Lima Belas Hikmah Syariat Puasa Ramadhan (Oleh: Imaam Yakshyallah Mansur)

Imaam Yakhsyallah Mansur memberikan tausiah kepada jamaah umrah di Mekah, Arab Saudi. (Dok. Istimewa)

Oleh:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة [٢]: ١٨٣)

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183)

Tanpa terasa, bulan Ramadhan sudah hampir sampai di penghujungnya. Sebentar lagi, ia akan meninggalkan kita. Rasanya baru kemarin kita bersua dengannya. Deretan kenangan manis di bulan ini sepertinya belum terlalu banyak kita torehkan.

Baru saja kita merasakan harmonisnya makan sahur bersama keluarga tercinta. Rasanya belum lama kita menikmati hangatnya buka puasa bersama tetangga, juga syahdunya shalat tarawih bersama masyarakat sekitar kita.

Kenangan-kenangan indah yang kita lalui yang membuat kita merasakan nikmat hidup bersama bulan Ramadhan. Kita tentu merasa berat dan sedih jika Ramadhan meninggalkan kita. Benarlah kata pepatah, “Jika engkau pernah merasakan bahagianya kebersamaan, niscaya engkau akan merasakan sedihnya perpisahan.”

Ada banyak hikmah yang bisa kita petik selama satu bulan bersama Ramadhan. Ada pelajaran-pelajaran berharga yang bisa kita raih dari perjalanan mengarungi bulan penuh berkah ini. Untaian-untaian hikmah itu hendaknya terus kita lestarikan dalam kehidupan setelah Ramadhan, agar hidup ini senantiasa diliputi keberkahan.

Andai seseorang mampu mempraktikkan hikmah puasa dalam kehidupan pasca Ramadhan, maka ia akan tetap merasakan nikmatnya bulan-bulan penuh keberkahan dalam hidupnya. Dalam tulisan ini, penulis memaparkan, setidaknya ada lima belas (15) hikmah dari puasa Ramadhan yang bisa kita terus praktikkan dalam kehidupan, meski bulan mulia itu telah berlalu meninggalkan kita.

1. Menggunakan panggilan yang baik

Dalam surah Al-Baqarah ayat 183 di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggil hamba-hamba-Nya dengan sebutan yang indah, penuh kasih sayang. Orang-orang beriman adalah predikat untuk hamba-hamba yang disayang, dicinta dan setiap saat diperhatikan. Panggilan itu juga menjadi ciri dari orang-orang yang akan mendapat kebahagiaan, hari ini, esok dan di Hari Kemudian.

Panggilan yang baik, lembut dan penuh kasih sayang akan membuat orang yang dipanggil merasa senang, terhormat, tersanjung dan diperhatikan. Jika Allah Ta’ala saja memanggil hamba-Nya dengan panggilan kasih sayang, maka hendaknya hal itu juga kita praktikkan dalam kehidupan.

Panggillah suami/istri dengan panggilan sayang. Panggillah anak-anak dengan panggilan kesayangan. Panggillah tetangga, saudara, rekan kerja dan orang-orang di sekitarmu dengan panggilan yang membuat mereka senang, ridha dan merasa nyaman.

2. Husnudzan kepada orang lain

Jika mau jujur dengan diri sendiri, sebenarnya kita belum pantas disebut sebagai orang beriman. Kadar dan kualitas iman dalam diri manusia yang fluktiatif rasanya tidak layak menyandang gelar terhormat itu. Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap menyebut hamba-hamba-Nya dengan gelar orang-orang beriman.

Dengan panggilan “Wahai orang-orang yang beriman”, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganggap hamba-hamba-Nya sebagai orang beriman, walaupun iman mereka belum sempurna sebagai orang yang benar-benar beriman.

Hikmah dari ayat di atas adalah, mari kita berhusnudzan orang-orang kepada di sekitar kita. Lupakan kekurangan dan kesalahan mereka dan ingat-ingatlah kelebihan dan kebaikannya agar kita bisa berhusnudzan kepada mereka.

Dengan husnudzan kepada orang lain, terutama kepada keluarga, rekan kerja dan sesama umat Islam, kerja sama akan terjalin, rasa persaudaraan akan menguat, ukhuwah Islamiyah akan terbentuk dan persatuan umat akan terwujud.

