Keruntuhan Kesultanan Utsmaniyah, Konspirasi Menghancurkan Ummat Islam

oleh:

Kesultanan Itsmaniyah yang berpusat di merupakan salah satu di antara tiga kerajaan Islam yang besar pada abad pertengahan selain kerajaan Syafawi di Persia (Iran) dan kerajaan Mogul di India.

Kesultanan yang didirikan oleh Utsman din Ortogrol pada tahun 1300 M itu pernah berjaya di Eropa dan menguasai dua pertiga dunia selama lebih dari enam abad lamanya, termasuk Nusantara menurut Sultan Hamengkubuwono X yang disampaikan dalam pidatonya pada pembukaan Konggres Ummat Islam Indonesia (KUII) di Yogyakarta (6/2/2015).

Pada tahun 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah (Fatah-red), Sultan Demak pertama yang menjadi Khalifatullah Ing Tanah Jawa, yang merupakan perwakilan Kekhilafahan Turki untuk wilayah Jawa. Dengan penyertaan bendera bertuliskan kalimat Laa Ilaha Illallah berwarna ungu kehitaman tersebut dari Kiswah Ka’bah dan bendera bertuliskan Muhammadur Rasulullah berwarna hijau. Saat ini, duplikat kedua bendera itu tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, pertanda keabsahan kesultananYogyakarta Hadiningrat wakil kekhilafahan Turki.

Pada 3 Maret 1924 M Kesultanan Turki runtuh. Sejak saat itu, ummat Islam tidak lagi dinaungi khilafah. Mereka kemudian tercerai-berai menjadi lebih dari 50 negara, tanpa adanya pemimpin (Imaam/Khalifah). Keberadaan Kesurtanan Turki Utsmani selama lebih dari enam abad itu telah menjadi transmitter (penghubung) antara Dunia Timur dan Barat, terutama setelah jatuhnya Konstantinopel (1453 M) ke tangan ummat Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Muhammad II yang lebih dikenal dengan nama Al-Fatih (Sang Pembebas).

Ada tiga hal penting yang dapat diambil dalam transmitter antara dunia Barat (non-Muslim) dan Timur (ummat Islam) dari kejatuhan Konstantinopel tersebut:

  1. Bagi ummat Islam, terpenuhinya tugas historis dalam pengembangan (dakwah) Islam ke wilayah-wilayah Romawi Timur (Eropa) dengan terwujudnya nubuwwah (isyarat kenabian) Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam dalam sabdanya:

لَتُفتَحنَّ القُسطنطينيةُ ولنِعمَ الأميرُ أميرُها ولنعم الجيشُ ذلك الجيشُ

(Konstantinopel akan dibebaskan oleh seorang laki-laki. Maka sebaik-baik pemimpin yang memimpin di sana dan sebaik-baik tentara adalah tentara tersebut. HR Ahmad).

  1. Berakhirnya abad pertengahan yang penuh kegelapan dan dimulainya zaman kesadaran Bangsa Barat dengan masuknya ilmu pengetahuan. Kekalahan yang menyebabkan jatuhnya Konstantinopel tersebut membangunkan Bangsa Barat dari tidur panjangnya akibat dominasi gereja. Untuk mengejar ketertinggalan itu, akhirnya melahirkan pola pikir yang baru. Mereka melepaskan diri dari kungkungan gereja dan muncullah supremasi Barat di bidang sains dan teknologi.
  2. Dengan jatuhnya Konstantinopel ke tangan ummat Islam yang selama ini merupakan gerbangnya Eropa dan merupakan jalur perdagangan antara Timur dan Barat, nasib Barat selanjutnya tergantung kepada Kesultanan Turki Utsmani.

