Kembali Pada Pengobatan Cara Nabi (Oleh: Kurnia Hudzaifah)

Oleh: Kurnia M Hudzaifah, Wartawan MINA

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah merilis nama 5 merek sirup yang ditarik peredarannya, karena produk obat tersebut dinilai memiliki kandungan cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang melebihi ambang batas aman. Produk obat dalam bentuk sirup diduga mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dan kemungkinan berasal dari 4 bahan tambahan yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol.

Sejatinya, keempat bahan tambahan itu bukan merupakan bahan yang berbahaya atau dilarang digunakan dalam pembuatan sirup obat. Namun, BPOM sudah menetapkan ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari. Sampling dilakukan BPOM terhadap 39 bets dari 26 sirup obat.

“Hasil sampling dan pengujian terhadap 39 bets dari 26 sirup obat sampai dengan 19 Oktober 2022, menunjukkan adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada 5 produk,” tulis BPOM dalam keterangan resmi, Kamis (20/10).

Informasi terkait produk obat dalam bentuk sirup ini mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) melebihi ambang batas aman, membuat masyarakat terutama para orang tua khawatir terhadap anak-anaknya untuk mengkonsumsi obat tersebut karena dengan munculnya senyawa kimia berbahaya yang terdapat dalam obat sediaan cair atau berbentuk sirup.

Maka, atas kekhawatiran tersebut Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) sementara melarang apotek dan tenaga medis untuk menjual dan meresepkan obat sirup.

Kekhawatiran ini dipicu munculnya kasus gagal ginjal akut di Gambia yang mengarah pada meninggalnya 70 anak di Gambia, Afrika Barat dan merembet ke Indonesia. Gagal ginjal tersebut diduga karena obat yang mengandung DEG dan EG.

Kemudian, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan, terdapat 192 kasus gagal ginjal misterius atau gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak-anak hingga Selasa (18/10).

Ketua Pengurus Pusat IDAI, dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) mengatakan, kasus-kasus itu ditemukan di 20 provinsi di Indonesia, termasuk DKI Jakarta, Jawa Barat, hingga Aceh. Meskipun Kemenkes belum mengkonfirmasi penyebabnya, karena sampai saat ini masih dalam penelitian oleh tim medis.

Kembali kepada pengobatan menurut Sunnah Rasul

Menurut seorang dokter dan peneliti yang fokus dalam pengembangan obat-obatan herbal, dr. Muthoharrah, M.Si (herbal), menyarankan  masyarakat untuk mengkonsumsi bahan herbal justru dapat bermanfaat sebaliknya. Obat herbal yang kaya akan flavonoid dapat membersihkan residu-residu yang ada di dalam tubuh.

Menurutnya, bahan herbal itu memiliki banyak kandungan zat aktif yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit sekunder inilah yang akan dimanfaatkan sebagai obat.

Di dalam metabolit sekunder itu banyak sekali zat aktifnya, seperti flavonoid.  Flavonoid ini merupakan salah satu jenis antioksidan yang banyak terkandung dalam tanaman herbal. Antioksidan itu sendiri bekerja menangkal radikal bebas dalam tubuh. Radikal bebas inilah yang ditengarai sebagai penyebab berbagai penyakit kronis.

Bagi sebagian orang, mungkin bukan upaya pengobatan atau pencegahan penyakit yang asing. Penerapan thibbun nabawi identik dengan beberapa komponen misal madu, minyak zaitun, kurma, habatussauda, dan bekam.

Asim Abdelmoneim Hussein dari The National Center of Complementary, Arab Saudi, dkk dalam Acta Scientific Medical Sciences mengatakan, Thibbun nabawi atau Al-Tıb al-Nabaw merujuk pada upaya pencegahan dan pengobatan, yang dilaporkan sesuai panduan Rasulullah. Setelah Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal dan pengaruh Islam makin luas, berbagai literatur telah ditulis dalam bidang ini.

Tulisan berjudul Prophetic Medicine, Islamic Medicine, Traditional Arabic and Islamic Medicine (TAIM): Revisiting Concepts and Definitions tersebut menjelaskan, thibbun nabawi meliputi berbagai disiplin ilmu dan praktik di kehidupan sehari-hari. Keduanya tersebar dalam banyak hadits dan buku terkait Islam.