Baca Juga:  Mahasiswa Generasi Baru di AS Beri Harapan kepada Palestina

3. Perhatikan sejarah

Ibadah puasa termasuk syariat yang sudah dipraktikkan sejak para nabi terdahulu. Imam Al-Qurthubi, menyatakan, bahwa Nabi Nuh Alaihi Salam adalah orang pertama yang berpuasa pada bulan Ramadan. Nabi Nuh Alaihi Salam melakukannya setelah turun dari bahteranya pasca badai dan banjir yang menghantam negeri kaumnya.

Perintah puasa juga dilaksanakan umat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Isa Alaihimus Salam hingga Nabi kita Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam.

Maka, jika orang-orang terdahulu mampu melaksanakan puasa, tentu kita umat Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam juga mampu menunaikannya. Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan syariat, kecuali sesuai dengan kadar kemampuan hamba-hamba-Nya.

4. Tuntunan memotivasi orang lain

Panggilan yang baik merupakan salah satu bentuk memotivasi orang lain. Panggilan yang baik juga menjadi tanda bahwa kita memperhatikan mereka, peduli dengan keadaannya dan menunjukkan bahwa yang memanggil memiliki itikad baik kepada orang yang dipanggil.

Jika seseorang sudah merasa dirinya diperhatikan, maka ia akan riang dan senang melaksanakan perintah yang disampaikan. Dengan perasaan riang dan senang itulah, pekerjaan akan terasa ringan. Beban dan target yang berat akan mampu diselesaikan.

Motivasi akan terus selalu dibutuhkan, baik di awal, di tengah dan di akhir pekerjaan. Maka dengan penyebutan dan penyematan panggilan yang baik, hal itu akan bisa menjaga semangat mereka.

5. Menumbuhkan sikap optimisme

Orang yang berpuasa selalu merasa optimis, sebab ia yakin bahwa ada waktu berbuka. Ia kuat menahan lapar dan haus karena yakin waktu Maghrib pasti akan tiba. Demikian juga dalam menjalani ujian hidup, kita harus selalu optimis, ujian itu pasti akan berakhir dan jika sudah tiba waktunya, badai pasti akan berlalu.

Ibarat pepatah,” Jika malam semakin gelap, itu pertanda, fajar akan segera datang,” Jika ujian yang kita rasakan semakin berat, itu pertanda pertolongan Allah akan segera diturunkan. Maka, optomis- lah dalam menjalani kehidupan ini, sebab Allah Ta’ala menjanjikan pertolongan dan pahala yang besar jika kita mampu sabar menjalani dan menghadapi cobaan.

6. Membiasakan hidup disiplin

Dalam berpuasa, seorang diajarkan sikap hidup disiplin. Makan sahur sesuai dengan waktu yang ditentukan. Demikian juga saat berbuka, ia tidak boleh mendahului, walau hanya beberapa saat saja.

Maka, puasa mengajarkan seseorang untuk disiplin dalam waktu dan memperhatikan peraturan-peraturan yang ada. Ia tidak boleh melanggarnya, meski tidak ada orang yang menyaksikan perbuatannya. Karena ia yakin, pekerjaannya dinilai oleh Allah, Dzat Yang Maha mengawasi dan mengetahui semua perbuatan manusia.

7. Kesuksesan diperoleh dengan penderitaan terlebih dulu

Puasa Ramadhan merupakan ibadah yang lama jangka waktunya. Selama sebulan penuh, seseorang dituntut untuk menahan lapar dan dahaga pada siang harinya. Mereka tidak diizinkan mengonsumsi makanan miliknya, meski itu halal baginya. Maka dengan puasa itu, Allah menjanjikan kepada siapa saja yang mampu menjalaninya pahala tidak terhingga.

Demikian pula dalam hidup ini, jika sesorang ingin mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan, ia harus mau berusaha keras dan mau menderita terlebih dahulu. Penderitaan sebagai bagian dari perjuangan harus dilalui sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan apa yang ia cita-citakan.

Tidak ada kebahagiaan sejati, kecuali diperoleh dengan menjalani perjuangan dan penderitaan terlebih dahulu. Adapun kapan waktu yang tepat untuk mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan itu, semuanya bergantung pada ketentuan dan takdir Allah dan besarnya usaha kita.