Meruntuhkan Turki Utsmani

Melihat berbagai kesuksesan Turki Utsmani, kerajaan-kerajaan Kristen Barat murka. Mereka kemudian bekerja sama untuk menghambat Turki, bahkan kalau bisa menghancurkannya. Paling tidak ada tiga konspirasi yang mereka lakukan untuk mewujudkan hal tersebut:

  1. Ketika pasukan Turki di bawah pimpinan Sultan Murad I berhasil membebaskan semenanjung Balkan, Andrianopel (sekarang Edirne – Turki), Macedonia, Sofia (Bulgaria) dan seluruh wilayah Yunani, kerajaan-kerajaan Kristen Eropa yang terdiri atas Bulgaria, Serbia, Transilvania (Rumania), Hongaria dan Walucia (Rumania) menyusun kekuatan untuk menggempur kerajaan Utsmaniyah. Meskipun Sultan Murad I wafat dalam pertempuran , tetapi kemenangan tetap berada di pihak Kesultanan Turki.
  2. Setelah Murad I wafat, ekspedisi dilanjutkan oleh putranya, Bayazid I. Pada tahun 1391, pasukan Bayazid I dapat merebut benteng Philadelphia dan Gramania (Kirman/Iran).

Dengan demikian, kerajaan Utsmaniyah secara bertahap tumbuh menjadi kerajaan besar. Kesuksesan Bayazid I kembali menimbulkan kegelisahan di daratan Eropa yang mengakibatkan Paus menyeru kepada ummat Kristen Eropa supaya mengangkat senjata.  Dengan dipimpin Raja Hongaria, Sijismond, mereka bergabung dengan tentara Perancis dan Jerman. Maka terjadilah pertempuran di Nicopolis (25 September 1396). Kerajaan Utsmani berhasil memenangkan pertempuran tersebut, sedangkan Eropa mengalami kekalahan terparah.

  1. Para ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Khilafah Sulaiman Al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M) merupakan zaman kejayaan Kesultanan Utsmaniyah. Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni meninggal dunia, kesultanan Utsmani mulai mengalami kemunduran dan kemerosotan.

Kemunduran Kesultanan Utsmaniyah lebih disebabkan karena faktor internal. Menurut Prof.  Ali Muhammad Ash-Shalabi yaitu penyimpangan terhadap ajaran Islam antara lain:

  1. Menyebarnya fenomena kemusyrikan, bidah dan khurafat
  2. Menyebarnya kedzaliman dari para pemimpin (umara) terhadap rakyatnya
  3. Kehidupan penuh foya-foya dan tenggelam dalam syahwat
  4. Perselisihan dan perpecahan di kalangan para pemimpin dan rakyat
  5. Kejumudan (sikap kaku dan tidak mau menerima perubahan) di kalangan ulama saat itu.

Di tengah kemelut internal yang terjadi di Kesultanan Utsmaniyah itu, musuh-musuh terus melakukan berbagai macam upaya agar Turki Utsmani segera hancur. Apabila sebelumnya usaha menghancurkan Turki hanya dilakukan oleh orang-orang Kristen, maka upaya selanjutnya dilakukan oleh orang-orang Kristen dan Yahudi, terutama yang bergabung dalam gerakan Freemansory. Mereka bergabung dan bekerjasama melakukan konspirasi. Freemansory adalah sebuah gerakan yang bertujuan menghapuskan agama dalam kehidupan ummat manusia.

Upaya-upaya yang dilakukan Kristen dan Yahudi sebagai bentuk konspirasi untuk menghancurkan Kesultanan Utsmaniyah antara lain:

  1. Mendirikan pusat-pusat kajian ketimuran (center of the oriental studies). Pusat-pusat kajian itu kebanyakan milik Inggris, Perancis dan Amerika. Pusat kajian itu digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk mengembangkan pemikiran mereka di dunia Islam sekaligus menyerang pemikiran Islam. Di pusat-pusat kajian itu, bergabung pula gerakan misionaris yang merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat. Mereka berpandangan bahwa untuk menguasai dunia, maka Islam harus dihancurkan dan khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk itu mereka para penyerang pemikiran Islam dengan menyebarkan faham nasionalisme buta (chauvinisme) dan menciptakan stigma negatif terhadap Khilafah Utsmaniyah dengan sebutan The Sick Man (orang sakit).
  2. Mengobarkan semangat separatisme dan memprovokasi gerakan nasionalisme untuk memberontak dan memisahkan diri dari kesatuan Khilafah Utsmaniyah. Untuk itu, Inggris mengirimkan seorang anak dari hasil hubungan di luar nikah, bernama Thomas Edward Laurence (1888-1935) alias Laurence Al-Arabiya. Ia sukses mendorong revolusi Arab melawan Khilafah Utsmaniyah. Edward Laurence secara aktif terlibat bersama bangsa Arab menyerang Turki. Mereka, bangsa Arab tidak menyadari ada kepentingan politik Inggris dan sekutunya yang sedang menjalankan taktik devide et impera (politik peecah belah) di balik bantuan Laurence. Di belakang layar, Perancis, Inggris dan Rusia telah mengadakan perjanjian untuk membagi wilayah Arab menjadi daerah-daerah jajahan setelah runtuhnya Kesultanan Turki Utsmani.  Akhirnya, berdasarkan perjanjian Sykes-Picot (16 Mei 1916), wilayah Syam dibagi-bagi menjadi Suriah, Lebanon, Irak Selatan dan wilayah tenggara Turki diberikan kepada Perancis. Sementara Inggris mengambil Palestina, Yordania, Irak Utara dan akses ke Mediterania. Sisanya, yaitu wilayah-wilayah bekas kekuasaan Turki diambil oleh Rusia.
  3. Mengeksploitasi gerakan-gerakan keagamaan, seperti gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-10 M, gerakan ini dimanfaatkan oleh Ibnu Suud untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah kekuasaan Khilafah Turki. Menurut salah seorang tokoh Hizbut Tahrir, Abdul Qadir Zallum, pemberontakan dilakukan di daerah Hijaz dan sekitarnya. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Bin Baz dengan mengatakan:” Sejauh pengetahuan saya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tidak pernah memberontak terhadap Kekhilafahan Turki Utsmani karena wilayah Nejd pada saat itu tidak berada di wilayah kekuasaan Turki Utsmani. Namun beliau berjuang melawan kerusakan negerinya dan terus seperti itu sampai akhir dakwah beliau meluas ke wilayah-wilayah sekitarnya.
  4. Menjadikan Musthafa Kamal Affandi (yang di kemudian hari berumah menjadi At-Taturk, 1881-1938) sebagai pahlawan boneka. Musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Kristen melihat bahwa meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah bukanlah suatu perkara yang mudah. Mereka melihat, hal itu tidak mungkin dilakukan kecuali dengan membuat seorang pahlawan boneka dan membangun pencitraan bahwa dia adalah seorang tokoh besar yang luar biasa. Intelijen-intelijen Inggris berhasil menemukan “impiannya”, yakni Musthafa Kemal Affandi, seorang tokoh Yahudi di sebuah kota di Turki, Tesalokia. Arnold Toynbee (1889-1975) seorang sejarawan Inggris yang diakui otoritasnya di dunia modern, memberi catatan tentang nasab Musthafa Kamal dengan mengatakan:” Sesungguhnya darah Yahudi mengalir deras di keluarga Musthafa Kamal, sebab Selonika (Tesalonika) merupakan tempat orang-orang Yahudi. Mereka tinggal di tempat itu sejak mereka ditimpa cobaan dan pengasingan. Mereka menyembunyikan kepercayaan mereka yang sebenarnya (Agama Yahudi) dan berpura-pura memeluk Islam. Namun tabiat dan karakter, warna mata dan tubuh Kamal At-Taturk tidak menunjukkan kedekatan pengaruh darah Yahudi ada dalam dirinya.