Pengobatan ala Nabi atau thibbun nabawi tidak hanya bersifat kuratif, namun juga menyertakan upaya preventif. Upaya ini meliputi pentingnya wudhu atau tayamum, membersihkan diri setelah buang air besar atau kecil, puasa, shalat, dan praktik lainnya. Seluruh praktik tidak dilabeli thibbun nabawi, karena istilah tersebut tidak dikenal di masa Rasululullah  ‘Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kalimat Thibbun Nabawi

Kalimat thibbun nabawi digunakan Ibn Qayyim Al-Jawzīyah dalam bukunya yang berjudul Al-Ṭibb Al-Nabawī. Thibbun nabawi juga digunakan Ibnu Tulun dalam karyanya dengan judul Fi Al-ṬIb Al-Nabawī. Keduanya berasal dari hadist Rasulullah  ‘Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjadi contoh bagi umatnya dalam berbagai hal, termasuk menjaga kesehatan.

Buku karya Ibn Qayyim Al-Jawzīyah selanjutnya kerap menjadi rujukan terkait thibbun nabawi. Dalam bukunya, Ibn Qayyim membagi penyakit menjadi gangguan terhadap hati atau tubuh. Gangguan tubuh adalah penyimpangan dari yang biasa atau normal terjadi. Penyakit ini dihadapi dengan dua cara, yang pertama penanganan bersifat langsung seperti lapar diatasi dengan makan.

Penanganan kedua adalah yang dilakukan dokter dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Ahmed Ragab dalam tulisan yang diterbitkan Harvard University menjelaskan, thibbun nabawi bersifat melengkapi atau komplementer dengan pengobatan umum atau konvensional. Thibbun nabawi mungkin tidak bisa diterapkan pada tiap orang dalam berbagai kondisi (generalisasi).

Tulisan berjudul Prophets of Medicine and Medicine of the Prophet: Debates on Medical Theory and Practice in the Medieval Middle East menjelaskan, thibbun nabawi dan ketentuan medis tidak dibuat saling berlawanan. Tidak ada salahnya menerapkan saran dokter atau tenaga kesehatan yang kompeten, sambil mengingat ketentuan thibbun nabawi.

Thibbun Nabawi merujuk pada tindakan dan perkataan (hadis) Nabi Muhammad mengenai penyakit, pengobatan, dan kebersihan, maupun genre tulisan oleh para sarjana non-medis untuk mengumpulkan dan menjelaskan tradisi-tradisi tersebut.

Istilah Thibbun Nabawi ini dimunculkan oleh para dokter muslim sekitar abad ke-13 M untuk menunjukkan ilmu-ilmu kedokteran yang berada dalam bingkai keimanan pada Allah, sehingga terjaga dari kesyirikan, takhayul dan khurafat.

Al-Qur`anul karim dan As-Sunnah yang shahih sarat dengan beragam penyembuhan dan obat yang bermanfaat dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mestinya kita tidak terlebih dahulu berpaling dan meninggalkannya untuk beralih kepada pengobatan kimiawi yang ada pada masa sekarang ini.

Menurut Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu, “Sungguh para tabib telah sepakat bahwa ketika memungkinkan pengobatan dengan bahan makanan maka jangan beralih kepada obat-obatan (kimiawi). Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana, maka jangan beralih memakai obat yang kompleks. Mereka mengatakan: ‘Setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan pencegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan’.

Dengan demikian, tidak semestinya seorang muslim menjadikan pengobatan nabawiyyah sekadar sebagai pengobatan alternatif. Justru jadikannya sebagai cara pengobatan yang utama, karena kepastiannya datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala lewat lisan Rasul-Nya.

Sementara pengobatan dengan obat-obatan kimiawi kepastiannya tidak seperti kepastian yang didapatkan dengan thibbun nabawi. Pengobatan yang diajarkan Nabi diyakini kesembuhannya karena bersumber dari wahyu.

(A/R4/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: kurnia

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.