Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kesetaraan Gender di Indonesia; Adakah Ruang Bagi Feminisme di dalam Islam?

Rudi Hendrik - Rabu, 15 Februari 2017 - 14:09 WIB

Rabu, 15 Februari 2017 - 14:09 WIB

20374 Views

Prof. Dr. Amany Lubis, MA (kanan) bersama Redaktur MINA Nurfitri Muslim Taher. Foto: dokumentasi MINA

 

Peran perempuan dalam peradaban Islam tidak dapat dipungkiri, mulai dari daftar orang-orang pertama yang mengucapkan kalimah syahadah, para syahidah pertama, donator dan migran pertama, dan juga para penolong utama yang membantu keberhasilan hijrahnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam dari Mekkah ke Madinah. Dapat dilihat jelas bahwa perempuan telah mengambil peran yang amat penting dari semua halaman sejarah Islam. Akan tetapi, hingga hari ini, isu mengenai partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam publik masih diperdebatkan, terlebih ketika hal itu dihubungkan dengan ide kesetaraan gender.

Dalam rangka mengklarifikasi mengenai isu kesetaraan gender di dalam Islam dan pentingnya peran muslimah di dalam masyarakat,  Redaktur MINA Nurfitri Muslim Taher melakukan wawancara eksklusif dengan Prof. Dr. Amany Lubis, MA, seorang akademisi Indonesia yang saat ini menjadi guru besar di Fakultas Syariah dan Hukum di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ; kemudian sejak 2006 menjadi guru besar dalam bidang Sejarah Politik Islam. Ia juga menjabat Sekretaris Komisi Etik Senat UIN Syarif Hidayatullah. Saat ini beliau juga menjadi Ketua MUI bidang Perempuan, Pemuda dan Keluarga untuk periode 2016-2020, dan Ketua International Council of Moslem Women Scholars di Indonesia. Berikut  wawancara yang dilaksanakan pada 19 Januari 2017 yang lalu :

MINA:  Apakah Islam tidak memandang istilah kesetaraan gender atau apakah permasalahan kesetaran gender terletak pada definisinya, bagaimana Islam memandang hal ini?

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Amany: Bismillahiraahmanirahim. Kesetaraan gender  berkembang di Indonesia sejak tahun 80-an dan mulai santer di kampus-kampus pada tahun 90-an, lalu tahun 2000 ada Instruksi Presiden (Inpres) ketika Gus Dur berkuasa yang menyebut bahwa di seluruh kampus harus ada pusat studi wanita. Nah, di sini ada yang menamakan pusat studi gender. Jadi dari tahun 2000 itu sudah resmi Pemerintah Republik Indonesia menggunakan kata pengarusutamaan gender. Inpres itu tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG). Dan ini diterapkan di semua tataran, baik itu pada istilah-istilah di Kementerian Pemberdayaan Perempuan, ataupun di Pemda-Pemda yang berhubungan dengan urusan perempuan dan kesetaraan gender. Itu namanya mainstreaming gender. Jadi kita sudah sejak lama dan sudah lebih maju dari negara-negara lain dalam hal istilah kesetaraan gender. Nah saya cerita sedikit pengalaman saya. Tentu di awalnya susah, susah sekali mau memasukkan konsep (kesetaraan) gender. Karena di bilang itu istilah dari barat, konsepnya konsep orang kafir, dan lainnya. Karena ada wawasan bahasa Inggris, maka saya tidak masalah kalau istilah itu berbahasa inggris  dan dari bahasa inggris, dan itu memang  mencerminkan budaya barat.

Tetapi itu kan istilah, penyamaan konsepnya sendiri bahwa kita membela perempuan dan membela laki-laki untuk bisa hidup bahagia lahir batin, adalah konsep yang bagus, dan sangat Islami. Kenapa kita harus memenangkan satu kelompok dan merugikan yang lain lalu itu baru dibilang Islam? Mengalahkan perempuan dan membela laki-laki lalu itu dikatakan Islam? Tentu tidak. Jadi kesetaraan gender adalah menjaga kesejahteraan laki-laki dan perempuan, khususnya dalam melakukan perannya sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara. Itu yang diatur oleh negara. Negara wajib memperhatikan peran laki-laki dan perempuan secara serasi dan setara, dan berkeadilan. Nah istilahnya dalam bahasa Inggris ada equity dan equality. Kalau equality nanti persamaan hak sama persis, nah itu dilaksanakan di Indonesia; bahwa gaji harus sama antara laki-laki dan perempuan, dalam pangkat  yang sama dalam posisi yang sama, tidak dibedakan kalau dia laki-laki atau perempuan dibedakan gajinya tidak, itu Indonesia melakukan. Inilah yang dimaksud dengan adanya equality. Dalam banyak hal kita laksanakan equality. Misalnya laki-laki boleh mengendarai mobil, perempuan juga boleh. Laki-laki boleh jadi guru, perempuan juga boleh. Laki-laki boleh jadi hakim, perempuan juga boleh. Jadi equality di Indonesia sudah dijalankan.