Baca Juga:  Dukung Mahasiswa AS, UI Gelar Perkemahan Solidaritas Palestina

8. Perjuangan akan membawa kepada kebahagiaan

Untuk menuju kebahagiaan, tentunya ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Tahapan itu berupa tantangan sulit, yang perlu perjuangan sungguh-sungguh. Setiap perjuangan memerlukan determinasi, keteguhan dan keuletan menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan.

Ibadah puasa Ramadhan adalah perjuangan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan sejati. Perjuangan itu tidak boleh berhenti di tengah jalan. Tidak boleh patah semangat sebelum sampai pada tujuan.

Jika mengalami penurunan semangat, ingatlah kita sedang menjalani tahap-tahap menuju kebahagiaan dan kesuksesan. Maka dengan belajar dari syariat puasa Ramadhan, perjuangan harus dituntaskan agar sampai kepada pintu gerbang kebahagiaan dan kesuksesan sejati.

Rasulullah Shallallahu alahi Wasalam bersabda:

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ (متفق عليه)

“Bagi orang yang berpuasa, ia akan mendapat dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (Muttafaq ‘alaih).

9. Keharusan menahan emosi dan hawa nafsu

Puasa mengajarkan kepada kita tidak hanya menahan makan dan minum di siang hari, tetapi substansi puasa Ramadhan adalah kemampuan menahan emosi dan hawa nafsu. Emosi dan nafsu manusia jika tidak ditunduk kepada aturan Allah Ta’ala, maka ia akan dikendalikan Syaitan.

Demikan pula dalam perjuangan, menahan emosi dan hawa nafsu sangat penting dilakukan. Betapa kita saksikan pemberitaan yang menghiasi media, seorang yang memiliki karir cemerlang, harus menanggung malu tiada terkira dan hancur keluarganya karena perbuatan buruknya, tidak bisa menahan emosi dan hawa nafsu.

Karir bisa hancur, jabatan bisa melayang, harta akan sirna dan kehormatan akan ternoda jika seseorang tidak memiliki kemampuan menahan hawa nafsu. Maka pengendalian emosi dan hawa nafsu menjadi syarat utama meraih dan menjaga kesuksesan.

10. Urgensi persiapan

Dalam puasa, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk makan sahur sebelum terbit fajar. Salah satu tujuannya agar seseorang kuat menjalani puasa dan dapat beraktifitas seperti biasa karena ia telah mendapatkan asupan gizi sebelumnya.

Itulah pentingnya persiapan dalam setiap menjalankan sebuah misi. Tanpa persiapan yang matang, kemungkinan besar akan berakhir dengan kegagalan. Karena bukan kondisi dan situasi yang akan menyesuaikan dengan kita, tapi sebaliknya kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi.

Lebih jauh lagi, sesungguhnya kita dalam kehidupan dunia ini adalah untuk mempersiapkan bekal menuju kehidupan yang abadi di akhirat nanti. Maka, hidup di akhirat akan bahagia jika kita mempersiapkan bekal dengan baik. Namun jika tanpa persiapan sebagaimana yang Allah Ta’ala perintahkan, maka di akhirat akan mengalami kesengsaraan.

11. Puasa jalan utama menuju taqwa

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menyatakan, puasa merupakan salah satu sebab utama menuju ketakwaan.  Hal ini karena, orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sekaligus menjauhi larangannya.

Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan menjauhi hal-hal yang diinginkan dan disukai oleh nafsunya. Puasa juga dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah Ta’ala dan ini merupakan tabiat orang yang bertakwa.

Selain itu, puasa mampu mempersempit gerak syaitan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh syaitan melemah. Itulah yang dimaksud dengan puasa mampu menutup pintu-pintu syaitan dan membelenggunya.

