Angka itu tidak menunjukkan catatan secara keseluruhan dalam kasus serupa. Sebab, ada sebagian saudaranya yang biasanya takut berbicara secara terbuka tentang hilangnya korban, karena takut akan pembalasan.
Dalam salah satu kasus terbaru, saksi melihat tiga orang menyeret Fadel Sohmarn, 28, ke dalam mobil dan pergi pada 24 Januari di provinsi selatan Pattani, hingga kini belum ditemukan. (T/P4/R05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: PBB akan Luncurkan Proyek Alternatif Pengganti Opium untuk Petani Afghanistan