Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kisah Rashida, Wanita Rohingya

Rudi Hendrik - Selasa, 12 September 2017 - 02:52 WIB

Selasa, 12 September 2017 - 02:52 WIB

283 Views

Rashinda (25), wanita muda Rohingya yang selamat dari pembunuhan militer Myanmar. (Foto: Katie Arnod/Al Jazeera)

Rashinda (25), wanita muda Rohingya yang selamat dari pembunuhan militer Myanmar. (Foto: Katie Arnod/Al Jazeera)

 

Rashida adalah seorang wanita Rohingya berusia 25 tahun. Ia berasal dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Ia melarikan diri pada tanggal 2 September 2017 hingga sampai ke Bangladesh.

Rashida bercerita kepada Katie Arnold, seorang wartawan Al Jazeera di kamp penampungan Unchi Prank di Chittagong, Bangladesh:

 

Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim

Nama saya Rashida dan saya berusia 25 tahun. Sebelum revolusi Arakan, kami memiliki beberapa sawah yang kami tanam. Saya memiliki rumah tempat kami tinggal, dengan suami dan ketiga anak kami. Itu damai dan kami sangat senang sampai krisis terjadi.

Sekarang kami telah meninggalkan semua yang ada. Rumah dan ladang kami telah terbakar sehingga kami tidak bisa lagi tinggal di sana.

Ketika militer Myanmar mulai menembak ke desa kami, kami dengan cepat membawa anak-anak ke dalam hutan dan menyembunyikannya. Mereka takut dari bahaya di alam bebas. Tapi, ketika saya kembali memeriksa rumah itu, saya melihat tepat di depan mata saya, banyak orang telah terbunuh.

Dari hutan, kami berjalan selama delapan hari sampai kami tiba di perbatasan dengan Bangladesh. Kami sangat lapar dan tidak makan, hanya makan daun pohon. Anak-anak terus meminta makanan, tapi kami tidak bisa membawa apa pun bersama kami, kecuali hanya tiga anak saya itu.

Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina

Kami menyeberangi perbatasan dengan sebuah perahu kecil, rasanya sangat berbahaya dan kupikir kami akan tenggelam, jadi saya mencengkeram anak-anak saya erat-erat.

Saya tidak senang berada di Bangladesh. Kami dulu memiliki hewan, sawah 0,4 hektar, sebuah rumah dan kami memiliki desa yang bagus di negara kami sendiri. Kami telah meninggalkan semua itu, jadi saya yakin Anda bisa membayangkan betapa sedihnya perasaan kami.

Saya merindukan rumah kami. Kami merasa putus asa di sini, saya tidak tahu masa depan kami sekarang.

Kami tidak mendapatkan cukup dukungan di sini. Orang-orang Bangladesh bersikap baik dan menyumbangkan pakaian dan makanan, tapi saya belum melihat ada organisasi internasional. Kami memerlukan lebih banyak bantuan. Saya berharap mereka juga akan membantu kami. Kami membutuhkan makanan untuk dimakan.

Baca Juga: Gunung Berapi Kanlaon di Filipina Meletus, 45.000 Warga Mengungsi

Pesan saya ke dunia luar adalah bahwa kami menginginkan kedamaian, kami tidak punya masa depan tanpa kedamaian. (A/RI-1/P1)

Sumber: Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Pengadilan Belanda Tolak Gugatan Penghentian Ekspor Senjata ke Israel

Rekomendasi untuk Anda