Sementara itu, Usamah Agnaya, sebagaimana yang dinukil oleh Prof. Ali Muhammad As-Shalabi mengutip dari buku “ Yahudul Dimamah” berkata:” Sesungguhnya Yahudi Dumamah sangat bangga dengan Kemal At-Taturk dan berkeyakinan dengan keyakinan yang kokoh bahwa ia adalah bagian dari mereka. Alasan mereka dalam masalah ini adalah bahwa Kemal At-Taturk menyatakan dengan jelas penentangannya terhadap Islam tatkala ia merebut kekuasaan.

Pemikiran pahlawan boneka itu berhasil dilakukan oleh para intelijen Inggris dengan kesuksesan yang luar biasa. Untuk mendongkrak popularitas Musthafa Kamal, dengan sengaja, ia dimunculkan dalam berbagai macam pertempuran seperti perang Gallipolli, perang Anafarta, perang Izmir dan sebagainya.

Dalam peperangan tersebut, sosok Musthafa Kamal digambarkan dengan peran dan kontribusi yang sangat menonjol, bahkan nyaris sempurna. Di antara peperangan yang dianggap sukses dipimpin  Musthafa Kamal adalah perang Gallipolli (1915). Perang ini merupakan operasi gabungan antara Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru dan beberapa negara lain untuk merebut Istambul, Ibu Kota kesultanan Turki.  Sementara itu, Turki mempertahankan serangan tentara gabungan dengan dibantu oleh Kekaisaran Jerman.

Turki berhasil mempertahankan Istambul sehingga usaha Pasukan Gabungan itu gagal dan kedua belah pihak menderita kerugian berupa korban jiwa yang besar. Menurut Departemen Veteran Australia, korban kedua belah pihak hampir mencapai setengah juta jiwa.

Melihat berbagai kemenangan pasukan yang dipimpin oleh Musthafa Kamal dalam menghadapi pasukan negara-negara Eropa di tengah mundurnya Kesultanan Turki, dunia Islam menyambutnya dengan sangat antusias dan memberi gelar Ghazi (panglima gagah tanpa tanding).

Para penyair Muslim memujanya dan mendapat sambutan hangat dari para Habib di mimbar-mimbar Jumat. Ahmad Syauqi (1868-1932), seorang penyair besar dari Mesir menjuluki Musthafa Kemal sebagai Khalid bin Walid dari Turki. Dalam sebuah bait syairnya, ia menulis: “ Allah Akbar, betapa banyak penaklukan yang demikian mengagumkan wahai Khalid dari Turki, maka perbaharuilah kepahlawanan Khalid Arab”.

Namun, setelah Musthafa Kamal membuka kedok aslinya, bahwa ia adalah agen Barat untuk meruntuhkan kekhilafahan dan memaksakan sekulerisme di Turki, dunia Islam gempar. Ahmad Syauqi yang sebelumnya menulis syair pujian, kini ia menatap sedih dengan menulis elegi (syair ratapan) sebagai berikut: “Kini lagu-lagu pengantin berbalik menjadi ratapan. Aku menatap di tengah lencana-lencana kegembiraan. Kau dikafankan di malam pengantin dengan pakaiannya. Dan Kau sirna tatkala pagi akan segera menjelang. Mimbar-mimbar dan tempat azan bergerak-gerak untukmu sedang kerajaan-kerajaan menatap menangisi kepergianmu. India, Walhah dan Mesir demikian bersedih ditinggalkan, menangis dengan air mata yang deras untuk kepergianmu. Syam, Irak dan Persia semua pada bertanya-tanya, apakah Khilafah dihilangkan oleh orang dari muka bumi? Wahai alangkah malang, orang yang merdeka dikubur hidup-hidup, dibunuh tanpa melakukan kesalahan dan kejahatan”.