Nah, equity yang kita juga perjuangkan adalah kesetaraan gender yang memperhatikan peran-peran sosial. Ini sangat berkaitan juga dalam rumah tangga. Karena misalnya begini, perempuan selalu dikonotasikan dengan keberadaannya di rumah tangga, dengan selalu harus ada “apa dia mengasuh anak”, “tanggungjawab ibu itu untuk mengajarkan anak”, “dia (ibu) sekolah pertama katanya sehingga kalau anaknya tidak baik yang disalahkan ibu, tapi kalau anaknya berhasil dibanggakan bapaknya”. Nah, pelecehan-pelecehan seperti ini, ide-ide yang tidak setara dan tidak adil bagi perempuan. Kita bukan bicara taraf hidup di kota dan lainnya, tapi di banyak kehidupan masyarakat yang tidak memerhatikan pendidikan perempuan. Perempuan yang tinggal di gunung, pesisir dan di pedalaman sana kalau sudah bisa baca sudah disuruh berhenti dari sekolah. Kelas 3 SD sudah disuruh berhenti, tidak mesti tamat SD dan SMP. Nah kita bicara tentang taraf itu dan itu adalah mayoritas di masyarakat Indonesia. Inilah yang harus dibela. Jadi kesetaraan gender adalah memberikan peluang kepada orang yang tidak mendapatkan akses supaya dia sama dengan yang  bisa mendapatkan akses. Jadi perempuan-perempuan yang di desa, pesisir, pegunungan itu adalah orang-orang kreatif . Kalaupun dia bertani dia bisa melakukan kiprahnya di pertanian dengan secara professional, dengan segala keterbatasan tapi dia professional, akhirnya dia bisa panen dan lainnya. Ini sangat dihargai.

Jadi kesetaraan gender di sini memang harus memberikan akses, kepada perempuan di segala bidang. Kalaupun dia tidak mempunyai akses harus diperhatikan oleh pemerintah, itu kewajiban dari pemerintah. Nah, dulu itu ada perubahan. Misalnya ya, dulu perempuan dalam berbagai kontrak perbankan, contohnya pinjam kredit tiga juta (rupiah) aja, harus ada tanda tangan suami, jadi perempuan tidak berdiri sendiri. Dulu semua akad kredit harus (dilakukan oleh) laki-laki. Nanti perempuan-perempuan yang aktif dia mau (memiliki) home industry dan hendak pinjam 3 juta rupiah (untuk) fasilitas jual sayur gerobak atau bikin gorengan atau apapun itu mau pinjam tidak bisa. Akhirnya sekarang sudah diperbaiki undang-undang bahwa untuk akad perikatan itu boleh perempuan didampingi oleh ayah, abang atau suami, oleh laki laki. Ok lah tidak apa-apa ini kan untuk keamanan ya? tidak usah kita minta sama persis kalau perempuan juga boleh sendiri, tidak apa-apa. Kita kan niat baik, untuk bisa sama-sama mengembangkan, tidak masalah  harus ada pendampingnya laki-laki. Nah akhirnya juga dengan sebaliknya timbal balik bahwa akad ketika laki-laki mau pinjam perkreditan kalau dia ada istri harus juga tanda tangan sebagai saksi atau diketahui juga . ya jadi  akhirnya sudah lebih berkesetaraan.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El-Awaisi (3): Kita Butuh Persatuan untuk Bebaskan Baitul Maqdis

Nah, di samping itu dulu perjuangan kita adalah menghadapi orang-orang yang masih berpikiran  tradisional dan konvensional, yang berpikir bahwa perempuan itu memang tugasnya hanya di rumah, melahirkan dan mengasuh anak, kemudian hanya di rumah melayani suami, nah inilah yang harus kita juga buka wawasannya. Berapa banyak program (yang telah kami lakukan), kita turun ke pesantren, membuat buku, program  TV dan lainnya untuk menyadarkan.  Akhirnya sekarang banyak sudah sadar. Dulu misalnya yang menjabat 5 orang di institusi pemerintahan harus laki-laki semua, memang sudah nyaman mereka begitu ya, di manapun, tapi sekarang dengan adanya mainstreaming gender oleh pemerintah Republik Indonesia semua harus dipertimbangkan agar ada perempuan di situ.  Jangan semuanya laki-laki tapi dipertimbangkan satu atau dua harus terdiri atas perempuan.