Baca Juga:  Erdogan Desak Muslim Bersatu Hentikan Genosida Israel di Gaza

12. Kesabaran merupakan kunci kesuksesan

Bersabar memang pahit awalnya, akan tetapi manis akhirnya. Seperti orang yang berpuasa. Pada permulaannya biasa terasa berat, namun menjelang berbuka dan di akhir Ramadhan, kita akan merasa bahagia. Kebahagiaan itu mengalahkan rasa lapar dan haus yang dirasakan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan sabar dalam menghadapi sesuatu yang tidak disenangi maupun yang disenangi. Begitu mulianya sebuah kesabaran sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menghimbau kepada orang beriman agar menjadikan kesabaran sebagai penolong  seperti firman-Nya dalam surah Al-Baqarah ayat 153;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّـهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (البقرة [٢]: ١٥٣)

“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Salah satu nama Asmaul Husna adalah As-Shabur (Yang Maha Penyabar). Menurut Imam Al-Ghazali, As- Shabur mengandung pengertian bahwa Allah Ta’ala tidak tergesa-gesa menghukum para pelaku kemaksiatan. Kesabaran-Nya terhadap para pelaku perbuatan dosa dengan tujuan memberikan waktu agar ia bertaubat, dan kembali kepada jalan yang diridhai-Nya.

Sabar mencerminkan sifat ketuhananan yang sangat mulia. Bahkan dalam tingkatan tindakan keimanan, sabar menempati posisi paling tinggi, tentunya dengan balasan berupa pahala yang tak terhingga, seperti yang tercantum dalam surah Az-Zumar ayat 10:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ (الزمر[٣٩]: ١٠)

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”

13. Mendidik keikhlasan

Salah satu pendidikan puasa bulan Ramadhan ialah membentuk seorang muslim menjadi pribadi mukhlisin, yaitu beramal semata-mata berharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah sebabnya Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak menjelaskan besarnya pahala yang akan diberikan kepada orang-orang yang berpuasa secara eksplisit. Salah satu tujuannya adalah melatih keikhlasan manusia dalam beribadah.

Orang yang ikhlas akan senantiasa menjalankan semaksimal mungkin perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibadah dan amal shaleh dilakukan dengan sepenuh hati, tanpa adanya keinginan dilihat dan dipuji orang lain.

Orang yang ikhlas tidak bangga dengan sanjungan, tidak terlena dengan pujian, tidak sombong karena dilihat orang. Pun, sebaliknya, ia tidak mundur karena dicaci, tidak surut semangat karena tidak dihargai, tidak berhenti karena nihil penghargaan.

14. Menumbuhkan kepekaan sosial

Selama berpuasa Ramadhan, kita dididik dengan rasa lapar dan haus selama satu bulan dengan harapan, kita dapat merasakan bagaimana keadaan orang-orang yang sehari-hari berkutat dengan kelaparan.

Untuk mendorong tumbuhnya kepekaan sosial, Rasulullah Shallallahu alahi Wasalam menganjurkan kepada kita untuk banyak bersedekah di bulan Ramadhan. Beliau Shallallahu alahi Wasalam bersabda,”Sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan.” (HR At-Tirmidzi)

Rasulullah Shallallahu alahi Wasalam sendiri telah mempraktikkan hal itu sebagaimana digambarkan oleh Ibunda Sayyidah Aisyah Radhiallahu anhu, “Rasulullah adalah manusia yang paling dermawan dan kedermawanan beliau akan bertambah ketika bulan Ramadhan tiba. Pada bulan itu, kedermawanan beliau bagaikan kencangnya tiupan angin.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Karenanya, selama bulan Ramadhan, umat Muslim seringkali mengadakan berbagai kegiatan sosial seperti berbagi makanan kepada yang membutuhkan, menyantuni anak yatim, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini menumbuhkan kepekaan sosial dan rasa empati terhadap sesama.

15. Mewujudkan kebersamaan (hidup berjamaah)

Dalam memulai dan mengakhiri ibadah puasa Ramadhan, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasalam memerintahkan kepada umat Islam untuk melihat hilal (permulaan bulan), sehingga mereka dapat memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan secara bersama-sama.

Perintah itu menunjukkan umat Islam di manapun berada haruslah bersatu dalam setiap langkah perjuangan. Kebersamaan itulah yang menjadi salah satu inti ajaran puasa Ramadhan.

Jika umat Islam mampu bersatu, maka segenap potensi akan dapat dimaksimalkan untuk kemaslahatan umat. Kaum Muslimin akan mampu menolong sesama manusia yang terdzalimi jika mereka bersatu.

والله أعلمُ بالـصـواب

(A/R8/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.