Kekhilafahan Turki hilang dari permukaan bumi setelah Musthafa Kamal menandatangani perjanjian dengan negara-negara Barat di Lausanne, Swiss 1340 H/1923 M yang mengakui kemerdekaan negara nasional Turki dengan syarat penghapusan Khilafah Islam untuk selama-lamanya dan pemutusan semua hal yang berhubungan dengan Islam dari Turki.

Setelah memperoleh pengakuan negara-negara Barat, Republik Turki diproklamirkan dengan Musthafa Kamal yang dimunculkan sebagai pahlawan Gallipolli, sebagai presiden pertama negara itu. Parlemen Turki kemudian memberikan gelar At-Taturk (ayah bangsa Turki) kepadanya sebagai pengakuan atas kepemimpinannya dalam pembentukan negara Turki.

Turki yang nasional di bawah Musthafa Kemal kemudian melakukan proses westernisasi yang ganas. Simbol-simbol Islam dihapuskan. Pada suatu ketika, ia mengatakan:” Turki Baru sama sekali tidak ada hubungan dengan apapun, dengan agama apapun. Pada saat yang lain, ia memegang Al-Quran di tangannya dan mengatakan: “Sesungguhnya kemajuan-bangsa-bangsa tidak mungkin mengharap hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang telah berlalu berabad-abad lamanya”.

Namun usaha rezim kolonialis menjauhkan Turki Baru dari Islam telah mengalami kegagalan karena ditentang oleh mayoritas masyarakatnya sendiri. Hal ini ditandai dengan munculnya Perdana Menteri Ali Adnan Ertekin Menderes (1899-1961) yang memenangkan pemilu pada tahun 1950 an.

Kemenangan Ali Adnan dalam pemilu ditunjang oleh program-program kampanyenya, antara lain: mengembalikan azan ke dalam bahasa Arab yang sebelumnya diubah oleh Kamal At-Taturk menjadi Bahasa Turki serta menghapus Undang-undang yang melarang Muslimah berhijab.

Walaupun Adnan Manderes akhirnya syahid di tiang gantungan oleh musuh-musuhnya pada tahun 1960, tetapi perjuangannya diteruskan oelh generasi-generasi sesudahnya. Necmettin Erbakan, Perdana Menteri Turki pada 1996 dengan lantang berseru bahwa ia adalah seorang Islamis. Pemikirannya itu membuat ia digulingkan pada tahun selanjutnya.

Namun, Rejep Tayib Erdogan (mantan perdana menteri dan sekarang menjadi presiden 1441/2020) telah berhasil mengembalikan Islam di Turki secara perlahan. Pada tahun 2014, Rejep Tayib Erdogan mengatakan:” Kami merealisasikan pemikiran Manderes. Mereka mungkin telah mengeksekusinya, namun ia tidak akan pernah terlupakan. Ia bersemayam di hati kami”,

Sementara upaya menghapuskan khilafah dari muka bumi yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam juga mengalami kegagalan. Karena dengan diruntuhkannya khilafah Utsmaniyah di Turki, ummat Islam semakin menyadari pentingnya kepemimpinan dan kesatuan ummat Islam. Oleh karena itu, pasca runtuhnya khilafah Utsmanitah, muncullah gerakan-gerakan untuk mempersatukan ummat Islam, sepeti Pan-Islamisme, Organisasi Kerjasama Islam(OKI) dan gerakan-gerakan untuk menyadarkan pentingnya ummat Islam kembali kepada kesatuan kepemimpinan yang mengikuti manhaj nubuwah (khilafah ala minhajin nubuwah).

Di Indonesia, gerakan menuju kesatuan ummat itu dipelopori oleh Dr. Wali Al-Fatah (w. 1974) sekaligus ia menerima amanah dibaiat sebagai Imaamul Muslimin. Pola kepemimpinan itu kemudian dilanjutkan oleh imaam-imaam sesudahnya. (A/IM/P2/P1)

Mi’raj News Agency  (MINA)