Ditambah lagi dengan Undang -undang tentang Pemilu atau tentang Partai Politik maka harus ada kuota perempuan 30 %. Ada yang menuduh berkiblat ke luar negeri. Tapi tidak usah berpikir ke sana, dalam negeri saja, perempuan WNI persentasenya lebih dari laki laki, yaitu 51 % (dibanding) laki-laki. Dari segi itu saja, masa perempuan tidak diperhatikan? Apakah dia mau jadi beban bagi laki-laki yang 49% atau mau diberdayakan untuk sama-sama membangun negri ini? Jadi sangat aneh kalau terus kita tidak mau berubah wawasan serta paradigma pemahaman bahwa perempuan tidak boleh bekerja di ranah publik. Sedangkan contoh kita dari masa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam dan para sahabiyah  perempuan semuanya bekerja, pedagang. Siti Khadijah radiyallahu anha adalah pedagang ulung dan kaya, internasional, bukan hanya lokal bukan hanya home industry, justru berdagang ke seluruh dunia.

Jika kita baca surat Al-Quraisy, pada ayat-ayatnya juga membahas kesetaraan. Pertama sudah dijalankan Siti Khadijah radiyallahu anha bahwa dia berdagang ke utara dan selatan, artinya ke wilayah Syam dan  ke wilayah Yaman. Wilayah Syam itu mewakili Eropa dan semuanya, wilayah Yaman mewakili Nusantara dan semuanya. Jadi seluruh dunia tadi, universal perdagagannya Sayyidah Khadijah. Maka itu contoh.

MINA: Apakah itu secara tidak langsung merupakan apresiasi Allah terhadap Siti Khadijah?

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis

Amany: Iya, yang juga sudah Rasulullalh Shalallahu Alaihi Wasallam jalankan hartanya untuk berdagang. Kemudian ini kaitannya nanti mengapa berdagang dan mengapa memperhatikan seluruh dunia? Supaya amanahum min jui wa amanahum min khauf (Al-Quraisy: 4) itu adalah konsekuensi bahwa kita memang harus berdagang secara mendunia supaya kita berupaya terus menghindari kelaparan dan juga supaya masyarakat jangan takut. Jadi yang bahaya itu kalau kita tidak berpikir kreatif, apalagi kita berpikir picik, itu adalah akibatnya nyata  yang dimaksud ayat ini, kelaparan dan ketakutan. Jadi tidak ada keamanan. Tidak ada ketahanan, itu kalau dia tidak memperhatikan ekonomi dan juga tidak memperhatikan potensi-potensi apa yang harus dikembangkan. Jadi surat ini membicarakan potensi. Li ilaa fi quraisy, memang disebut suku Quraisy tapi kita sudah punya pemahaman yang lebih luas dari Ibnu Khaldun, Quraisy itu bukan bicara suku Arab yang ada di Mekkah, tetapi kalau jaman sekarang kita baca (kata) Quraisy adalah orang-orang yang punya potensi, pikiran cemerlang, bisa membangun dunia, sebagaimana Quraisy dulu membangun dunia sampai sekarang. Masa depan kita juga masih panjang, semangat Quraisy itulah yang kita bangun. Inshallah

MINA: Almarhumah Yoyoh Yusroh (Anggota Komisi I DPR periode 2009-2014) pernah mengatakan sejarah membuktikan kemunduran Islam itu berbanding lurus dengan dikuranginya atau dibatasinya peran perempuan di masyarakat. Tanggapan ibu?

Amany: Ya, itu satu sisi. Tapi permasalahan mundurnya peradaban Islam bukan hanya itu. Laki-laki dan perempuan bukan hanya perempuan, bukan hanya (soal) perhatian terhadap perempuan tetapi banyak masalah utamanya adalah ekonomi dan politik. Lainnya, adalah tidak ada kesatuan, umat Islam saling mencela dan menuduh kemudian berkoalisi dengan orang yang memang tidak dapat dipercaya untuk menjatuhkan satu sama lain.

MINA: Misalnya ketika kita sebagai perempuan ingin mengambil peran di masyarakat, apakah itu berarti kita harus memilih peran sebagai feminis atau sebenarnya tidak perlu juga seperti itu?

Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina

Amany: Iya, harus menjadi feminis. Feminis yang Islami. Sebagaimana saya dalam banyak forum, dulu kita takut dibilang aktifis perempuan, tapi sekarang sudah positif, saya selalu sampaikan dalam forum saya aktifis perempuan.  Dari awal tahun 90-an saya sudah jadi aktifis perempuan dan membela, memahamkan (bahwa) istilah gender itu sejalan dengan fikih Islam. Gender itu sejalan dengan pemikiran Islam. Saya yakin itu. Nah sekarang, anda tadi tanya perkembangannya, sekarang pemahaman gender ini penting ya, sekarang pemahaman kesetaraan gender sudah diselewengkan. Anda bisa baca di internet, bisa juga baca laporan waktu saya berbicara di forum MUI membahas tentang draft perkotaan, perkotaan di era millennium ini,  maka kesetaraan gender itu sangat diperhatikan. Karena ternyata maksud gender dari awal itu adalah laki-laki dan perempuan, jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Ternyata sekarang definisi gender ditambah satu lagi. Akhirnya sekarang banyak di dunia ini memasukkan tiga kolom untuk jenis kelamin, laki-laki, perempuan, dan lain-lain.

Nah, jadi kesetaraan gender memang harus diluruskan terus karena ada orang-orang yang mau memasukkan tambahan, termasuk kaum LGBT. Mereka gencar sekali. Terakhir mereka di Surabaya Agustus 2016 yang saya hadiri itu tentang Habitat tiga,  di situ banyak workshop forum PBB tetapi momentnya diambil untuk membuat draft perkotaan habitat tiga di Surabaya. Nah banyak workshop side event nya tentang gender, tentang keadilan gender yang hadir semuanya ini orang-orang LGBT. Mereka ingin membela haknya bahwa mereka sebagai anggota masyarakat di kota-kota mereka juga harus dijamin juga kehendaknya untuk bisa hidup sama, artinya bisa membuka usaha, bisa mendapatkan ruang, bisa berekspresi di ruang masyarakat luas, dan juga menuntut tadi itu, bisa jadi pejabat yang lain-lain, ya tentu seperti ini ditolak ya? Ada sebagian negara setuju seperti Amerika dan beberapa negara Eropa dan Amerika latin yang setuju. Tetapi banyak sekali yang menentang. Ya, tentu negara-negara muslim semuanya menentang kemudian ada negara Amerika Latin juga yang keras menentang. Nah jadi di sini bahayanya, jadi kita jangan juga termakan karena sudah terbiasa dengan kesetaraan gender lalu kita senang ternyata orang-orang LBGT ingin masuk ke sana. Nah lalu sebagai reaksi dari kondisi ini, yang kalangan Islam mau menafikan kata gender. Mau mundur dan mengatakan, “oh, gender tidak usah digunakan lagi karena kata itu mencakup LGBT.”

MINA:  Berbicara sedikit tentang buku ibu yang berjudul “Ketahanan Keluarga dalam Perspektif Islam”, seberapa urgent isu ini di kalangan umat Islam sehingga menjadi fokus tulisan ibu? 

Amany: Umat Islam punya pemahaman bahwa membangun keluarga yang bahagia itu adalah tujuan yang paling mulia di dunia ini. Oleh karena itu di Indonesia banyak yang masih melakukan akad nikah secara sah di mata agama dan hukum, persentasinya masih tinggi.  Tapi buku ini saya tulis karena melihat banyaknya perceraian, permasalahan dalam rumah tangga, sehingga tujuan mulia tadi tidak tercapai. MUI peduli tentang hal ini, dari tingkat perceraian yang tinggi, lalu banyak permusuhan, kemudian anak-anak yang broken home  tidak terurus dan banyak membuat masalah, mulai dari radikal, memakai narkoba dan lainnya. Maka tema “Ketahanan Keluarga” sangat penting. Di samping kita memahamkan juga bagi yang akan melangsungkan pernikahan secara normal yang memang niatnya baik dan wawasan keagamaannya sudah baik, bahwa dia harus meningkatkan lagi (wawasan keagamaaanya itu), harus menyadari bahwa hidup ini tidak mudah, tidak seindah seperti lamunan. Hidup di dunia memang indah, tapi tidak selalu demikian maka harus mengantisipasi banyak hal. Oleh karena itu di buku ini juga disebut pentingnya suscatin, kursus calon pengantin, itu karena harus dilihat bahwa anak-anak muda juga harus diberi bekal seperti itu supaya ketahanan keluarga bisa terjaga. (NMT/RE1-P1)

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (1): Peran Strategis Indonesia dalam Pembebasan Baitul Maqdis

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Kolom
MINA Preneur